Mengenang Militansi Hariadi Saptono Sebagai Wartawan dan Guru
Untuk memperingati setahun meninggalnya wartawan senior Hariadi Saptono, keluarga dan sahabatnya meluncurkan dua buku. Kiprah dan karya Hariadi sebagai wartawan dan guru bagi banyak jurnalis muda akan terus dikenang.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·6 menit baca
Hariadi Saptono, wartawan Harian Kompas pada 1984-2016, memang telah berpulang. Namun, kiprah dan karyanya masih terus dikenang. Apalagi, selain dikenal sebagai wartawan yang militan, Hariadi juga menjadi guru dan mentor bagi banyak jurnalis muda.
Hariadi meninggal dunia di Yogyakarta pada 4 Mei 2022 dalam usia 65 tahun. Selama 32 tahun berkarya sebagai wartawan, dia pernah menduduki sejumlah jabatan di Kompas, misalnya Kepala Biro Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Desk Humaniora, dan Kepala Desk Nusantara. Selain itu, dia juga sempat menjadi Direktur Eksekutif Bentara Budaya.
Untuk memperingati satu tahun meninggalnya Hariadi, keluarga dan teman-temannya menerbitkan dua buku, yakni Hariadi Saptono di Antara Sahabat serta Sam Po Kun: Kitab Tiga Mutiara. Buku Hariadi Saptono di Antara Sahabat berisi 23 tulisan karya teman dan sahabat Hariadi. Tulisan-tulisan tersebut menghadirkan aneka kenangan mengenai sosok Hariadi dari sejumlah perspektif.
Sementara itu, buku Sam Po Kun: Kitab Tiga Mutiara merupakan karya Hariadi. Buku itu berisi uraian Hariadi mengenai ilmu Sam Po Kun yang diajarkan Persatuan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih. Sejak tahun 2013, lelaki pemilik inisial HRD di Kompas itu memang bergabung dengan PGB Bangau Putih.
Dua buku tersebut diluncurkan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY), Kota Yogyakarta, Sabtu (13/5/2023). Dalam acara tersebut, hadir sejumlah pembicara untuk mengulas dua buku itu. Buku Sam Po Kun: Kitab Tiga Mutiara dibahas oleh mantan wartawan Kompas Bre Redana, budayawan Gregorius Budi Subanar, serta Ketua Umum PGB Bangau Putih 2016-2021 Widya Poerwoko.
Adapun buku Hariadi Saptono di Antara Sahabat dibahas oleh dua orang pembicara, yakni jurnalis senior Agoes Widhartono serta wartawan Kompas Rini Kustiasih. Acara tersebut dimoderatori oleh pegiat budaya Ons Untoro yang juga menjadi editor buku Hariadi Saptono di Antara Sahabat, bersama mantan wartawan Kompas Bambang Sigap Sumantri.
Salah seorang yang menulis di buku Hariadi Saptono di Antara Sahabat adalah seniman Butet Kartaredjasa. Menurut Butet, tulisan-tulisan jurnalistik yang dibuat Hariadi selalu terasa hidup.
“Setiap tulisannya memiliki roh. Karya jurnalistiknya bertolak dari data yang digalinya dengan cermat dan teliti,” tulisnya.
Butet menyebut, Hariadi adalah wartawan yang mengikuti setiap proses peristiwa yang diliputnya. Saat hendak meliput pentas Teater Gandrik yang diikuti Butet, misalnya, Hariadi lebih dulu membaca naskah yang hendak dipentaskan, serta menonton proses latihan berkali-kali.
Demikian pula saat Hariadi akan meliput pentas tari karya Bagong Kussudiardja, yang tak lain merupakan ayah Butet. Sebelum pentas, Hariadi sudah melakukan wawancara intensif dengan Bagong serta menonton latihan yang digelar. Militansi itulah yang membuat tulisan-tulisan Hariadi menjadi sangat kaya.
“Ketika pada saatnya Hariadi menulis, tulisan itu menjadi sangat kaya, sangat dalam. Dia tahu persis isi jeroan proses kreatif dari pekerja-pekerja kesenian itu,” tutur Butet saat memberikan testimoni dalam acara di BBY.
Ketertarikan
Selama menjadi wartawan, Hariadi memang kerap meliput peristiwa kebudayaan dan acara kesenian. Hal ini bisa jadi sejalan dengan ketertarikan Hariadi pada kesenian, terutama sastra dan teater, sejak muda.
Seperti disebut dalam pengantar editor di buku Hariadi Saptono di Antara Sahabat, saat kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) Sanata Dharma, Yogyakarta, Hariadi mendirikan grup teater, menyutradarai pementasan, serta mendirikan majalah dinding bersama teman-temannya.
Sekitar tahun 1977 dan beberapa tahun sesudahnya, Hariadi yang masih mahasiswa juga kerap datang ke diskusi sastra yang digelar di kantor Majalah Semangat di wilayah Bintaran, Yogyakarta. Dia juga disebut pernah menulis puisi di majalah tersebut.
Setelah lulus kuliah, Hariadi lebih dulu menjadi guru sebelum bekerja sebagai wartawan. Dia pernah menjadi guru bahasa Indonesia di SMA Santa Angela, Bandung, yang semua muridnya perempuan.
Hariadi juga berpesan bahwa seorang wartawan harus mempraktikkan “jurnalisme melotot” untuk menghasilkan karya yang berkualitas.
Mantan murid Hariadi di SMA Santa Angela, Mieke Pinaria, mengisahkan, Hariadi memiliki metode yang unik saat mengajar. Salah satunya, Hariadi pernah mengajak murid-muridnya untuk praktik menulis deskriptif dengan mengamati ruang tempat mereka berada, lalu menuliskan hasil pengamatan tersebut.
“Ilmu deskripsi ini sampai sekarang saya pakai ketika saya menulis cerita atau menulis proposal di tempat kerja,” tulis Mieke dalam buku Hariadi Saptono di Antara Sahabat. Dia menambahkan, Hariadi juga pernah mengajak murid-muridnya mendikusikan tajuk rencana Kompas sebagai bahan pembelajaran bahasa Indonesia.
Istri Hariadi, Maria Margaretha Sri Hastuti, menuturkan, ketika menjadi guru, suaminya kerap mengajar tanpa terlalu memperhatikan kurikulum. Akibatnya, Hariadi kerap dipanggil dan dimarahi oleh kepala sekolah.
“Kalau di sekolah itu kan kalau mengajar harus sesuai dengan kurikulum, tapi Mas Hariadi tidak melakukan itu. Jadi, dia seringkali dipanggil terus dimarahi oleh kepala sekolah karena cara mengajarnya berbeda,” tutur Margaretha.
Usai menjadi guru di SMA Santa Angela, Hariadi kemudian bergabung menjadi wartawan Kompas. Namun, dalam perjalanan kariernya sebagai wartawan, ternyata dia tak pernah benar-benar menanggalkan peran sebagai guru.
“Jurnalisme melotot”
Rini Kustiasih mengatakan, Hariadi menjadi guru dan pembimbing banyak wartawan muda di Kompas. “Jiwa Pak Hariadi itu adalah seorang guru. Dia seorang pendidik dan memang punya latar belakang seorang pedagog. Jadi, dia punya kemampuan untuk mendidik, mengajar, dan memandu. Di Kompas, banyak sekali wartawan muda yang dibimbing oleh Pak Hariadi,” tuturnya.
Sebagai guru, Hariadi dikenal tegas karena tak segan mengkritik dan mengevaluasi tulisan para wartawan muda. Saat menjadi wartawan di Jawa Barat beberapa tahun lalu, Rini mengaku kerap dikirimi hasil evaluasi tulisannya oleh Hariadi. Saat itu, Hariadi menjabat sebagai Kepala Desk Nusantara di Kompas yang mengatur wartawan di berbagai daerah.
Oleh Hariadi, tulisan wartawan dari sejumlah daerah itu biasanya dicetak di kertas, lalu dicorat-coret sebagai bentuk evaluasi. Kertas berisi tulisan yang dicorat-coret itu lalu dikirim melalui faksimile ke wartawan yang menulis.
“Hampir setiap malam, saya dikirimi ‘surat cinta’ oleh Pak Hariadi. ‘Surat cinta’ itu maksudnya print out (cetakan) tulisan saya yang sudah saya kirim, lalu dikembalikan dengan coretan berupa tanda seru, tanda tanya, kotak besar, dan sebagainya,” tutur Rini yang bergabung ke Kompas sejak 2007.
Melalui corat-coret itu, Hariadi kerap mempertanyakan angle atau sudut pandang berita yang dipilih oleh sang wartawan. Pilihan narasumber yang diwawancarai oleh sang wartawan pun kerap dipertanyakan oleh Hariadi. Bahkan, dia juga kerap menunjukkan adanya kalimat yang tidak nyambung dengan kalimat lain di dalam berita.
Rini menambahkan, Hariadi juga berpesan bahwa seorang wartawan harus mempraktikkan “jurnalisme melotot” untuk menghasilkan karya yang berkualitas. “Artinya, ketika jurnalis di lapangan, dia harus benar-benar awas dan menyimak, bahkan memelototi detail peristiwa di hadapannya. Dengan ‘jurnalisme melotot’ itu, tulisan akan lebih hidup dengan deskripsi dan nuansa,” tulis Rini dalam buku Hariadi Saptono di Antara Sahabat.
Kini, meskipun Hariadi telah meninggal, perannya sebagai jurnalis dan guru tetap akan dikenang. Semoga petuah dan kritik yang pernah diberikannya juga terus diingat oleh para wartawan yang dulu digemblengnya.