Bangunan Mangkrak di NTT Semakin Merana
Sejumlah bangunan milik pemerintah di NTT mangkrak setiap pergantian kepala daerah. Bangunan fisik itu bernilai miliaran rupiah. Siapa yang bertanggung jawab atas semua bangunan itu.
Sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki beberapa bangunan fisik mangkrak. Bangunan-bangunan itu telah menghabiskan anggaranmiliaran rupiah. Kasus hukum terhadap kasus mangkraknya bangunan ini pun berjalan di tempat. Dana miliaran rupiah itu mestinya dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Sebuah bangunan berbentuk burung garuda dengan kepala raksasa menghadap ke Laut Sawu di Desa Nitneo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Jumat (7/7/2023). Halaman depan bangunan itu terpapar sederetan huruf ”Flobamora Rumah Pancasila”. Beberapa kata dari rangkaian tulisan itu sudah terlepas. Keseluruhan bangunan pun sudah miring.
Bangunan itu diresmikan Gubernur NTT 2008-2018 Frans Lebu Raya. Pembangunan monumen Flobamora Rumah Pancasila itu bertujuan mengumandangkan Pancasila dari bumi Flobamora ke seluruh Nusantara. NTT merupakan provinsi lahirnya Pancasila. NTT mengklaim diri sebagai provinsi yang selalu setia kepada pemerintah, UUD 45, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Monumen dengan tinggi sekitar 50 meter itu diresmikan Jumat (18/5/2018) menjelang akhir masa jabatan Frans Lebu Raya. Monumen itu menelan biaya senilai Rp 28 miliar. Dana sebesar itu telah dibayarkan kepada rekanan 100 persen. Tetapi dalam perjalanan, proyek itu mangkrak sejak 2018.
Baca juga: Proyek GOR Remaja di Kupang Bernilai Rp 11 Miliar Mangkrak
Mangkraknya monumen itu mendorong Kejaksaan Tinggi NTT melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. Hasil pemeriksaan terhadap para saksi pada 2020 itu pun belum jelas. Entah ada bukti penyalahgunaan uang negara dari proyek itu atau tidak, masyarakat tidak tahu.
Gubernur Viktor Laiskodat berniat melanjutkan pembangunan monumen itu sejak 2020. Monumen itu sebagai salah satu destinasi wisata. Karena masih tersandung dugaan korupsi, niat itu pun ditunda sampai hari ini. Kemangkrakan itu bakal terus berlanjut karena Laiskodat akan berhenti berkuasa, September 2023.
Terbengkalai
Pembangunan monumen yang sudah mencapai 30 persen itu pun semakin merana. Bagian leher kepala burung garuda sudah tampak miring. Sebagian besi yang merangkai gambar burung garuda terlepas dari rangka utama dan beberapa rangka besi patah.
Tempat itu pun dimanfaatkan sejumlah anak muda untuk memadu kasih. Sejumlah warga Kupang masih ikut menjadikan monumen yang belum rampung itu untuk berswafoto dan berekreasi.
Baca juga: Relasi Kuasa dan Kepentingan Politik Jadi Monumen Pancasila Mangkrak
Bangunan Gelanggang Olahraga (GOR) Remaja di Oepoi di Kota Kupang yang dibangun 2017 senilai Rp 11 miliar pun mangkrak sampai hari ini. Proyek itu terbengkalai sejak 2018. Nasib bangunan itu pun merana sampai hari ini. Puluhan tiang beton dengan ketinggian sekitar 4 meter dan bangunan lantai dua sudah berdiri tegak.
Bangunan yang berjarak sekitar 30 meter dari GOR utama Kupang itu sudah dipadati rerumputan. Terdapat coretan-coretan dari tangan-tangan jahil di sejumlah dinding bangunan. Bahkan, bangunan ini dimanfaatkan sebagai tempat mesum, terutama pada malam hari.
Bangunan lain yakni rumah sakit modern di Kefamenanu, Timor Tengah Utara (TTU). Bangunan ini mangkrak sejak 2008. Rumah sakit itu dibangun masa kepemimpinan Bupati Gabriel Manek (2005-2010). Namun, pembangunan yang menelan anggaran Rp 18 miliar itu tidak dilanjutkan pada masa kepemimpinan Bupati Raymundus Fernandes (2010-2020) dan Bupati Juandi David (2020-2024).
Rumah sakit yang didirikan di atas lahan seluas 5 hektar milik Pemkab TTU itu sudah mencapai 50 persen. Rumah sakit modern yang dimaksud untuk menampung pasien dari TTU dan warga Timor Leste, terutama Distrik Oecussi, yang berbatasan langsung dengan TTU.
Baca juga: Sejumlah Bangunan Bangunan Strategis di Timor Tengah Utara Mangkrak
Perusahaan yang mengerjakan proyek ini pun sampai hari ini tidak bertanggung jawab atas bangunan yang mangkrak tersebut. Pemda setempat pun tidak peduli atas bangunan itu. Padahal, bangunan seluas 2.000 meter persegi itu telah menelan anggaran Rp 18 miliar.
Selama ini bangunan seluas 2000 meter persegi itu dimanfaatkan untuk tempat berteduh binatang di musim hujan. Sebagian besar dibiarkan kosong. Tak ada aktivitas sama sekali.
Pergantian kepala daerah
Ketua Yayasan Lembaga Anti-Kekerasan Masyarakat (Lakmas) Cendana Wangi NTT Viktor Manbait mengatakan, ada beberapa bangunan di TTU yang menelan miliaran rupiah mangkrak setelah pergantian kepala daerah. Tidak ada pihak yang bertanggung jawab atas proyek yang telah menghabiskan anggaran belasan miliar rupiah itu.
Selain rumah sakit umum modern, masih ada bangunan kantor Badan Pengembangan Masyarakat Desa (BPMD). Bangunan ini menelan anggaran Rp 2 miliar. Bangunan itu mangkrak sejak 2016 sampai saat ini. BPMD dibangun pada masa kepemimpinan Bupati Raymundus Fernandes. Gedung bangunan sudah rampung 70 persen.
Baca juga: Bangunan Gedung Baru Dinas PMD di TTU bak Rumah Hantu
Bagian dari bangunan kantor BPMD di Kefamanenu, Timor Tengah Utara. Kantor yang mangkrak ini menelan biaya Rp 2 miliar.
Tahun 2022 dinas pengembangan masyarakat desa mengalokasikan dana sekitar Rp 30 juta untuk audit menyeluruh bangunan itu oleh tim inspektorat TTU. Namun, sampai hari ini hasil audit itu pun tidak jelas. Dua perusahaan yang mengerjakan proyek itu pun tidak tersentuh hukum sampai hari ini.
Sejumlah bangunan di kabupaten lain pun mangkrak. Bangunan-bangunan itu menelan biaya miliaran rupiah. Sebagian besar mangkraknya bangunan itu pasca-pergantian kepala daerah.
Ketua Yayasan Tukelakang NTT Marianus Minggo mengatakan, peran dari lembaga DPRD dan BPKP di setiap daerah perlu dipertanyakan. Lembaga-lembaga ini mestinya melakukan pengawasan terhadap setiap bangunan yang mangkrak.
Ia mengatakan, jumlah bangunan mangkrak di 22 kabupaten/kota di NTT cukup banyak. Tidak ada lembaga khusus yang melakukan pendataan soal ini. ”Hanya media massa yang memiliki kepedulian menyoroti masalah ini. Itu pun tidak semua bangunan mangkrak diungkap,” ujarnya.
Baca juga: Dukung Kejari TTU Ungkap Korupsi Pembangunan Rumah Sakit Modern
”Provinsi ini masuk kategori miskin nomor tiga nasional. Namun, dana yang digelontorkan dari pusat tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan. Jika dana miliaran rupiah itu dimanfaatkan untuk membangun sektor pertanian, peternakan, bantuan usaha mikro kecil dan menengah, tentu sangat bermanfaat,” kata Minggo.
Semua bangunan yang mangkrak perlu diaudit menyeluruh oleh lembaga independen. Jika ada pelanggaran hukum terkait mangkraknya bangunan fisik itu, harus diproses hukum. Rekanan yang mengerjakan proyek itu pun harus di-black list sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar hukum black list perusahaan yang mengerjakan proyek itu yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang pendaftaran persekutuan komandite, persekutuan firma, dan persekutuan perdata. Di dalamnya antara lain menyebutkan ketentuan pengadaan barang dan jasa oleh sebuah perusahaan.
Hanya media massa yang memiliki kepedulian menyoroti masalah ini. Itu pun tidak semua bangunan mangkrak diungkap. (Marianus Minggo)
Apabila sudah di-black list, perusahaan itu tidak lagi mengerjakan semua proyek di daerah bersangkutan. Namun, selama ini meskipun perusahaan itu melanggar sejumlah kesepakatan pengerjaan proyek, tidak pernah diberi sanksi hukum tegas.
Baca juga: Pengolahan Air Laut Jadi Solusi Menangani Krisis Air Bersih di Kupang
Yosefin Kolo (58), warga Desa Manusasi, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten TTU, mengatakan, dirinya selama ini menjalankan usaha mikro berupa pengadaan jamu-jamuan untuk kesehatan.
”Tiga kali saya mengajukan proposal bantuan pendanaan dari koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah di TTU tetapi tidak pernah ditanggapi. Saya minta mesin parut ukuran kecil. Desa ini berbatasan dengan sejumlah desa di Timor Leste. Warga Timor Leste pun datang berbelanja di sini,” katanya.
Ia mengaku tidak paham soal sejumlah bangunan mangkrak di TTU. Jika hal itu ada kaitan dengan ketidakpedulian pemda terhadap pembangunan UMKM di daerah itu, sangat disayangkan. Jika pemerintah daerah peduli, tentu lebih mengutamakan sektor itu ketimbang sejumlah bangunan fisik yang kemudian ditelantarkan.
Marianus mengusulkan agar setiap pejabat dalam tenggat enam bulan ke depan mengakhiri masa jabatan sebaiknya tidak lagi mengerjakan proyek fisik bernilai miliaran rupiah. Peluang proyek itu mangkrak sangat tinggi di samping dugaan penyalahgunaan keuangan negara pun besar.
Baca juga: NTT Menempati Peringkat II Rumah Tidak Layak Huni Nasional
”Kalau dipaksakan, peluang bangunan itu mangkrak sangat besar. Jika demikian, siapa yang bertanggung jawab. Pejabat baru belum tentu. Memproses hukum pejabat lama pun sulit dengan berbagai alasan,” katanya.