Masyarakat Banyuwangi senang mencampur aneka masakan menjadi menu baru ala mereka. Dari sepiring rujak soto, kita diajak menengok karakteristik masyarakat Banyuwangi yang terbuka, kreatif, dan adaptif.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
Jika berkunjung ke Banyuwangi, tidak lengkap jika tidak mencicipi kuliner di sana. Dan menariknya, kuliner yang disebut khas Banyuwangi tersebut sebenarnya adalah masakan ”campur-campur”.
Salah satu makanan khas Banyuwangi tersebut adalah rujak soto. Ini adalah rujak petis (minus cingur) yang disiram dengan kuah soto babat. Bagaimana rasanya? Bayangkan saja sepiring rujak petis gurih, disiram soto babat berempah. Sungguh pertemuan rasa yang menciptakan sensasi unik cita rasa baru. Gurih, berempah, dan segar.
Salah satu warung rujak soto bisa dikunjungi saat berada di Banyuwangi adalah rujak Soto Bu Henny di Jalan MH Thamrin, Kota Banyuwangi. Warung ini memang warung kecil, sehingga rata-rata penikmat rujak sotonya lebih banyak dibungkus.
Namun, dari warung kecil tersebut, cita rasa rujak soto racikan Bu Henny bisa membuat pelanggannya jatuh cinta. ”Banyak pelanggan yang datang dari Jakarta, minta dibuatkan rujak soto dan diantar ke tempat mereka menginap. Ada juga yang datang jauh-jauh ke sini hanya ingin mencicipi rujak soto,” katanya.
Bu Henny mengisahkan bahwa, rujak soto adalah makanan khas Banyuwangi, yang ia tidak tahu asal usulnya seperti apa. Ia juga tidak paham kenapa masakan Banyuwangi banyak mencampur-campur menu yang sudah jadi. ”Tidak tahu kenapa bisa campur-campur. Tapi inilah makanan khas Banyuwangi. Rujak petis dicampur soto jadinya rujak soto. Mungkin inilah kreativitas orang Banyuwangi. Kalau kreasi itu tidak disukai, mungkin tidak akan bertahan lama seperti sekarang ini,” katanya.
Sebagaimana jamak diketahui, kuliner Banyuwangi dikenal merupakan campuran aneka menu masakan. Misalnya pecel rawon (campuran nasi pecel dan rawon), rujak soto (menu rujak petis dan soto babat), pecel pitik (campuran ayam panggang dan bumbu parutan kelapa), dan seterusnya.
Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Ikwan Setiawan, kuliner itu merepresentasikan karakteristik budaya masyarakatnya. Karena itu, menu masakan ”campur-campur” ala Banyuwangi pun dinilai memiliki makna khusus. ”Ini bisa menggambarkan bahwa karakter atau budaya masyarakat Banyuwangi cukup terbuka, adaptif, kreatif, dan futuristik. Apa pun itu, senyampang tidak bertentangan dengan budaya Banyuwangi, maka hal baru itu akan diterima sehingga semua hal bisa menjadi hibrid. Baik kuliner, seni budaya, bahkan mungkin bahasa,” kata Ikwan. Hibrid gampangnya adalah perpaduan atau percampuran atau perkawinan antara dua hal berbeda menjadi hal baru.
Ikwan mencontohkan pergelaran festival Banyuwangi Ethno Carnival (BEC) di mana saat itu diadakan karnaval budaya Banyuwangi. Semula acara tersebut ditolak karena dinilai hanya meniru daerah lain (Jember). Namun lama-lama, event tersebut bisa diterima. Bahkan, menurut beberapa orang Banyuwangi, kini banyak orangtua rela membayar (mendaftar) agar anaknya bisa ikut dalam acara-acara festival tersebut.
”Jika ditarik ke konteks lebih luas, kita bisa belajar banyak pada Banyuwangi dalam menyikapi perkembangan zaman yang tak bisa kita tentang. Bagaimana menerima hal baru, adaptif, tetapi tidak menerimanya untuk mendominasi atau mematikan hal lama. Akan tetapi, dikreasikan menjadi hal baru yang menguntungkan,” kata Ikwan.
Dosen antropologi Universitas Brawijaya, Ary Budiyanto, menyebut bahwa fusion food, yaitu kombinasi/perpaduan makanan, sudah lumrah dan alamiah terjadi di warung-warung Jawa yang selalu menyediakan beragam masakan. ”Bisa dikatakan bahwa kebiasaan pelangganlah yang kadang berperan penting dalam terjadinya fusion tersebut hingga menjadi hidangan hibrid yang unik,” kata Ary.
Menurut penulis buku Katjang Tjina dalam Kuliner Nusantara tersebut, selain pelanggan, warung akhirnya punya peran penting sebagai tempat inkubasi alamiah munculnya hidangan-hidangan hibrid, termasuk salah satunya rujak soto.
Pada akhirnya, rujak soto membuktikan bahwa masyarakat Banyuwangi cukup kreatif dan terbuka melahirkan kreasi-kreasi hibrid baik seni maupun kulinernya. Ke depan, sangat mungkin akan lahir kreasi-kreasi baru lagi dari masyarakat Banyuwangi, seiring perkembangan zaman.