Hasil Bumi Perajut Mimpi Anak-anak Lereng Gunung Slamet
Sebuah sekolah di lereng Gunung Slamet, Banyumas, Jawa Tengah, menggratiskan biaya untuk para muridnya. Sebagai pengganti uang pendaftaran, warga hanya perlu membawa hasil bumi.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Sejumlah anak berjalan kaki bersama keluarganya menyusuri jalanan desa di lereng Gunung Slamet, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (12/7/2023). Mereka tampak membawa hasil bumi, misalnya beras, singkong, talas, pisang, dan kelapa.
Beberapa warga itu bukan hendak menuju ke pasar untuk menjual hasil bumi, melainkan tengah menuju ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pakis, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, untuk mengurus pendaftaran murid baru.
Salah seorang warga yang berjalan kaki itu adalah Suwarsiti (68). Sambil menenteng 10 ubi talas, dia hendak mendaftarkan cucunya, Marsiana (12), sebagai murid baru di MTs Pakis. Bersama dengan Farel (5), adik Marsiana, keduanya berjalan kaki sekitar 3 kilometer untuk menuju sekolah tersebut.
”Pilih sekolah di sini karena jaraknya dekat. Kalau yang jauh, tidak ada biaya untuk naik kendaraan,” kata Suwarsiti.
Sehari-hari, Suwarsiti bersama suaminya yang bekerja sebagai petani harus mengasuh dan membesarkan dua cucunya karena mereka telah yatim. Ayah Marsiana dan Farel telah meninggal dunia, sedangkan ibunya menikah lagi dengan orang lain.
Oleh karena itu, Suwarsiti memilih menyekolahkan Marsiana ke MTs Pakis karena sekolah tersebut tidak memungut biaya, baik berupa uang pendaftaran maupun iuran bulanan. Warga yang ingin mendaftarkan anak atau cucunya ke sekolah itu cukup membawa hasil bumi sebanyak satu kali sebagai pengganti uang pendaftaran.
Dengan bersekolah di MTs Pakis, diharapkan Marsiana bisa terus melanjutkan pendidikan dan menggapai cita-citanya. ”Saya ingin jadi dokter biar bisa mengobati orang sakit,” kata Marsiana.
Warga lainnya, Sakinah (56), juga memilih menyekolahkan anaknya, Amira (11), ke MTs Pakis karena kesulitan biaya. Suami Sakinah yang sehari-hari merupakan buruh tani tidak mempunyai cukup uang untuk menyekolahkan anak-anaknya di tempat lain. Apalagi, pasangan itu memiliki 12 anak.
”Saya kan anaknya banyak sehingga tidak bisa menyekolahkan di tempat lain. Yang penting bisa sekolah, lokasinya dekat, dan tidak ada biaya. Saya sudah menyekolahkan lima anak di sini,” kata Sakinah yang datang membawa labu untuk mendaftarkan Amira.
Sakinah menyebut, salah seorang anaknya yang merupakan lulusan MTs Pakis berhasil melanjutkan pendidikan ke SMA lalu bekerja di Jakarta. Sementara itu, anak yang lain memilih beternak kambing di rumah.
Sementara itu, Nur Inayah (40) yang sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga juga menyekolahkan anak bungsunya, Muhammad Zaki Abdilah (12), ke MTs Pakis. Sebagai pengganti uang pendaftaran, Nur membawa singkong. ”Suami saya merantau ke Jepara, pulangnya tidak mesti, kadang tiga bulan sekali,” tutur Nur.
Kepada si bungsu yang bercita-cita menjadi polisi dan hobi bermain sepak bola itu, Nur berpesan supaya terus bersemangat mengejar cita-citanya. ”Sebagai orangtua, saya mendukung cita-cita dan kemauannya. Sekolah di sini juga jadi keinginannya,” ujar Nur.
Hak pendidikan
MTs Pakis berdiri sejak tahun 2013. Sekolah yang berlokasi 18 km sebelah barat laut Alun-alun Purwokerto, Banyumas, itu menginduk pada MTs Maarif Nahdlatul Ulama 2 Cilongok. Pada tahun ajaran 2022/2023, MTs Pakis memiliki 22 murid yang terbagi ke dalam tiga kelas.
Jangan berpikiran karena tidak punya uang lalu anak tidak sekolah. Jadi, mendaftar sekolah tidak harus pakai uang. Ini (hasil bumi) juga kalau diuangkan jadi uang. (Isrodin)
Semua anak yang sekolah di MTs Pakis tidak dipungut biaya. Bahkan, para murid sekolah tersebut mendapat buku tulis dan seragam.
Kepala MTs Pakis Isrodin mengatakan, anak-anak di desa dengan kondisi apa pun berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Itulah kenapa, MTs Pakis memilih menggratiskan biaya pendidikan. Untuk mencukupi biaya operasional, sekolah tersebut mengandalkan iuran dari sukarelawan.
”Jangan berpikiran karena tidak punya uang lalu anak tidak sekolah. Jadi, mendaftar sekolah tidak harus pakai uang. Ini (hasil bumi) juga kalau diuangkan jadi uang,” kata Isrodin.
Isrodin menyebut, MTs Pakis memilih meminta warga menyetor hasil bumi sebagai pengganti uang pendaftaran sebagai simbol bahwa pendidikan butuh perjuangan. Dia menambahkan, dalam proses pendidikan di MTs Pakis, para murid juga diajak untuk mempelajari bagaimana soal keterampilan hidup di desa.
”Akademik dipelajari, tetapi keterampilan hidup dan bertahan hidup itu juga penting. Jangan sampai anak desa kemudian tidak bisa bertani, beternak, tidak paham dengan hutan dan lingkungannya,” ujar Isrodin.
Selama beberapa hari pada bulan ini, MTs Pakis juga mengajak para orangtua murid dan warga sekitar untuk bergotong royong mengganti atap sekolah yang jebol karena lapuk. Hasil bumi yang dibawa para orangtua murid pun diolah untuk makan bersama dalam gotong royong itu.
”Semua dilakukan secara gotong royong. Untuk biaya material seperti kayu dan genting bisa sekitar Rp 10 juta. Kalau tenaganya tidak gotong royong atau membayar tukang, biayanya bisa lebih dari Rp 50 juta,” ujar Isrodin.
Berkat keberadaan MTs Pakis, harapan anak-anak desa di lereng Gunung Slamet untuk melanjutkan pendidikan masih tetap terjaga meski mereka memiliki banyak keterbatasan. Aneka hasil bumi yang ditanam dengan cucuran keringat wali murid dan dibawa ke MTs Pakis seolah menjadi perajut mimpi anak-anak untuk mewujudkan cita-citanya.