Dari Tampah ke Lampion, Upaya Adaptif Perajin Bambu Desa Mujur
Para perajin bambu di Kroya, Cilacap, Jawa Tengah, berusaha mengikuti perkembangan zaman. Dari semula hanya membuat tampah, kini mereka membuat aneka kerajinan, termasuk lampu lampion.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
Keterampilan warga Desa Mujur, Kecamatan Kroya, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, menganyam bilah-bilah bambu menjadi tampah diturunkan dari generasi ke generasi sejak tahun 1960-an. Namun, harga jual tampah Rp 10.000 per buah tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan harian. Mereka pun berupaya membuat aneka anyaman, seperti lampu lampion dan lampu taman, yang lebih bernilai ekonomi tinggi.
Siang itu, di teras rumahnya, Irun (50) menganyam hiasan lampu gantung dengan tinggi 120 sentimeter dengan lebar 60 sentimeter. Hiasan lampu yang mirip kurungan ayam itu jadi salah satu sampel yang akan jadi pesanan pembeli jika hasilnya memuaskan. ”Ini masih contoh. Kalau dijual, harganya bisa lebih dari Rp 50.000,” kata Irun, Selasa (4/7/2023).
Irun mengisahkan, dirinya sehari-hari adalah petani dan di saat senggang atau setelah musim panen ataupun tanam, menganyam bambu adalah kegiatannya. Pembuatan lampion atau lampu hias ukuran besar dikerjakan pada siang hari, sedangkan pada malam hari dia dan istrinya membuat anyaman bambu untuk tampah. ”Sejak kecil saya sudah bikin tampah. Kalau lampion atau lampu ini baru sekitar lima tahun ini,” katanya.
Ketua Kelompok Bambu Wijaya Craft Desa Mujur Hadi Suwito (54) menyebutkan, di desanya ada sekitar 500 perajin bambu. ”Di sini memang banyak pohon bambu. Semula kebanyakan perajin tampah sejak nenek moyang, tapi kemudian terus meningkat membuat anyaman lain,” katanya.
Selain jadi tampah dan lampu lampion, bambu yang dianyam juga menjadi semacam bakul atau wadah nasi, hiasan atau lukisan bambu, keranjang, juga angklung. Harga jualnya berkisar Rp 50.000 hingga Rp 150.000 per buah. Pelatihan dari pemerintah dan mencoba-coba secara otodidak mereka tempuh untuk menciptakan karya baru. ”Pekerjaan utama orang-orang di sini ada yang bertani dan berdagang, menganyam bambu itu menjadi sampingan,” ujar Hadi.
Dulmar (62), salah satu perajin bambu, mengatakan, untuk membuat 20 tampah dibutuhkan waktu 3-4 hari. Setelah dipotong dan dijemur hingga kering, bambu kemudian dibelah. Ada yang bertugas menghaluskan tepian bambu, ada yang menganyam, serta ada pula yang memasang kerangka lingkaran bambu.
Ketua Paguyuban Wong Mujur Suratno mengatakan, tampah bambu dari desanya sering kali dijual di Pasar Wage, Kroya, dan diambil tengkulak untuk dipasarkan ke wilayah Sumatera. Namun, dari pengalamannya, usaha membuat tampah saja tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan harian. Bahkan, membuat tampah justru identik dengan kemiskinan.
Oleh karena itu, beberapa tahun terakhir, Suratno mencoba mengajak para perajin untuk membuat kreasi anyaman lain dan menawarkan produknya ke luar kota. Alhasil, anyaman bambu berupa lampion bisa dipasarkan di tempat-tempat wisata, seperti di Yogyakarta dan Bali, bahkan pernah diekspor lewat kerja sama dengan pihak ketiga. ”Sebelum pandemi, bisa ekspor ke Perancis, Jerman, Belanda, dan Italia,” ujar Suratno.
Kini, kata Suratno, para perajin masih berupaya menciptakan produk-produk yang diminati pasar dan mencoba mencari pasar baru, seperti perusahaan home decor atau properti untuk mempercantik taman. Salah satu tantangan para perajin adalah minimnya regenerasi. Anak-anak muda saat ini kurang tertarik menganyam bambu. ”Anak-anak muda kurang melirik bisnis ini. Padahal, potensinya besar,” ujarnya.