Ratusan Ribu Hektar Perkebunan Sawit Milik Perusahaan di Kalteng Masuk Kawasan Hutan
Ratusan ribu hektar perkebunan sawit milik perusahaan masuk dalam kawasan hutan di Kalimantan Tengah. Pemerintah saat ini sedang melakukan pemantauan dalam rangka perbaikan tata kelola perkebunan sawit.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara mulai memantau perkebunan sawit di Kalimantan Tengah. Kalteng menjadi fokus kerja lantaran setidaknya 632.133,96 hektar kebun sawit terbangun di kawasan hutan.
Hal itu terungkap dalam sosialisasi Self-reporting Tata Kelola Industri Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara di Palangkaraya, Kalteng, Kamis (6/7/2023). Hadir dalam kegiatan itu Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono dan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Andi Nur Alamsyah. Ada juga Wakil Ketua II Satgas Tata Kelola Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara Agustina Arumsari, juga pejabat lainnya.
Dalam kesempatan ini, Bambang Hendroyono mengungkapkan kondisi nasional perkebunan kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan. Terdapat 3.374.041 hektar tutupan sawit di kawasan hutan di Indonesia. Untuk 237.511 hektar sudah terbit SK pelepasannya, 913.350 hektar sedang dalam proses penetapan SK, sedangkan 2.223.180 hektar belum diproses.
Data tersebut diambil berdasarkan tutupan sawit yang sudah tumbuh di kawasan hutan. Sementara data sawit yang tumbuh berdasarkan SK penetapan data dan informasi dari tahap I sampai tahap XIII total 1.660.068,97 hektar di seluruh Indonesia.
Khusus di Kalteng terdapat 632.133,96 hektar kebun sawit berada di kawasan hutan. Kawasan itu lebih luas dari Pulau Bali.
”Ketika lihat hak guna usaha di dalam kawasan hutan, kami lihat lagi kalau keluar (izin) sebelum UU No 41 Tahun 1999, maka kami cut off. Kalau keluar setelah itu, akan kami lepaskan (dari kawasan hutan),” kata Bambang.
Menurut dia, keberadaan satgas sawit akan membantu pemenuhan data terkait perkebunan kelapa sawit yang selama ini beroperasi di kawasan hutan. Data tersebut nantinya akan menjadi acuan pihaknya untuk mengambil tindakan selanjutnya.
Andi Nur Alamsyah menjelaskan, sejak tahun 2017, pihaknya telah membuat sistem perizinan perkebunan agar perusahaan perkebunan, khususnya sawit, bisa membuat laporan dengan efisien. Mereka menyebutnya dengan self-reporting.
Pelaku usaha perkebunan diberi waktu sebulan untuk melaporkan kinerjanya. Perkembangan usaha itu meliputi perolehan hak atas tanah, perolehan ISPO, pemenuhan kewajiban penilaian usaha perkebunan, izin-izin, hingga pemenuhan kewajiban plasma perusahaan.
”Namanya tata kelola, pasti untuk menghilangkan konflik. Saya yakin jika (tata kelola) selesai, konflik agraria hilang,” ungkap Andi.
Sementara itu, Agustina Arumsari mengungkapkan telah bergerak di Kalteng, Riau, dan Sumatera Utara untuk tahap pertama. Tahap selanjutnya akan dilanjutkan ke semua wilayah perkebunan di Indonesia.
Agustina menyampaikan, soal ketelanjuran sawit di dalam kawasan hutan bukan pemutihan kawasan. Pihaknya harus melihat lebih detail lagi status kawasan. Jika di kawasan hutan lindung, misalnya, itu sama sekali tidak boleh dilakukan, lalu dilihat lagi masa daur ulang tanamnya.
”Dari total 3,3 juta hektar yang masuk kawasan hutan itu akan kami lihat satu per satu, tidak bisa dipukul rata, ini kasuistis. Harus dilihat bagaimana dulu waktu perusahaan membangun di awal, tata ruang waktu itu bagaimana, jadi masing-masing,” kata Agustina.
Hal itu ditegaskan kembali oleh Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK Yazid Nurhuda. Menurut dia, dalam UU Cipta Kerja, sesuai Pasal 110a dan 110b, pemerintah tidak bisa lagi memberi sanksi pidana dalam ketelanjuran kebun sawit yang masuk kawasan hutan.
”Kalau dulu dipidana, sekarang tidak bisa. Diberi sanksi administratif saja, diberi denda, setelah denda dibayar kemudian diberi legalitas,” kata Yazid.
Menanggapi hal itu, Pelaksana Tugas Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Kalteng Rizky Djaya mengapresiasi upaya pemerintah memperbaiki tata kelola sawit. Kalteng saat ini merupakan wilayah dengan kontribusi paling besar untuk negara dari kelapa sawit sehingga perlu menjadi fokus pemerintah.
Rizky berharap dengan adanya sistem tersebut, data yang dimiliki bisa menjadi satu. ”Selama ini data areal dari pemerintah daerah sendiri tidak menguasai,” ujarnya.
Hal itu, menurut Rizky, jadi pemicu konflik. Adanya satu data ini diharapkan bisa mengurangi konflik lahan antara perusahaan dan pemerintah ataupun negara. ”Sosialisasi ini harus sampai ke tingkat desa sehingga mereka bisa menguasainya juga,” ucapnya.
Akan tetapi, Manajer Advokasi Walhi Kalteng Janang Firman mengatakan, pemerintah harus menindak tegas perusahaan nakal yang tidak memenuhi kewajibannya terlebih dahulu. Hal itu termasuk perusahaan yang selama ini beroperasi di dalam kawasan hutan.
”Ini sama saja dengan pemutihan, artinya sudah melanggar hanya diberi sanksi administratif. Di satu sisi, masyarakat dikriminalisasi, seperti di Kinjil, Penyang, dan banyak desa lain di Kalteng,” ungkapnya.
Janang berharap audit besar-besaran dilakukan oleh satgas dengan melibatkan masyarakat. Ia menilai, sosialisasi sistem tata kelola sampai saat ini masih minim keterlibatan masyarakat.