Putus sekolah di usia anak semakin memperparah persoalan anak. Banyak anak yang turun ke jalan hingga menikah karena tak bisa bersekolah. Terobosan dibutuhkan untuk mencegah tingginya angka putus sekolah.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU, Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tekanan ekonomi memaksa anak-anak putus sekolah dan kemudian bekerja di sektor informal atau turun ke jalan untuk mencari uang ala kadarnya. Pada masa pandemi Covid-19, fenomena putus sekolah meningkat akibat pembelajaran jarak jauh yang tidak berjalan efektif.
Begitu tidak bersekolah, anak-anak yang putus sekolah kemudian mencari cara untuk tetap beraktivitas, terutama yang bisa menghasilkan uang. Turun ke jalan menjadi salah satu cara yang sering ditempuh mereka untuk mencari pendapatan sekaligus teman.
Dari pantauan yang dihimpun Kompas hingga Selasa (1/3/2022), dampak pandemi Covid-19 benar-benar memukul ekonomi keluarga dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang tidak efektif membuat anak-anak berhenti sekolah lalu bekerja sebisanya. Selain itu, selama pandemi kasus perkawinan anak juga meningkat.
Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 10-13 Februari 2022, selain alasan ekonomi yang masih mendominasi, putus sekolah dalam dua tahun terakhir juga muncul akibat PJJ yang terlalu lama. Putus sekolah juga terjadi karena pengaruh lingkungan pergaulan, jarak sekolah yang jauh, masalah keluarga atau perceraian orangtua, hingga menikah.
Turun ke jalan
Sebagai contoh, Fahri (12) sudah 10 bulan ini mengamen di kisaran Blok M Jakarta Selatan. Dia berhenti sekolah di kelas V SD karena ibunya yang bekerja serabutan sebagai tukang cuci pakaian tak punya cukup biaya. “Enggak punya HP (telepon pintar) untuk belajar online. Sempat pinjam tetangga, tetapi ibu enggak ada uang beli paket (internet),” ujar Fahri yang bisa mendapat uang Rp 20.000 – Rp 40.000/hari.
Turun ke jalan di sekitar Jakarta Selatan juga dilakoni Marni (10), yang sudah lima bulan ini tidak ikut sekolah dan ujian semester. Dia sudah ketinggalan materi pembelajaran karena tidak dapat membeli telepon pintar dan kuota internet.
Dia pun membantu ibunya menjadi pedagang asongan dengan menjual tisu dan air mineral. “Enggak ikut ujian (semester). Saya juga sudah lama enggak ketemu teman-teman sekolah,” kata Marni yang bercita-cita menjadi guru.
Adi Tama (27), guru SD negeri di Kota Cimahi, Jawa Barat mengatakan, saat sekolah ditutup, dirinya melakukan kunjungan belajar secara berkelompok ke rumah siswa agar siswanya tetap bisa mengikuti pelajaran dan mencegah mereka putus sekolah. Namun, upaya ini juga harus didukung orangtua sehingga anak dapat menghadiri kunjungan belajar tersebut.
“Lima siswa masih bisa saya beri perlakuan khusus dengan kunjungan belajar secara berkelompok. Untuk dua siswa lainnya agak sulit karena orangtua tidak mendukung,” kata Adi.
Imbasnya, dua siswa Adi pun tidak lagi melanjutkan pendidikan. Padahal, pihak sekolah bersedia memberikan kemudahan agar mereka tetap bisa mengakses materi pelajaran.
Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 10-13 Februari 2022, selain alasan ekonomi yang masih mendominasi, putus sekolah dalam dua tahun terakhir juga muncul akibat PJJ yang terlalu lama. Putus sekolah juga terjadi karena pengaruh lingkungan pergaulan, jarak sekolah yang jauh, masalah keluarga atau perceraian orangtua, hingga menikah.
Putus sekolah dalam dua tahun terakhir di masa pandemi ini juga meningkatkan permintaan dispensasi perkawinan ke Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung. Pada tahun 2020, dispensasi perkawinan mencapai 64.221 permohonan atau melonjak dari tahun sebelumnya sebanyak 23.126 permohonan.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas, sebagian besar pernikahan usia anak di masa pandemi ini terjadi karena beberapa sebab, yaitu hamil di luar nikah, tidak ingin bersekolah lagi, serta untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Kasus terbanyak pernikahan usia anak terjadi pada siswa SMA lalu SMP.
Bantuan sosial
Meskipun ada berbagai bantuan sosial dari pemerintah maupun masyarakat, tapi tidak semua anak dari keluarga miskin beruntung mendapat bantuan untuk memastikan pendidikan. Banyak keluarga miskin yang tidak tahu bagaimana caranya mengakses bantuan sosial, mereka juga terkendala masalah administrasi.
Bantuan biaya personal bagi siswa miskin dan rentan miskin sebenarnya disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sejak 2015 lewat Program Indonesia Pintar (PIP) dengan pemberian Kartu Indonesia Pintar. Besaran PIP SD sederajat Rp 450.000/siswa/tahun, SMP sederajat Rp 750.000/siswa/tahun, dan SMA/SMK sederajat Rp 1 juta/siswa/tahun.
Dana PIP ditransfer langsung ke rekening siswa. Dana ini bisa digunakan untuk membeli buku dan alat tulis, seragam dan perlengkapan sekolah, transportasi ke sekolah, kursus bagi peserta didik pendidikan formal, praktik tambahan dan biaya magang, serta uang saku.
Sofiana Nurjanah, Koordinator Kelompok Kerja PIP, Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan, Kemendikbudristek, mengatakan, PIP diberikan kepada siswa miskin dan rentan miskin, baik yang masuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial maupun yang tidak masuk DTKS tetapi diusulkan oleh satuan pendidikan, dinas pendidikan, dan pihak lain dalam rentang usia 6-21 tahun. Namun, pencairan PIP belum bisa 100 persen karena berbagai kendala, termasuk minimnya dukungan sosialisasi dari pemerintah daerah.
Akibatnya, ada sejumlah daerah yang rapornya merah dalam mengoptimalkan PIP untuk mencegah anak putus sekolah. Apalagi, dengan adanya ketentuan nomor induk kependukan (NIK) valid untuk penerima bantuan sosial, sampai Agustus 2021 masih ada sekitar 1,6 juta siswa yang ditolak permohonan bantuannya akibat data NIK tidak valid.
Berbagai terobosan dilakukan daerah untuk mencegah anak putus sekolah. Provinsi Bali termasuk yang terendah jumlah siswa putus sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga Provinsi Bali, Ketut Ngurah Boy Jayawibawa mengatakan, di masa pandemi, sejak tahun 2020 Pemprov Bali menyalurkan paket kebijakan bantuan sosial untuk pendidikan mulai tingkat sekolah dasar sampai jenjang perguruan tinggi. Paket kebijakan bantuan sosial dari APBD tersebut bertujuan mengurangi jumlah putus sekolah akibat dampak pandemi dan untuk membantu pembiayaan pendidikan.
Jayawibawa mengakui, tetap ada murid yang terpaksa berhenti sekolah, termasuk karena mengikuti orangtua mereka pindah daerah atau pulang ke daerah asal lantaran terdesak ekonominya. Pemprov Bali sudah berkomunikasi dengan pihak sekolah asal agar memantau dan berkomunikasi dengan orang tua murid untuk memastikan keberlanjutan pendidikan anak mereka di tempat baru.
Sementara itu, Pemerintah Kota Surabaya mengetuk pintu perusahaan, lembaga dan yayasan bahkan pribadi agar bersedia menjadi orangtua asuh pelajar terutama dari masyarakat berpenghasilan khusus yang sedang duduk di bangku SMP. Beasiswa dari pihak ketiga ini pun sejak dua tahun terakhir dimanfaatkan untuk membiayai sekolah siswa hingga lulus yakni tiga tahun. Dengan cara ini, angka putus sekolah di Kota Surabaya relatif kecil.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, masing-masing anak mendapat beasiswa Rp 125.000 per bulan selama tiga tahun atau sampai lulus. Untuk mencari anak yang putus sekolah, Pemkot Surabaya melibatkan RT/RW, termasuk laporan dari masyarakat tentang keberadaan anak putus sekolah di Surabaya. (ELN,TAM, ETA, NSA, HRS, COK, SKA, FRN)