Seretnya Bahan Baku Membuat Industri Karet di Kalsel Lesu
Industri karet di Kalimantan Selatan juga mulai lesu karena pasokan bahan olah karet rakyat atau bokar berkurang.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Industri pengolahan karet di Kalimantan Selatan juga mulai lesu karena pasokan bahan olah karet rakyat atau bokar berkurang. Harga karet yang cenderung stagnan membuat banyak petani mengganti tanaman karet dengan tanaman kelapa sawit karena dianggap lebih menguntungkan.
Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Kalimantan Selatan dan Tengah Hasan Yuniar di Banjarmasin, Selasa (4/7/2023), mengatakan, hampir semua industri karet di Indonesia, baik di Sumatera maupun di Kalimantan, mulai lesu akibat minimnya pasokan bokar. Satu demi satu pabrik karet akhirnya berhenti beroperasi.
Di Kalsel kini masih ada sembilan pabrik karet yang beroperasi setelah satu pabrik tutup pada 2021. Pabrik itu gulung tikar karena tidak mampu lagi menutupi biaya operasional meskipun sudah melakukan efisiensi.
”Memang, baru satu pabrik yang tutup. Namun, pabrik yang lain tidak menutup kemungkinan akan gugur juga. Ini biasanya susul-menyusul saja,” kata Hasan.
Salah satu persoalan yang membuat pabrik tutup, menurut Hasan, adalah kurangnya pasokan bahan baku karet. Karena kekurangan bahan baku, perusahaan karet akhirnya kesulitan memenuhi kontrak dengan pembeli.
”Kami tahu petani sekarang enggan menyadap karet karena harganya rendah. Namun, pengusaha juga tidak bisa serta-merta menaikkan harga karena harga karet mengikuti harga SICOM (Singapore Commodity Exchange),” katanya.
Pada minggu pertama Juli 2023, harga karet berdasarkan SICOM sebesar 1,31 dollar AS atau Rp 19.676 per kilogram (kg). Dengan harga segitu, harga karet di tingkat pabrik dengan kadar karet kering (K3) 100 persen adalah Rp 16.000-Rp 17.000 per kg.
Hasan menyebutkan, harga itu sebetulnya masih cukup baik jika petani bisa menghasilkan karet dengan K3 sebesar 65 persen. Dengan begitu, harganya bisa mencapai Rp 11.000 per kg. ”Namun, kebanyakan habis disadap langsung dijual sehingga harganya cuma Rp 6.000 sampai 7.000 per kg,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) Kalsel Agus Kharison mengatakan, harga karet di tingkat petani saat ini rata-rata Rp 8.000 per kg. Harga itu sudah lumayan membaik setelah sempat hanya Rp 5.500 per kg di awal masa pandemi Covid-19 tahun 2020.
Namun, menurut Agus, harga karet saat ini belum sebanding dengan harga bahan pokok yang juga sudah naik. Sebagai perbandingan, harga 1 kg karet belum cukup untuk membeli 1 kg beras yang harganya mencapai Rp 14.000 per kg.
Kalau harga karet tetap segini-gini aja, saya yakin lima tahun ke depan bisa dipastikan jumlah pokok karet berkurang 50-70 persen dari sekarang.
”Banyak petani enggan menyadap karet dan mengganti tanaman karetnya dengan kelapa sawit. Itu membuat produksi karet di lapangan juga turun 50 persen dari biasanya,” kata Agus yang tinggal di Desa Kebun Raya, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut.
Dia mengatakan, UPPB yang diharapkan bisa memperbaiki mutu dan harga bokar di tingkat petani juga tidak bisa berbuat banyak. Sebab, bokar yang dipasarkan lewat UPPB tidak sampai 2 persen dari total bokar yang dipasok ke pabrik setiap bulan. ”Bokar dari UPPB yang masuk ke pabrik tidak sampai 2.000 ton per bulan,” ujarnya.
Menurut Agus, harus ada subsidi dari pemerintah untuk perbaikan harga karet. Minimal harga karet di tingkat petani itu Rp 10.000 per kg. Jika harganya Rp 10.000 per kg, petani karet yang rata-rata memproduksi 3 kuintal per hektar per bulan bisa mendapatkan Rp 3 juta per bulan atau hampir setara dengan upah minimum provinsi (UMP) Kalsel sebesar Rp 3,1 juta per bulan.
”Kalau harga karet tetap segini-gini aja, saya yakin lima tahun ke depan bisa dipastikan jumlah pokok karet berkurang 50-70 persen dari sekarang. Masyarakat sudah pintar dan punya hitungan sendiri. Mereka mending tanam sawit dan bekerja jadi buruh dulu sambil menunggu sawit bisa dipanen dalam waktu empat tahun,” tuturnya.