Urbanisasi, tahun politik, penguatan otonomi daerah, dan Indonesia Emas 2045 adalah tantangan bagi pemerintah kota saat ini. Butuh pengelolaan yang baik agar semua menjadi peluang dan bernilai positif.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·4 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Kota-kota di dunia, termasuk di Indonesia, terus mengalami tantangan, terutama dalam soal urbanisasi. Magnet kota sebagai pusat ekonomi, pendidikan, industri, dan budaya terus menarik orang-orang berdatangan dan bercita-cita menjadi warga kota.
Soal urbanisasi ini menjadi salah satu isu yang dibahas dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XVI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) yang diselenggarakan di Makassar, Sulawesi Selatan. Rangkaian acara telah dimulai sejak Senin (10/7/2023) lalu dan Rabu siang rakernas dibuka secara resmi oleh Suhajar Diantoro, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri.
Sebanyak 88 wali kota dari seluruh Indonesia mengikuti rakernas ini. Sebelumnya, perwakilan pemuda dari semua kota di Indonesia mengikuti kemah pemuda. Sejumlah masukan, saran, dan ide dari kemah pemuda ini menjadi catatan penting bagi pemerintah kota. Para wali kota juga duduk bersama dalam acara gala dinner yang digelar Selasa malam di anjungan Pantai Losari.
”Persoalan kota ke depan adalah urbanisasi. Survei yang dilakukan menunjukkan bahwa dua dari tiga orang desa yang ditanya berkeinginan untuk tinggal di kota. Tentu saja ini tak boleh dilarang karena berdasarkan undang-undang, warga Indonesia berhak tinggal di mana saja di dalam NKRI. Yang jadi tantangan adalah bagaimana mengelola urbanisasi ini agar tak menjadi beban, tapi sebaliknya berdampak positif,” kata Suhajar.
Dia mengingatkan, magnet kota sebagai pusat ekonomi, pendidikan, dan berbagai fasilitas membuat urbanisasi tak terbendung. Diprediksi pada tahun 2035, hanya satu dari tiga penduduk desa yang akan tetap tinggal di desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, diketahui bahwa 56,7 persen warga memilih menetap di perkotaan.
”Angka ini diprediksi akan semakin meningkat hingga tahun 2035 menjadi 66,6 persen. Artinya, penduduk rural (perdasaan) hanya tersisa sekitar 33.4 persen saja. Mengapa masyarakat meninggalkan desa? Jawabannya adalah kesempatan kerja, pendidikan dan kesehatan, infrastruktur dan aksesibilitas, kemajuan teknologi, hingga perubahan sosial dan gaya hidup,” kata Suhajar.
Kami paham bahwa zonasi penting, tapi harus diingat, tidak semua sekolah memiliki fasilitas sama, termasuk kemampuan guru-guru. Itulah mengapa soal otonomi daerah di berbagai bidang harus lebih diperkuat dan terus dikawal. Ini jadi fokus dalam rakernas ini.
Dengan kenyataan ini, sudah saatnya pemerintah kota memikirkan bagaimana mengelola urbanisasi ini agar bisa memberi dampak positif. Sebagai gambaran, di China, pertumbuhan 1 persen penduduk perkotaan meningkatkan 3 persen produk domestik bruto (PDB) per kapita. Di Indonesia, pertumbuhan 1 persen penduduk perkotaan hanya meningkatkan 1,4 persen PDB per kapita.
”Hal ini lebih rendah dari dampak positif urbanisasi pada perekonomian China dan negara-negara Asia Timur dan Pasifik yang mampu memberi kontribusi dua kali lipat lebih tinggi. Oleh karena itu, kawasan urban harus dikelola lebih inklusif dan mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan. Misalnya saja, bagaimana pemerintah kota menyiapkan fasilitas yang lebih memadai, seperti kawasan tempat tinggal, sanitasi, air bersih, listrik, taman kota, dan fasilitas lain. Ini harus menjadi perhatian,” tuturnya.
Pertumbuhan
Wali Kota Makassar M Ramdhan Pomanto mengakui, pertumbuhan kota, terutama dalam soal ekonomi, juga membuat permasalahan kota bertambah. Hal ini juga terjadi di Makassar yang sejauh ini menjadi tujuan orang dari sejumlah kabupaten dan kota.
”Posisi kota memang penting dan strategis dan semua permasalahan, termasuk urbanisasi, harus dikelola baik. Karena begitu pentingnya posisi kota dan peran pemerintah kota, kami minta kalau ada undang-undang desa, maka juga harus ada undang-undang kota,” katanya.
Sementara itu, Ketua Apeksi Bima Arya Sugiarto mengatakan, terkait pemerintahan kota, peran otonomi daerah harus diperkuat. Karena itu, salah satu yang juga menjadi teman besar rakernas ini adalah penguatan otonomi daerah.
Dikatakan, otonomi adalah kewenangan yang terukur untuk menyejahterakan warga, menghargai kelokalan. Bukan sekadar pemerintahan dan kekuasaan. Untuk itu, Apeksi ingin memperkuat otonomi di bidang birokrasi, ekonomi, dan pendidikan.
Soal pendidikan, misalnya, kata Wali Kota Bogor ini, ketika penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA kisruh, semua mengadu kepada pemerintah kota, padahal SMA/SMK menjadi urusan pemerintah provinsi.
”Kami paham bahwa zonasi penting, tapi harus diingat, tidak semua sekolah memiliki fasilitas sama, termasuk kemampuan guru-guru. Itulah mengapa soal otonomi daerah di berbagai bidang harus lebih diperkuat dan terus dikawal. Ini jadi fokus dalam rakernas ini,” katanya.