Realisasi Kompensasi dari Pemerintah kepada Keluarga Korban Obat Sirop Dinanti
Tragedi obat sirop beracun yang membuat ratusan anak mengalami gangguan ginjal akut semestinya jadi pelajaran berharga bagi pembuat kebijakan di bidang kesehatan agar lebih berhati-hati dalam pengawasan distribusi obat.
Oleh
PANDU WIYOGA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy telah menyatakan ada pos anggaran bagi pemberian santunan kepada keluarga korban selamat dari obat sirop yang tercemar etilen glikol dan dietilen glikol. Realisasi hal ini dinantikan keluarga korban. Namun, lebih dari itu, tragedi obat sirop beracun ini semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pembuat kebijakan di bidang kesehatan agar lebih berhati-hati dalam pengawasan distribusi obat.
Sebagaimana diberitakan, Muhadjir mengatakan, santunan itu diharapkan bisa diberikan dalam waktu dekat. Dihubungi dari Jakarta, Selasa (17/7/2023), Menko PMK mengungkapkan, sebenarnya sudah ada pos anggaran santunan korban di Kementerian Kesehatan. Kemenko PMK akan menggelar rapat dengan Kemenkes dan pihak terkait untuk segera merealisasikannya pada Rabu (18/7/2023) pagi.
”Semestinya sudah (direalisasikan), setahu saya BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sudah menyetujui,” ungkap Muhadjir (Kompas, 18/7/2023).
Terkait pemberian kompensasi ini, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Karina Dwi Nugrahati Putri, saat dihubungi beberapa waktu lalu, mengatakan, sikap pemerintah yang membuat keluarga korban sampai harus menempuh jalur hukum untuk menuntut kompensasi sangat disayangkan. Proses hukum di pengadilan yang panjang bakal melelahkan untuk keluarga korban. Mereka harus mengingat lagi peristiwa traumatis anak-anak yang meninggal karena obat.
Pada Selasa (18/7/2023) ini, 25 keluarga korban selamat dari obat sirop yang tercemar etil glikol (EG) dan dietilen glikol (DG) akan mengikuti sidang pembacaan gugatan berkelompok (class action) dengan nomor perkara 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keluarga korban yang berasal dari Jabodetabek itu menuntut pertanggungjawaban kepada 11 tergugat.
Ada tiga kelompok tergugat, yaitu tiga lembaga pemerintah, dua perusahaan farmasi, dan enam perusahaan penyalur obat. Tiga lembaga pemerintah itu adalah Kemenkes, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Terlepas dari hal itu, Karina mendukung langkah keluarga korban yang gigih menuntut kompensasi dari pemerintah dan produsen obat. Ia menilai, class action perlu dilakukan untuk mencegah tragedi keracunan obat terulang di masa depan.
”Kejadian ini sangat mengerikan dan bisa terjadi kepada siapa pun. Obat batuk dan obat demam adalah obat yang umum dikonsumsi anak-anak. Kalau ini terjadi lagi, korbannya bisa saja anak saya atau anak Anda. Saya berharap setelah ini pemerintah lebih serius melakukan pengawasan,” ujar Karina.
Ia menyebutkan, sebagai perbandingan, dalam beberapa kasus obat di negara lain, produsen penyedia obat jamak dijatuhi dengan kewajiban ganti rugi dengan jumlah penggugat yang masif dan gugatan class action yang bernilai fantastis. Salah satu contohnya adalah kasus obat diare clioquinol di Jepang.
Clioquinol telah menyebabkan lebih dari 11.000 orang menderita gangguan saraf (subacute myelo-optico-neuropathy/SMON). Pada Maret 1979, The Washington Post melaporkan, pengadilan di Jepang mengharuskan produsen obat membayar kompensasi senilai lebih dari 100 juta dollar AS kepada para korban.
Pemerintah Jepang sebagai pengawas penyedia obat juga dijatuhi hukuman ikut membayar sepertiga dari total jumlah ganti rugi yang diajukan penggugat. Kasus tersebut akhirnya mendorong perbaikan sistem pengawasan obat di Jepang.
Menurut Karina, pemberian kompensasi merupakan langkah yang bisa diambil pemerintah untuk memberi rasa keadilan bagi korban. Namun, yang terpenting, pemerintah harus segera meningkatkan pengawasan peredaran obat dan uji standar sediaan agar tragedi semacam ini tidak terulang kembali.
”Seberapa besar pun kompensasi yang dibayarkan, nyawa yang hilang tidak akan kembali,” ucapnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Charles Honoris, Jumat (7/7/2023), menyatakan, pemerintah sudah mengetahui bahwa sebagian besar korban obat sirop beracun mengalami dampak lanjutan, seperti kelumpuhan. Ia mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab atas dampak jangka panjang dari keracunan obat sirop tersebut.
”Dampak lanjutan, seperti kelumpuhan, itu kemungkinan besar akan permanen. Maka, pemerintah harus memastikan para korban mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan pemerintah harus menanggung beban ekonomi keluarga yang timbul akibat hal ini," kata Charles.
Ia menuturkan, sebagian besar korban merupakan anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Selain dampak kesehatan, keluarga para korban juga mengalami tekanan ekonomi yang berat untuk mengurus dan mengobati anak-anak yang lumpuh akibat obat sirop beracun itu.
”Secara moral, saya mendukung gugatan (hukum) yang diajukan oleh para korban obat sirop beracun. Saya meyakini, dalam hal ini, pemerintah harus bertanggung jawab karena negara lalai melindungi warganya,” ujar Charles.
Perwakilan kuasa hukum para korban, Siti Habiba, mengatakan, keluarga korban yang meninggal menuntut kompensasi Rp 3 miliar per orang, sedangkan keluarga dari korban yang masih dalam pengobatan menuntut kompensasi Rp 2 miliar per orang.
Siti menuturkan, mayoritas korban adalah anak-anak yang tidak memiliki penyakit penyerta. Para korban meminum sirop beracun itu karena diresepkan oleh petugas di fasilitas kesehatan. Sirop beracun adalah obat yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
”Mediasi sempat dilakukan pada Mei-Juni, tetapi tidak menemui kesepakatan. Oleh karena itu, sidang dengan agenda penyerahan gugatan dilaksanakan di PN Jakarta Pusat pada 18 Juli,” kata Habiba.
Adapun Charles mendorong agar penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam tragedi obat sirop beracun ini dilakukan secara transparan. Polisi diminta memberi tahu publik mengenai kemajuan proses hukum tersebut.
”Penegakan hukum harus menyentuh semua pihak yang terlibat agar ada efek jera supaya kejadian serupa tidak terulang lagi,” katanya.
Pada 15 Desember 2022, Ombudsman RI mengumumkan hasil investigasi mereka yang membuktikan Menteri Kesehatan dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan malaadministrasi. Dua lembaga tersebut diminta untuk segera melakukan tindakan korektif (Kompas, 16/12/2023).