Indonesia harus menyelamatkan industri karet nasional yang terpuruk. Alih fungsi kebun karet petani yang masif harus dihentikan. Peremajaan tanaman harus didorong. Potensi hilirisasi karet dalam negeri juga sangat besar.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Peluang bisnis karet di pasar dunia masih sangat besar di saat industri nasional kini justru terpuruk. Ke depan, alih fungsi kebun karet petani harus dihentikan. Peremajaan dengan bibit unggul harus terus didorong. Potensi hilirisasi karet dalam negeri juga masih terbuka dikembangkan.
Ketua Dewan Karet Indonesia A Aziz Pane kepada Kompas, Rabu (5/7/2023), mengatakan, semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, pengusaha, hingga petani, harus menyadari kalau industri karet nasional sedang terpuruk. Ini, kata dia, perlu diselamatkan.
”Produksi karet petani terus merosot dan pabrik karet remah satu per satu tutup. Ini permasalahan yang sangat serius,” kata Aziz.
Aziz mengatakan, Indonesia merupakan negara penghasil karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Ada 2,9 juta petani karet di Indonesia yang sumber ekonomi keluarganya bergantung pada kebun karet seluas 3,6 juta hektar.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini para petani mulai menebang tanaman karetnya dan menggantinya menjadi tanaman lain, terutama sawit, ubi, tebu, dan lain sebagainya. Hal itu karena harga karet yang menurun dan produktivitas sangat rendah karena sudah tua.
Petani juga tidak punya modal untuk peremajaan. Mereka tidak bisa menunggu selama lima tahun tanpa penghasilan sampai tanaman karet yang baru menghasilkan getah kembali.
Dewan Karet Indonesia sudah pernah mengusulkan skema kerja sama antara perusahaan dan petani. Selain itu, pemerintah juga didorong memberikan bantuan kepada petani karet. Namun, hal itu tidak terlaksana.
Peremajaan itu sangat penting mengingat produktivitas kebun karet Indonesia sangat rendah, hanya 300 kilogram karet remah per hektar per tahun. Angka ini jauh di bawah beberapa negara penghasil karet lainnya yang bisa mencapai 1.300 kg per hektar per tahun. Produktivitas yang rendah membuat dampak penurunan harga di tingkat petani semakin besar.
Dengan produktivitas yang lebih baik, peluang bisnis industri karet di pasar dunia sebenarnya masih sangat besar. Beberapa negara saat ini justru melakukan ekspansi kebun karet, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, hingga Pantai Gading.
Hilirisasi
Aziz mengatakan, hilirisasi karet di Indonesia juga masih mempunyai peluang yang sangat besar. Namun, pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk mendorongnya. Sekitar 85 persen produksi karet diekspor, hanya 15 persen yang diserap di dalam negeri.
Industri yang paling banyak menyerap karet remah adalah industri ban, sekitar 75 persen dari total produksi karet nasional. Indonesia menjadi basis produksi ban dari berbagai perusahaan multinasional ataupun nasional.
Ban dari Indonesia diekspor, terutama ke Jepang, Amerika Serikat, Eropa, dan China. Untuk menambah serapan dari industri ban, pemerintah perlu mendorong investasi pabrik ban.
Industri ban vulkanisir juga mempunyai peluang sangat besar. Ban vulkanisir juga menyerap karet remah dalam jumlah besar. Jika industri ban dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar, usaha ban vulkanisir didominasi industri kecil dan menengah.
”Namun, industri ban vulkanisir di Indonesia tidak berkembang,” kata Aziz.
Padahal, negara-negara maju saja, seperti Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat, mempunyai industri ban vulkanisir yang sangat besar. Ban vulkanisir harganya hanya sekitar 50 persen dari ban baru, tetapi kualitasnya mencapai 80 persen. Ban vulkanisir kurang bisa diterima pasar di Indonesia karena kualitasnya perlu diperbaiki.
Selain itu, ada sejumlah produk yang bisa menyerap karet, seperti dock fender (karet penahan benturan di pelabuhan), pipa air, papan rambu lalu-lintas, dan lain sebagainya. Produk-produk ini banyak digunakan di Indonesia, tetapi sebagian besar diimpor dari luar. Proyek pemerintah saja banyak yang mengimpornya dari luar.
”Karena itu, kebijakan tentang tingkat komponen dalam negeri seharusnya digalakkan,” kata Aziz.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah mengatakan, di Medan, hilirisasi karet terus dilakukan untuk meningkatkan penyerapan dalam negeri. Selain pabrik ban, di Medan juga ada pabrik alas kaki, ban vulkanisir, sarung tangan karet, hingga dock fender.
”Namun, untuk dock fender ini memang mengalami kendala karena banyak yang membeli dari luar negeri. Perusahaan yang ada di Medan pun hanya memproduksi ketika ada yang pesanan saja. Padahal, ini menyerap karet dalam jumlah yang sangat besar,” kata Edy.