Aksi Massa di Seruyan Dipicu Persoalan Plasma Sawit
Konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah kembali terjadi. Di Seruyan, warga protes karena plasma tak kunjung diberikan perusahaan sehingga berujung ricuh.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Aksi massa di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, berujung ricuh. Warga marah karena tuntutan mereka terkait plasma sawit tak dipenuhi, ditambah lagi kerabat mereka ditangkap dan dituduh mencuri sawit. Satu polisi dan satu warga mengalami luka dalam peristiwa ini.
Masyarakat di Desa Suka Mandang dan Desa Ayawang, Seruyan Tengah, berhadapan dengan aparat kepolisian seusai melakukan aksi protes terhadap sebuah perusahaan perkebunan sawit, Kamis (6/7/2023). Mereka tak terima kerabat mereka ditangkap dan dituduh mencuri sawit milik perusahaan.
Kepala Bidang Humas Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji menjelaskan, kerusuhan tersebut merupakan puncak kekecewaan masyarakat karena tuntutannya tidak terpenuhi. Pertama, masyarakat meminta perusahaan memenuhi kewajibannya memberikan kebun plasma 20 persen; kedua, mereka menuntut bertemu dengan pimpinan daerah; ketiga, mereka menuntut kerabat mereka dibebaskan.
”Karena tidak ada yang bisa memberikan penjelasan kepada mereka, akhirnya rusuh. Kami hadir di sana untuk mengamankan situasi, akhirnya malah kami korban juga,” ungkap Munaji di Palangkaraya, Jumat (7/7/2023).
Munaji menambahkan, sebelum aksi yang berujung ricuh tersebut, aparat menangkap enam warga yang diduga mencuri buah sawit. Saat penangkapan, salah satu dari enam orang tersebut berusaha melawan sehingga diambil tindakan oleh pihak kepolisian.
”Satu orang itu, ya, lebam-lebam, tetapi kemudian pascakerusuhan mereka kami lepaskan. Polisi juga korban satu orang kena lemparan batu, satu lagi kakinya terkilir,” ungkapnya.
Munaji menyebut, kerusuhan itu merupakan puncak kekesalan warga karena plasma tidak bisa direalisasikan perusahaan. Menurut Munaji, pihak perusahaan perkebunan sawit tidak bisa memberikan plasma karena, menurut mereka, perusahaan tidak wajib untuk memberikan plasma.
Perusahaan itu, lanjut Munaji, sudah mendapatkan izin sebelum kebijakan pemberian plasma ada, yakni sebelum tahun 2007. ”Perusahaan ingin memberikan program pengembangan ekonomi produktif, tetapi tak ada yang bisa menjelaskan itu, akhirnya terjadilah kericuhan,” kata Munaji.
Kerusuhan itu menimbulkan sejumlah kerusakan fasilitas milik perusahaan perkebunan, termasuk belasan mobil operasional hingga kantor perusahaan di kebun sawitnya di wilayah Kabupaten Seruyan. Tak hanya milik perusahaan, tiga mobil operasional milik Polda Kalteng juga dirusak massa.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rizki Badjuri menjelaskan, pihaknya akan menelusuri akar permasalahan konflik plasma di Seruyan. Ia menyayangkan aksi itu berujung ricuh, padahal seharusnya bisa diselesaikan dengan komunikasi semua pihak.
”Kami akan berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten, dengan kepolisian, perusahaan, dan masyarakat. Kami upayakan mediasi ke sana secepatnya,” ucap Rizki.
Kewajiban pembangunan kebun masyarakat atau plasma sebesar 20 persen itu banyak yang mengatur.
Dari catatan Kompas, selama 2023, setidaknya terjadi lima kasus persoalan plasma di Kalimantan Tengah. Ujungnya, masyarakat melakukan aksi panen massal yang kemudian menjadi alasan kepolisian menangkap warga tersebut.
Di Kotawaringin Barat, tiga orang yang merupakan satu keluarga ditangkap karena dituduh mencuri sawit di tanahnya sendiri, yakni di Desa Kinjil. Tak jauh dari Kinjil, tepatnya di Desa Babual Baboti, 10 warga ditangkap polisi karena aksi massa yang berujung kericuhan. Sementara di Kabupaten Seruyan, ini merupakan yang ketiga kalinya masyarakat melakukan aksi menuntut kebun plasma.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Save Our Borneo Muhammad Habibi menjelaskan, kewajiban pembangunan kebun masyarakat atau plasma sebesar 20 persen itu banyak yang mengatur. Menurut dia, alasan perusahaan tak masuk akal.
”Bahkan, sampai aturan terbaru ini pun mengatur kewajiban itu. Dalam dokumen izin lokasi, HGU (hak guna usaha), dan pelepasan kawasan hutan di sana juga disebutkan wajib membangun kebun untuk masyarakat sebesar 20 persen,” ungkap Habibi.
Untuk itu, menurut Habibi, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang menciptakan kebijakan tersebut harus aktif memeriksa hingga mengevaluasi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum menjalankan kewajibannya.
”Pemerintah bukan hanya sebagai fasilitator. Kan, negara yang memberikan kewajiban itu. Siapa itu negara? Ya, pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus tegas. Kalau perusahaan tidak menjalankan kewajibannya, evaluasi hingga beri sanksi sampai pencabutan izin lalu membagikan tanah dan kebun itu ke masyarakat,” kata Habibi.