Selamat Jalan Thomas Pudjo, Jurnalis Budaya yang Dirindukan Banyak Orang
Mantan wartawan harian ”Kompas”, Thomas Pudjo Widijanto, meninggal dunia, Senin (3/7/2023). Jurnalis yang intens meliput perkembangan seni budaya di Yogyakarta itu dikenal sebagai sosok yang tanpa pamrih dan rendah hati.
Oleh
HARIS FIRDAUS, NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Mantan wartawan harian Kompas, Thomas Pudjo Widijanto, meninggal dunia, Senin (3/7/2023), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnalis yang intens meliput perkembangan seni budaya di Yogyakarta itu dikenal sebagai sosok yang tanpa pamrih dan rendah hati sehingga selalu dirindukan banyak orang.
Pudjo meninggal dunia pada usia 65 tahun di Rumah Sakit Panti Nugroho, Sleman, pada Senin sekitar pukul 14.30. Jenazahnya kemudian disemayamkan di rumah duka di Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman. Jenazah Pudjo akan dimakamkan pada Selasa (4/7/2023) siang di wilayah Minomartani, Sleman.
Pudjo bergabung ke harian Kompas pada tahun 1985. Lelaki kelahiran 23 November 1957 itu awalnya bertugas sebagai koresponden di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Setelah itu, Pudjo pernah bertugas di berbagai daerah, termasuk meliput konflik di Maluku.
Suami dari Erawati Werdiningsih tersebut kemudian lama bertugas di Yogyakarta. Ayah dari Sekar Ajeng Kinasih dan Elang Sakra Abimantara itu juga pernah menjabat sebagai Kepala Biro Harian Kompas Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selama bertugas sebagai wartawan Kompas, Pudjo sangat sering meliput berbagai acara seni budaya di Yogyakarta. Tak heran, wartawan dengan inisial TOP di Kompas itu mengenal dekat banyak seniman di ”Kota Pelajar”. Hubungan Pudjo dengan banyak seniman pun tak sebatas sebagai wartawan dengan narasumbernya, tetapi juga sebagai sahabat.
Bahkan, saat Pudjo pensiun sebagai wartawan Kompas pada November 2017, sejumlah seniman menggelar acara perpisahan yang penuh haru. Dalam acara itu, juga diluncurkan buku berjudul Kenangan Sebuah Perjalanan Seorang Wartawan: Tentang Tari-Teater-Rupa yang berisi tulisan-tulisan Pudjo di Kompas.
Di dalam buku itu, Pudjo menulis tentang kiprah banyak seniman, misalnya penari Didik Nini Thowok, komposer Suka Hardjana, koreografer Miroto, perupa Sri Astari, seniman Sujiwo Tedjo, dan banyak lainnya.
Jurnalis senior Sindhunata mengatakan, Pudjo memiliki pengalaman jurnalistik yang kaya, termasuk intens meliput acara-acara kebudayaan di Yogyakarta. Sindhunata juga menyebut, Pudjo merupakan sosok yang dekat dengan banyak orang. Oleh karena itu, meninggalnya Pudjo membuat banyak orang merasa kehilangan.
”Banyak yang merasa kehilangan dengan kepergiannya karena dia enggak punya pamrih kalau sama orang. Dia itu pribadi yang unik, dan semua orang sayang sama dia. Jadi, dia orang yang dikangeni (dirindukan) banyak orang,” kata Sindhunata yang juga pernah bekerja di Kompas.
Rendah hati
Seniman Ong Hari Wahyu menuturkan, Pudjo merupakan sosok yang rendah hati. Oleh karena itu, dia bisa bergaul dengan banyak orang dari berbagai lapisan. ”Kita sangat kehilangan Pudjo,” katanya.
Ong menambahkan, sebagai wartawan, Pudjo kerap memiliki sudut pandang yang berbeda. Dengan demikian, tulisan-tulisan Pudjo tentang kesenian juga memiliki keunikan tersendiri. ”Tulisannya bagus dan unik, beda dengan wartawan-wartawan lain,” ujarnya.
Pelukis Yuswantoro Adi juga menganggap Pudjo sebagai sosok yang rendah hati. Menurut dia, almarhum tak pernah bergaya sok pintar meski mampu menghasilkan tulisan-tulisan seni yang hebat dan mendalam.
Yuswantoro juga menilai, kehebatan almarhum justru terletak pada sikapnya yang selalu mau memosisikan sebagai orang yang biasa-biasa saja.
Banyak yang merasa kehilangan dengan kepergiannya karena dia enggak punya pamrih kalau sama orang.
”Beliau tidak malu bertanya sama teman-teman seniman yang lebih paham soal istilah dan hal-hal tertentu dalam kesenian. Kemauannya bertanya itu yang membuat beliau menjadi penulis hebat,” kata Yuswantoro yang telah mengenal Pudjo sejak 1990-an.
Yuswantoro menambahkan, Pudjo juga merupakan pribadi yang lugu. Keluguan itu membuat almarhum terkadang dikerjai para seniman yang menjadi temannya.
Yuswantoro mengenang, sekali waktu, almarhum pernah membuka sebuah pameran di Bentara Budaya Yogyakarta dengan membacakan puisi. Kebetulan puisi itu tertulis dalam buku katalog yang dibagikan kepada hadirin.
Pudjo membacakan dua bait pertama dengan lancar. Namun, pada bait ketiga, teman-teman seniman turut membacakan puisi itu secara lantang. Pudjo pun terkejut dan kebingungan. Para seniman lalu tertawa melihat kejadian tersebut.
”Dengan keisengan teman-teman itu, beliau tidak pernah marah. Artinya, dia tahu maksud candaan kami,” kata Yuswantoro.
Yuswantoro juga mengaku cukup dekat dengan Pudjo. Kedekatan itu membuat Yuswantoro tak bisa menolak ketika Pudjo ingin membeli lukisannya dengan harga sesuka hati. Sedikitnya ada dua lukisan Yuswantoro yang dibeli Pudjo. Keduanya merupakan lukisan yang pernah menjadi ilustrasi cerpen di Kompas.
”Ketika saya dapat tugas untuk menggambar ilustrasi cerpen, beliau ingin membeli karya itu setelah dimuat di Kompas. Saya bilang asalkan harganya cocok. Beliau lalu menyebutkan nominal tertentu dan saya tidak bisa menolak. Ada dua lukisan saya yang dibeli dengan harga sakpenake beliau,” kata Yuswantoro.