Polisi Bantah Permintaan Uang Tebusan, Pembebasan Pilot Susi Air Masih Samar
Polda Papua menyatakan tidak ada permintaan uang tebusan senilai Rp 5 miliar untuk pembebasan pilot Susi Air, Philip Mehrtens.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Polda Papua membantah adanya permintaan uang tebusan senilai Rp 5 miliar oleh kelompok kriminal bersenjata pimpinan Egianus Kogoya untuk pembebasan pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens. Upaya pembebasan Mehrtens yang disandera kelompok Egianus selama lima bulan terakhir belum mencapai titik temu hingga kini.
Kepala Polda Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri, di Jayapura, Senin (10/7/2023), mengatakan, pihak Egianus sama sekali tidak meminta uang tebusan untuk membebaskan Mehrtens. Akan tetapi, wacana pemberian uang tebusan muncul dalam rapat bersama Pemkab Nduga dan tokoh masyarakat di Kabupaten Mimika beberapa bulan lalu.
”Waktu itu muncul usulan pemberian uang tebusan untuk membebaskan Philip ketika rapat bersama tim negosiasi dari Pemda Nduga. Namun, saya meminta agar pemberian uang tebusan tidak boleh lebih dari Rp 5 miliar,” ungkap Mathius.
Ia pun menegaskan, pemerintah tak bisa mengabulkan sejumlah permintaan Egianus. Permintaan itu, antara lain, pengakuan referendum untuk Papua dan penyediaan senjata serta amunisi bagi kelompok Egianus.
Diketahui, Egianus dan anggotanya membakar pesawat Susi Air PK-BVY setelah mendarat di Lapangan Terbang Distrik Paro pada 7 Februari 2023 pukul 06.17 WIT. Pesawat ini terbang dari Bandara Internasional Mozes Kilangin Timika, Kabupaten Mimika, pukul 05.33 WIT.
Pesawat yang dipiloti Mehrtens itu membawa lima penumpang. Kelompok kriminal bersenjata (KKB) itu pun langsung menawan Mehrtens setelah membakar pesawat tersebut di Lapangan Terbang Paro. Adapun lima penumpang dilepaskan pihak KKB karena merupakan warga setempat.
Mathius menuturkan, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan agar upaya pembebasan pilot berkewarganegaraan Selandia Baru itu dilakukan tanpa menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Upaya komunikasi dengan pihak penyandera masih tetap dikedepankan oleh Pemerintah Indonesia.
”Kami masih mencoba langkah negosiasi dengan pihak Egianus. Akan tetapi, upaya penegakan hukum secara terukur akan dilaksanakan jika posisi kelompok tersebut telah diketahui,” papar Mathius.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Kommas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, pihaknya terus memantau perkembangan penyanderaan tersebut. Dari hasil komunikasi terakhir dengan pihak Egianus, dilaporkan kondisi Mehrtens masih sehat hingga bulan ini.
Ia pun meminta agar pemerintah segera menunjuk sosok yang menjadi negosiator untuk berbicara dengan perwakilan kelompok Egianus. Ini agar pemerintah mengetahui syarat yang diajukan pihak Egianus untuk membebaskan Mehrtens.
”Komnas HAM akan terus terlibat dalam upaya pemantauan dan berkomunikasi dengan berbagai pihak. Sebab, upaya ini merupakan misi kemanusiaan untuk menyelamatkan Philip serta melindungi masyarakat dari konflik antara pihak keamanan dan kelompok Egianus,” kata Frits.
Pihak gereja di Papua siap membantu dalam upaya pembebasan Philip.
Uskup Jayapura Monsinyur Yanuarius Matopai You berpendapat, sebaiknya pihak gereja turut dilibatkan dalam upaya pembebasan Mehrtens. Dalam hal ini, pihak gereja dimaksud adalah Gereja Kingmi Papua yang mayoritas memiliki basis jemaat di Nduga.
”Pihak gereja di Papua siap membantu dalam upaya pembebasan Philip. Namun, perlu dilaksanakan jeda kemanusiaan atau gencatan senjata terlebih dahulu di antara kedua belah pihak sehingga proses negosiasi dapat berjalan lancar dan aman,” ujar Yanuarius.
Egianus, dalam video yang dirilis pihak Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), membantah pemberitaan di media massa terkait adanya permintaan uang tebusan hingga mencapai miliaran rupiah untuk pembebasan Mehrtens. ”Kami tidak akan membebaskan Philip hingga Pemerintah Indonesia memberikan referendum bagi Papua,” ucap Egianus.
Aksi penyanderaan oleh TPN-OPM atau diklaim sebagai kelompok kriminal bersenjata bukanlah yang pertama kali di Kabupaten Nduga. Kelompok ini pernah melakukan aksi yang sama 27 tahun lalu.
TPN-OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik dan Daniel Kogoya, ayah dari Egianus, menyandera 26 orang yang terdiri dari tim peneliti Cagar Alam Lorentz dan warga setempat di Desa Mapenduma yang dulu masuk wilayah Kabupaten Jayawijaya, 8 Januari 1996. Tujuh dari 26 sandera adalah warga negara asing dari Inggris, Belanda, dan Jerman.
Kelompok Kelly terlebih dahulu melepaskan 15 orang beberapa pekan setelah aksi penyanderaan. Akan tetapi, kelompok itu terus menahan 11 orang hingga awal Mei 1996.
Akhirnya, pada 9 Mei 1996, pasukan Komando Pasukan Khusus yang dipimpin Mayjen Prabowo Subianto diterjunkan untuk melaksanakan operasi pembebasan 11 orang yang telah disandera selama 130 hari itu. Sembilan orang berhasil diselamatkan, sedangkan dua orang warga negara Indonesia ditemukan tewas dalam operasi pembebasan sandera.