Berantas ”Stunting” Dimulai dari Keluarga
Peran keluarga dalam upaya pencegahan tengkes pada anak sungguhlah besar. Namun, jebakan kemiskinan bisa menjadi faktor penghambat.
Peran keluarga dalam upaya pencegahan tengkes pada anak sungguhlah besar. Namun, jebakan kemiskinan bisa menjadi faktor penghambat. Edukasi secara berkelanjutan, bahkan sedari calon pengantin, harus dilakukan agar anak Indonesia dapat terhindar dari risiko stunting.
Warga Desa Kayuara Kuning, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Rustini Hermayanti (37), sedang menggendong putra ketiganya, Raditya Alfahri (3), di Kampung Cegah Stunting di Desa Rimba Balai, Kecamatan Banyuasin III, Kamis (6/7/2023). Rustini tidak sendiri, ia datang bersama ratusan ibu yang berasal dari desa di sekitar kampung.
Kehadirannya di sana untuk menunggu kedatangan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang akan meresmikan rumah sehat di kampung tersebut. Ada 30 rumah sehat yang sudah berdiri. Rumah ini disediakan bagi warga dengan penghasilan tidak tetap.
Siang itu, Raditya terus menangis. Kenyamanannya terusik karena cuaca kala itu cukup panas. Rustini pun memberi Raditya susu formula untuk meredam sejenak kerewelan anaknya itu.
”Sejak kecil Raditya memang suka minum susu,” ujar Rustini sembari terus menenangkan sang anak. Raditya tumbuh cukup sehat. Di usianya itu, tinggi Raditya sudah mencapai 1 meter. Sedari kecil, Rustini selalu memberikannya air susu ibu (ASI), bahkan sampai usia Raditya dua tahun.
Baca juga: Penyerapan Anggaran Rendah, Intervensi Tengkes Belum Capai Target
Sampai saat ini pun, Raditya terus diberikan asupan gizi yang cukup. ”Setiap hari, saya terus memberikannya sarapan walau kadang hanya dengan nasi dan telur saja,” ujar ibu empat anak ini.
Hanya saja, Rustini gelisah karena harga telur kini telah mencapai Rp 30.000 per kilogram (kg). Walau harga telur melonjak, Rustini tetap menyediakan telur di rumahnya. Untuk menekan pengeluaran, di pekarangan rumah, Rustini juga menanam sejumlah komoditas pangan, seperti tanaman singkong, cabai, bayam, kangkung, kacang panjang. dan beberapa tanaman sayuran. ”Hasilnya lumayan, bisa menghemat uang belanja,” ujar Rustini.
Rika (26), warga Pangkalan Balai, Banyuasin, juga selalu memberikan putrinya, Dian Savitri (2), ASI. ”Itu memang atas saran bidan yang rutin saya datangi setiap bulan,” ungkap Rika.
Menurut dia, pemberian ASI cukup berdampak pada kesehatan anaknya. ”Anak saya jadi tidak gampang sakit. Walaupun sakit hanya flu atau batuk,” katanya.
Namun, tingginya harga bahan makanan pokok juga menjadi kegusarannya saat ini. Rika harus mengeluarkan uang sekitar Rp 1,5 juta untuk memenuhi kebutuhan belanja sebulan. Apalagi saat ini harga ayam dan telur terus meningkat. ”Dua tahun sebelumnya, saya hanya mengeluarkzan uang sekitar Rp 1 juta per bulan,” ujarnya. Kini, untuk memenuhi kebutuhan, sang suami kerap kali pergi memancing dan ikannya bisa untuk lauk tambahan. ”Lumayan dapat ikan gabus untuk kebutuhan anak,” ujar Rika.
Pakar Gizi dari IPB University, Ali Khomsan, menuturkan, sejak 1.000 hari kehidupan, mulai dari kandungan hingga anak berusia di bawah dua tahun merupakan fase penting pertumbuhan anak. Karena itu, asupan gizi yang cukup dan berimbang sangatlah penting.
Baca juga: Wapres Amin: Keluarga Jadi Aktor Kunci untuk Mengatasi "Stunting"
Karena itu, dirasa sangat penting untuk mengasah kemampuan keluarga terkait pemenuhan gizi anak. Misalnya saja untuk pemberian ASI eksklusif sampai usia enam bulan harus terus diberikan. Bahkan, kalau perlu hingga usia anak dua tahun.
”Karena ASI sangat penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak agar tidak mudah terserang penyakit,” katanya.
Selain itu, ASI juga berperan untuk perkembangan otak. ”Ini demi meningkatkan kapasitas kognitif anak agar kemampuan berpikirnya semakin baik,” ujarnya. Ketika suatu generasi memiliki daya berpikir yang baik maka akan berpengaruh pada kemajuan bangsa itu.
Namun, ia menyayangkan hanya satu provinsi di Indonesia yang memberikan cuti enam bulan kepada ibu yang bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN), yakni Aceh. Padahal, kebijakan cuti itu penting untuk memastikan anaknya memperoleh ASI yang cukup.
Itulah sebabnya, sejak 2017, isu stunting menjadi prioritas. ”Keberhasilan penanggulangan stunting akan memengaruhi misi Indonesia Emas pada tahun 2045,” ucap Ali.
Tidak heran Presiden Joko Widodo menetapkan target yang cukup besar untuk penanggulangan stunting di mana pada 2024 ditargetkan prevalensi stunting Indonesia harus mencapai 14 persen. Prevalensi stunting Indonesia pada tahun 2022 mencapai 21,6 persen turun dari tahun sebelumnya, yakni 24,4 persen. Melihat dari target itu, wajar jika sampai 23 kementerian dan lembaga terlibat dalam penurunan prevalensi stunting. Menurut Ali, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Misalnya, memperkuat edukasi kepada calon pengantin dan keluarga yang memiliki anak balita. Edukasi harus masif dilakukan terutama di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) agar ibu dapat mengetahui asupan apa saja yang harus diberikan kepada anaknya.
Pembenahan lainnya adalah standardisasi alat ukur gizi termasuk pelatihan kepada petugas. Tujuannya agar tidak terjadi ketimpangan data di lapangan. Ali mengatakan, hampir 80 persen alat ukur di posyandu yang ada di Bogor tidak terstandar. ”Ini menjadi pertanda agar harus dilakukan pembenahan segera,” katanya.
KemiskinanAli mengingatkan, kemiskinan bisa menjadi kendala penanggulangan stunting. Sebab, faktor itu juga sangat berpengaruh pada kemampuan keluarga memenuhi asupan gizi yang cukup pada anaknya. Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini mencapai 9 persen, itu berarti sekitar 26 juta warga Indonesia hidup miskin. Ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak agar visi untuk menekan stunting bisa tercapai. Bupati Banyuasin Askolani menuturkan, sejumlah program sudah dicanangkan untuk mencegah stunting. Salah satunya membangun rumah sehat yang diperoleh dari pengumpulan dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), termasuk sumbangan dari pribadi. Dana itu hanya untuk membangun rumahnya saja, sedangkan tanah merupakan hasil pengelolaan BUMDes Desa Rimba Balai. ”Dari hasil itu, pemkab dapat membangun 100 rumah sehat bagi mereka yang berpenghasilan tidak tetap,” ucapnya.
Selain tempat tinggal, nantinya warga juga akan dibina untuk dapat menanam sejumlah komoditas pangan di pekarangannya. Pembenahan sanitasi, termasuk air bersih, juga akan dilakukan bekerja sama dengan dinas pekerjaan umum. Rumah sehat di Desa Rimba Balai akan dijadikan program percontohan sehingga bisa ditiru oleh daerah lain. ”Dengan begitu diharapkan tidak ada lagi warga yang tinggal di rumah tidak layak,” ujar Askolani.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan, sejak awal dirinya memang sudah memiliki visi untuk menekan tengkes. Caranya dengan mengaktifkan kembali posyandu. Tujuannya adalah untuk memperoleh data yang tepat mengenai warganya yang berisiko tengkes. ”Data itu penting agar penanggulangan bisa tepat sasaran. Jangan sampai sakit punggung, tapi yang diobati kaki,” ucapnya.
Selain itu, dirinya juga terus menggalakkan gerakan Sumsel Mandiri Pangan, yakni gerakan memanfaatkan pekarangan rumah sebagai tempat penanaman sejumlah komoditas pangan. ”Dengan begitu, setiap keluarga bisa mengonsumsi makanan dari pekarangannya sendiri,” ucapnya.
Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menuturkan, peran dari semua pihak sangat dibutuhkan. Tidak hanya pemerintah, tetapi peran swasta, bahkan perseorangan, juga tak kalah penting. Karena itu, agar penanganan tengkes bisa tepat sasaran, pendataan secara spesifik mulai dari tingkat desa harus benar-benar dilakukan. ”Setiap kepala desa harus mengetahui berapa banyak warganya yang berisiko stunting,” katanya.
Peran para pendamping keluarga, bidan, dan juga tim percepatan penurunan tengkes harus diperkuat karena mereka menjadi ujung tombak penanganan tengkes. Di sisi lain, dana alokasi khusus (DAK) yang disediakan pemerintah juga diharapkan dimanfaatkan seoptimal mungkin agar bisa menjadi stimulan munculnya program inovatif lain. Secara keseluruhan, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran DAK nonfisik untuk penanganan tengkes sebesar Rp 1,71 triliun. Namun, dari dana tersebut, jumlah yang terserap hanya 8,83 persen atau sekitar Rp 151,3 miliar. Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan agar setiap kementerian dan lembaga menandai setiap anggaran yang sudah dialokasikan untuk penanggulangan tengkes. ”Jangan sampai anggaran itu digunakan untuk kepentingan lain,” ujarnya.
Dirinya juga berharap agar daerah yang belum mampu menekan tengkes bisa mencontoh daerah yang berhasil menanggulangi tengkes. Seperti Sumsel yang bisa menekan tengkes hingga 6,2 persen.
Namun, yang tidak kalah penting adalah keterlibatan semua pihak untuk menanggulangi tengkes. Misalnya, tokoh masyarakat atau tokoh agama yang diharapkan dapat menjadi agen perubahan untuk bersama-sama menjaga anak-anaknya dari risiko tengkes. ”Karena keluarga memegang peranan terpenting untuk mencegah tengkes,” ujarnya.