Dituduh Mencuri di Kebunnya Sendiri, Tiga Petani Kalteng Jalani Sidang
Tiga petani asal Kotawaringin Barat, Kalteng, yang dituduh mencuri buah kelapa sawit di kebunnya sendiri mulai menjalani sidang perdana. Mereka didakwa merugikan sebuah perusahaan sebesar Rp 2,9 juta.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Tiga petani asal Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, yang dituduh mencuri buah kelapa sawit di kebunnya sendiri, mulai menjalani sidang perdana. Ketiganya ditangkap pada April lalu karena perbuatan mereka dianggap merugikan sebuah perusahaan sebesar Rp 2,9 juta.
Tiga orang itu adalah Aleng Sugianto (58), Suwadi (40), dan Maju (51). Suwadi merupakan anak dari Aleng, sedangkan Maju adalah ipar dari Aleng. Ketiganya merupakan warga Desa Kinjil, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kotawaringin Barat.
Pada Selasa (11/7/2023), tiga petani itu mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat. Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Erick Ignatius Christoffel dan dua hakim anggota, yakni Widana Anggara Putra dan Firmansyah.
Dalam sidang itu, jaksa penuntut umum mendakwa Aleng, Suwadi, dan Maju telah mencuri buah sawit milik PT Bumitama Gunajaya Abadi (BGA). Akibat perbuatan itu, perusahaan perkebunan sawit tersebut mengalami kerugian Rp 2,9 juta.
Selama persidangan, puluhan mahasiswa, keluarga Aleng, dan warga Desa Kinjil melakukan aksi damai di depan PN Pangkalan Bun. Mereka menuntut Aleng, Suwadi, dan Maju dibebaskan. Massa juga menyatakan telah mengumpulkan koin dengan jumlah sekitar Rp 2,9 juta untuk mengganti kerugian perusahaan.
Anggota tim penasihat hukum tiga warga itu, Kandoni Siringoringo, mengatakan, pihaknya mengajukan penangguhan penahanan terhadap ketiganya. Namun, hal itu masih dipertimbangkan oleh hakim.
Kandoni juga menyebut, tindakan tiga warga itu bukan merupakan pencurian. Sebab, lahan tempat mereka mengambil buah sawit itu merupakan milik mereka sendiri. Pada tahun 2008, lahan itu memang didaftarkan dalam program plasma atau kemitraan dengan PT BGA melalui Koperasi Kompak Maju Bersama.
Namun, pada tahun 2020 Aleng dan keluarganya meminta ke Koperasi Kompak Maju Bersama agar kebun itu dikeluarkan dari program kemitraan. Hal ini karena kemitraan itu dinilai tidak menguntungkan.
Aleng pun mengaku memiliki bukti bahwa dia dan keluarganya telah keluar dari program kemitraan. Dengan begitu, mereka merasa berhak memanen buah sawit dari lahan tersebut. Namun, PT BGA masih menganggap tanaman sawit yang ada di kebun tersebut merupakan milik mereka.
”Kami melihat sejarahnya secara runut, mereka (para terdakwa) memiliki surat tanah, mereka memanen di atas tanahnya sendiri, tapi tetap jadi tersangka dan sekarang jadi terdakwa,” kata Kandoni.
Menurut Kandoni, persoalan sebenarnya dalam kasus itu adalah masalah agraria, bukan pidana murni. Oleh karena itu, konflik antara Aleng dan PT BGA seharusnya bisa diselesaikan tanpa melalui jalur pidana. Sejumlah pihak pun meminta agar kasus itu diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif atau restorative justice.
Namun, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat Yudhi Satriyo Nugroho menjelaskan, mekanisme keadilan restoratif tidak bisa ditempuh karena kerugian dalam kasus ini mencapai Rp 2,9 juta. Padahal, agar mekanisme keadilan restoratif bisa dilakukan, kerugian korban harus di bawah Rp 2,5 juta.
Selain itu, Yudhi menyebut, para terdakwa didakwa dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. Padahal, untuk mekanisme keadilan restoratif, ancaman hukuman untuk pelaku maksimal 5 tahun.
Kami melihat sejarahnya secara runut, mereka (para terdakwa) memiliki surat tanah, mereka memanen di atas tanahnya sendiri.
Corporate Affair PT BGA Jauhari Mahkrus mengatakan, perusahaannya menyerahkan sepenuhnya kasus itu kepada penegak hukum. Jauhari juga mengaku tidak pernah mendengar ada permintaan keadilan restoratif terkait kasus ini.
”Aku enggak tahu, enggak disampaikan ke kami, mungkin ke Jakarta. Enggak ada penyampaian (keadilan restoratif) ke perusahaan. Kami mengikuti proses hukum saja, soal besar-kecil (kerugian) itu relatif, ya,” ujar Jauhari.