Tiket Pesawat dalam Wilayah NTT Lebih Mahal Dibandingkan Luar Provinsi
Harga tiket pesawat antarkabupaten/kota di NTT jauh lebih mahal dibandingkan antarprovinsi. Tiket pesawat Kupang-Surabaya, misalnya, Rp 1,3 juta per penumpang, sementara Kupang-Ende Rp 1,5 juta per penumpang.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Harga tiket pesawat antarkabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur jauh lebih mahal dibandingkan antarprovinsi. Itu masih dalam batas atas yang ditetapkan pemerintah. Masyarakat lebih memilih feri atau kapal PT Pelni. Antre top-up untuk e-tiket dan pembelian tiket feri di pelabuhan sebaiknya dilakukan sekali saja.
Kepala Dinas Perhubungan Nusa Tenggara Timur (NTT) Isyak Nuka di Kupang, Rabu (13/7/2023), mengatakan,NTT memiliki 15 bandar udara. Hanya tiga bandara yang bisa didarati pesawat Boeing, sementara 12 bandara hanya didarati pesawat jenis ATR atau Fokker 100. Tiga bandara itu adalah El Tari di Kupang, Frans Seda di Maumere, dan Bandara Komodo di Labuan Bajo.
Untuk pesawat jenis ATR atau Fokker, hanya satu maskapai yang beroperasi antarkabupaten/kota di NTT. Harga tiket pesawat jenis ini jauh lebih mahal dibandingkan pesawat Boeing antarprovinsi, yakni dari NTT ke provinsi lain. ”Tiket pesawat Wings Air, misalnya, rute Kupang-Ende dihargai Rp 1,5 juta per penumpang, sedangkan Kupang-Surabaya Rp 1,3 juta per penumpang,” kata Nuka.
Terdapat beberapa faktor penyebab kenaikan harga tiket pesawat antarkabupaten/kota itu. Selain 12 bandara kecil yang hanya didarati pesawat jenis ATR atau Fokker 100, juga hanya ada satu maskapai penerbangan yang beroperasi di NTT.Bahan bakar untuk pesawat ATR/Fokker juga jauh lebih boros dibandingkan pesawat jenis Boeing.
Pesawat jenis ATR/Fokker 100 terbang dengan ketinggian 10.000-15.000 kaki, membutuhkan bahan bakar yang jauh lebih banyak ketimbang pesawat Boeing yang terbang di ketinggiansampai 30.000 kaki. Makin tinggi terbang, makin hemat bahan bakar. ”Konsumsi bahan bakar ke Ende 70 persen, sedangkan ke Surabaya 50 persen,” kata Nuka.
Saat ini merupakan musim libur sekolah, pendaftaran masuk sekolah, dan musim pesta di NTT. Mobilitas warga tinggi. Hal itu juga berpengaruh terhadap kenaikan harga tiket pesawat. Kenaikan harga tiket itu pun masih di bawah batas normal dan tidak melanggar aturan.
Setiap calon penumpang harus antre dua kali. Butuh waktu lebih dari tiga jam.
Mengenai tidak beroperasinya maskapai penerbangan Trans Nusa yang sebelumnya melayani sejumlah rute antarkabupaten/kota di NTT, Nuka menyebutkan, Trans Nusa telah mengubah jenis pesawatnya, bukan lagi ATR atau Fokker 100, melainkan pesawat jenis Airbus, yang melayani rute di wilayah barat, Jawa dan Sumatera.
Pelayanan buruk
”Kami sudah minta untuk melayani rute di NTT, tetapi belum terealisasi. Jika mereka hadir pun, paling hanya rute Kupang-Maumere atau Kupang-Labuan Bajo. Dua bandara ini bisa didarati pesawat jenis Airbus atau Boeing,” ujarnya.
Kini, masyarakat memilih melakukan perjalanan melalui kapal laut. Sebanyak 10 feri beroperasi di perairan NTT. Delapan feri dikelola ASDP Kupang dan dua feri dikelola pihak swasta. Feri ini menjadi rebutan calon penumpang. Feri rute Kupang-Larantuka, misalnya, membawa calon penumpang dari Flores Timur, Maumere, dan Ende.
Bahkan, feri rute Kupang-Lewoleba, yang melayani masyarakat Lembata dan Adonara,pun selalu dipadati penumpang. Petrus Poli Kayan, penumpang KMP Lakaan rute Kupang-Lewoleba, Jumat (5/7/2023), mengatakan, feri itu membawa lebih dari 500 penumpang. Sekitar 100 penumpang terpaksa berdiri sepanjang perjalanan karena tidak mendapatkan tempat tidur atau tempat duduk.
Feri itu hanya membawa penumpang tujuan Lembata dan Adonara serta beberapa penumpang dari Pulau Solor. Lebih padat lagi, feri rute Kupang-Larantuka, Kupang-Rote, Kupang-Sabu Raijua, dan Kupang-Ende. Jumlah penumpang lebih dari400 orang.
Agus Sabon Raya, pemerhati masalah pelayaran di NTT, mengatakan, pelayaran feri semakin digandrungi masyarakat. Namun, pelayanan di pelabuhan feri Kupang belum memadai. Pengelola ASDP perlu mengubah sistem penjualan tiket di sana.
Pembelian tiket dengan sistem top-up melaluie-tiket mestinya sekaligus mendapatkan karcis untuk mendapatkan tiket perjalanan. Realitasnya, calon penumpang harus antre dua kali, yakni antre untuk top-up dan antre kedua untuk menukar karcis top-up dengan tiket feri.
”Jadi, setiap calon penumpang harus antre dua kali. Butuh waktu lebih dari tiga jam,” kata Sabon.
Ia menyayangkan, petugas loket top-up juga tidak proaktif terhadap calon penumpang.Mereka tidak mengumumkan kepada calon penumpang bahwa kartu yang digunakan untuk top-up berjenis Brizzi milik BRI atau Flash milik BCA, atau jenis kartu lain, sebelum calon penumpang mendapat giliran top-up. Saat tiba giliran, ternyata petugas meminta jenis kartu e-tiket yang tidak dimiliki calon penumpang itu. Kebanyakan memiliki kartu Brizzi.
Mereka kewalahan dan terpaksa menyewa kartu yang dijual para calo di pelabuhan dengan harga Rp 50.000-Rp 70.000 per top-up. Calon penumpang bersangkutan pun harus antre dari belakang lagi.
Kartu Brizzi sudah populer bagi calon penumpang di NTT karena BRI memiliki kantor cabang dan kantor kas di seluruh wilayah. Untuk kartu e-tiket jenis lain seperti Flash, calon penumpang sangat kesulitan. Mayoritas calon penumpang tidak memiliki kartu Flash, yang dikeluarkan BCA. Kantor cabang BCA di sejumlah kabupaten/kota di NTT sangat terbatas, bahkan tidak ada.
Penumpang feri harus memiliki semua jenis kartu e-tiket dari semua bank nasional yang ada. Padahal, mereka mayoritas berasal dari keluarga miskin. Selain itu, mereka juga harus antre dua kali. Idealnya antre satu kali saja. ”Kasihan orang tua, ibu hamil, dan mereka yang sakit-sakitan harus saling dorong, berdesak-desakan, dan antre sampai tiga jam di dermaga,” ujar Sabon.