Cegah Penularan, Pemerintah Diminta Beli Lahan yang Terpapar Spora Antraks
Untuk mencegah penularan, lahan tempat penyembelihan dan penguburan hewan ternak terpapar antraks di Gunungkidul seharusnya tidak digunakan lagi. Untuk memastikan hal itu, pemerintah diminta membeli lahan tersebut.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Untuk mencegah penularan meluas, lahan tempat penyembelihan dan penguburan hewan ternak yang terpapar antraks di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, seharusnya tidak digunakan lagi untuk aktivitas apa pun. Hal ini karena lahan itu kemungkinan besar telah terpapar spora yang bisa menularkan antraks. Untuk memastikan tak ada aktivitas lagi di sana, pemerintah diminta membeli lahan tersebut.
”Itu, kan, bisa dilacak matinya di mana, disembelih di mana. Maka, mestinya pemerintah mengambil alih. Tanah di situ dibeli dengan ganti untung agar tidak lagi dipakai untuk selamanya,” kata dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nanung Danar Dono, dalam konferensi pers, Jumat (7/7/2023), di Kampus UGM, Kabupaten Sleman, DIY.
Sebelumnya diberitakan, penularan penyakit antraks terjadi di Dusun Jati, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu, Gunungkidul. Akibatnya, satu orang meninggal dengan status positif antraks. Selain itu, 87 orang lain berstatus seropositif atau suspek antraks.
Penularan penyakit yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis itu awalnya terjadi pada sejumlah sapi dan kambing. Total ada enam sapi dan enam kambing yang terpapar antraks lalu mati di Dusun Jati.
Akan tetapi, daging hewan ternak yang telah mati itu kemudian dikonsumsi oleh sejumlah warga. Kondisi itulah yang diduga menyebabkan terjadinya penularan antraks pada manusia.
Nanung memaparkan, saat seekor hewan terpapar antraks, di dalam darahnya akan terdapat bakteri Bacillus anthracis. Ketika hewan itu disembelih, bakteri tersebut akan ikut keluar. Saat berinteraksi dengan udara, bakteri tersebut akan membentuk spora yang bisa menularkan antraks. Spora tersebut bisa menempel di tanah dan bisa bertahan hingga puluhan tahun.
Oleh karena itu, apabila ada sebidang lahan yang terpapar spora antraks lalu digunakan lagi untuk aktivitas, penularan antraks bisa terjadi lagi di kemudian hari. Dengan kondisi itu, Nanang menyatakan, lahan tersebut tidak boleh digunakan untuk aktivitas apa pun, termasuk untuk kandang hewan ternak ataupun lahan pertanian.
Untuk memastikan lahan tersebut tidak digunakan lagi, Nanang menyebut, pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk membeli tanah itu. Setelah itu, harus dibangun pagar tinggi di sekelilingnya agar orang tak bisa masuk. Selain itu, mesti ada pengumuman bahwa area tersebut merupakan daerah berbahaya sehingga tidak dimanfaatkan untuk aktivitas apa pun.
Hentikan ”brandu”
Di sisi lain, Nanang juga meminta agar tradisi brandu yang banyak dipraktikkan masyarakat di Gunungkidul dihentikan. Brandu merupakan tradisi mengumpulkan iuran untuk diserahkan kepada pemilik dari ternak yang mati atau sakit, lalu daging hewan itu dibagikan kepada orang-orang yang mengumpulkan iuran.
Tradisi itu sebenarnya memiliki tujuan baik, yakni untuk membantu warga yang ternaknya mati agar tidak menderita kerugian sangat besar. Namun, tradisi tersebut berpotensi membahayakan kesehatan karena ternak yang mati bisa saja menularkan penyakit.
”Mohon dengan sangat, kebiasaan brandu itu tolong jangan diulang lagi selamanya. Jadi, kalau ada hewan yang mati mendadak, jangan kemudian di-brandu dan dibagi-bagikan dagingnya. Itu, kan, membagikan penyakit,” ujar Nanang.
Menurut Nanang, masyarakat tetap bisa mengumpulkan iuran untuk membantu warga yang hewan ternaknya mati. Namun, dia meminta agar daging hewan ternak yang mati itu tidak dibagi-bagikan dan dikonsumsi.
Agar tradisi brandu bisa dihentikan, Nanang menyebut, pemerintah bisa memberikan insentif atau uang pengganti kepada pemilik hewan ternak yang mati karena antraks. Skema lain yang bisa dilakukan adalah menggalakkan asuransi hewan ternak sehingga warga yang ternaknya mati bisa mendapatkan ganti.
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Agnesia Endang Tri Hastuti Wahyuni, menyatakan, antraks merupakan zoonosis karena bisa menular dari hewan ke manusia. Dia menambahkan, antraks juga bisa mengakibatkan kematian, baik pada hewan maupun manusia. ”Antraks itu penyakit yang tidak mudah ditangani,” ujarnya.
Hal itu karena spora antraks bisa bertahan sangat lama di tanah. Menurut Agnesia, apabila hewan ternak memakan rumput yang terkena spora, hewan tersebut bisa terpapar antraks. ”Begitu masuk ke jaringan tubuh manusia atau hewan, spora itu akan berkembang biak menjadi sel vegetatif, membelah cepat,” katanya.
Agnesia menambahkan, hewan yang mati karena antraks tidak boleh disembelih agar tidak menyebarkan spora ke lingkungan sekitar. ”Jadi, kalau ada hewan terkena antraks lalu disembelih, itu kesalahan fatal. Bakteri Bacillus anthracis itu sebagian besar ada di darah. Kalau darah keluar, kemudian bakteri berinteraksi dengan udara, akan terbentuk spora yang menjadi momok,” ungkapnya.
Mohon dengan sangat, kebiasaan brandu itu tolong jangan diulang lagi selamanya.
Agnesia menyebut, hewan yang terkena antraks harus dimasukkan ke dalam lubang dengan kedalaman 2-3 meter, lalu dibakar sampai habis. Setelah itu, lubang tersebut ditutup dengan tanah, lalu ditutup dengan semen sebagai penanda bahwa di situ dikubur bangkai hewan yang terkena antraks.
”Kalau tidak ditutup dengan semen, tidak diberi tanda, suatu ketika dibongkar tanah itu, spora-sporanya masih ada. Kejadian seperti itu benar-benar ada,” pungkasnya.