Faktor Budaya dan Pola Pikir Pengaruhi Anak Putus Sekolah
Pemicu anak putus sekolah bukan semata-mata alasan ekonomi. Ada beragam alasan yang demikian kompleks di balik hal tersebut.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Ketidakmampuan ekonomi bukan menjadi penyebab satu-satunya anak putus sekolah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pola pikir dan budaya menjadi faktor lain penyebab anak putus sekolah.
Nurjito AS, koordinator verifikasi anak tidak sekolah di 70 desa dengan kemiskinan ekstrem di Kabupaten Magelang, mengatakan, di setiap desa dengan kemiskinan ekstrem, alasan kemiskinan ataupun ketidakmampuan ekonomi hanya menjadi alasan dari 40 persen anak yang tidak bersekolah. Sementara itu, 60 persen lainnya dipengaruhi budaya dan pola pikir orangtua yang menganggap pendidikan adalah hal yang tak penting.
”Masyarakat di desa-desa di pelosok di lereng pegunungan cenderung tidak mendapatkan contoh orang yang berhasil karena berpendidikan tinggi. Banyak orangtua dan warga di sekitarnya bekerja sebagai petani sehingga mereka pun berpikir bahwa pekerjaan masa depan bagi anak-anak juga menjadi petani, yang tidak memerlukan pendidikan tinggi,” ujarnya, Rabu (12/7/2023).
Berdasarkan pola pikir tersebut, banyak orangtua, yang secara ekonomi tak mampu, mendorong anaknya agar meninggalkan sekolah. Anak-anak mereka diminta membantu orangtua.
Selain mengarahkan anaknya untuk bertani, sebagian orangtua lainnya juga mendorong anak-anaknya untuk segera bekerja di sektor lain, seperti menjadi pekerja rumah tangga, karyawan, pekerja di rumah, atau buruh di ladang orang lain.
Pola pikir yang sudah tertanam lama dan diwariskan turun-temurun itulah yang makin mempersulit upaya pengentasan anak tidak sekolah di Kabupaten Magelang, termasuk di daerah-daerah dengan angka kemiskinan ekstrem.
Sebanyak 70 desa dengan angka kemiskinan ekstrem yang diverifikasi itu tersebar di 17 kecamatan di Kabupaten Magelang. Di 70 desa tersebut terdapat 1.613 anak tidak sekolah dan hingga saat ini baru sekitar 555 anak yang bisa dikembalikan untuk belajar di sanggar kegiatan belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat.
Lambertus Pramudya Wardhana, tenaga ahli, anggota Tim Anak Tidak Sekolah dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, mengatakan hal serupa. Pola pikir untuk tidak meneruskan pendidikan tersebut makin tertanam kuat karena sebagian orangtua memiliki lahan pertanian dan memastikan akan mewariskan tanah tersebut kepada anak-anaknya.
”Sudah sering membantu orangtua bertani dan sudah mengetahui ada tanah yang harus digarap, maka anak-anak tersebut semakin sulit untuk diajak kembali ke sekolah,” ujarnya.
Selain itu, terdapat sejumlah alasan lain yang memicu terjadinya kondisi anak tidak sekolah, seperti kondisi keluarga yang kurang mendukung, orangtua yang bercerai, dan adanya perundungan di lingkungan sekolah.
Masyarakat di desa-desa di pelosok di lereng pegunungan cenderung tidak mendapatkan contoh orang yang berhasil karena berpendidikan tinggi.
Alasan lainnya yang juga ditemui, antara lain, salah satu dari orangtuanya menjalani hukuman penjara sehingga anak memutuskan berhenti sekolah karena malu. Sebagian anak lainnya tidak melanjutkan sekolah karena hamil dan terpaksa menikah muda. Sejumlah anak lainnya juga terprovokasi ajakan teman untuk berhenti bersekolah.
Dari hasil pendataan terakhir pada bulan Juni 2023, jumlah anak putus sekolah di jenjang SD, SMP, dan SMA di Kabupaten Magelang terdata sebanyak 2.952 anak. Jumlah anak yang telah lulus di jenjang pendidikan SD serta SMP dan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya terdata sebanyak 5.706 anak.
Kepala Subbagian Program Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Widi Setiawan mengatakan, tahun ini pihaknya berinovasi dengan membuka penerimaan peserta didik baru (PPDB) untuk program kesetaraan secara daring. Kemudahan layanan dengan sistem PPDB secara daring ini diharapkan dapat semakin mempercepat dan mendorong pengentasan anak tidak sekolah di Kabupaten Magelang.
Menyikapi beragamnya alasan anak putus sekolah, setiap sanggar kegiatan belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dibebaskan untuk menggelar metode pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. Di daerah di mana banyak anak memilih untuk bertani, misalnya, sejumlah PKBM menggelar kegiatan belajar mulai sore hingga malam hari sehingga tidak mengganggu aktivitas mereka di lahan.