27 Korban Pelanggaran HAM Berat Rumoh Geudong Pertanyakan Kejelasan Status
Sebanyak 27 korban pelanggaran hak asasi manusia berat di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, mempertanyakan kejelasan status mereka dalam program non-yudisial.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
SIGLI, KOMPAS — Sebanyak 27 korban pelanggaran hak asasi manusia berat di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, yang telah diambil keterangan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, mempertanyakan kejelasan status mereka dalam program non-yudisial yang diluncurkan oleh presiden. Hingga kini mereka belum mendapat kepastian akan mendapatkan hak sebagai korban atau tidak, sebab dalam daftar penerima saat peluncuran, nama mereka tidak tertera.
Saranah (70), warga Desa Panjo, Kecamatan Glumpang Tiga, saat ditemui Kompas, Minggu (2/7/2023), mengatakan, pada 2015 dia telah diwawancarai mendalam oleh Komnas HAM sebagai korban di Rumoh Geudong. Dia memiliki dokumen berita acara pemeriksaan (BAP) dari Komnas HAM.
Namun, saat Presiden Joko Widodo datang ke Rumoh Geudong untuk meluncurkan program non-yudisial bagi korban, Saranah tidak mendapatkan undangan sebagai korban. Jarak rumah Saranah dengan Rumoh Geudong, tempat Presiden meluncurkan program itu, 650 meter.
Saranah menyaksikan para korban lain pulang membawa bingkisan dan sembako. ”Nama saya tidak masuk dalam daftar penerima bantuan. Saya sedih mengapa saya tidak masuk,” kata Saranah.
Pascapeluncuran program non-yudisial, Saranah tidak mendapatkan informasi apa pun terkait kelanjutan dirinya masuk atau tidak dalam daftar penerima bantuan non-yudisial. Saranah berharap korban yang telah diambil keterangan oleh Komnas HAM diberikan kepastian masuk dalam penerima program non-yudisial.
Saranah dibawa ke Rumoh Geudong oleh tentara pada tahun 1990. Dia mengalami kekerasan, seperti ditelanjangi, dipukuli, dan lehernya diikat pakai tali tambang. Hingga kini dia masih ingat semua kekerasan, bahkan nama-nama tentara yang menyiksanya.
Keluarga korban lain, Kamariah (62), warga Desa Cot Baroh, Kecamatan Glumpang Tiga, mengatakan, ibunya Khatijah telah diperiksa oleh Komnas HAM. Kini ibunya telah meninggal. Namun, sebagai ahli waris, dia harusnya mendapatkan pemulihan dan pemenuhan hak.
Dokumen BAP oleh Komnas HAM merupakan pengakuan negara atas pelanggaran HAM yang dialami oleh korban. ”Bagaimana nasib kami sekarang, mengapa tidak masuk dalam penerima bantuan non-yudisial,” kata Kamariah.
Proses BAP dan pendataan korban Rumoh Geudong oleh Komnas HAM dilakukan pada 2015. Komnas HAM dibantu oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat (PASKA) Aceh.
Saat itu jumlah korban yang dimintai keterangan untuk BAP sebanyak 53 orang. Data tersebut untuk kebutuhan dokumen pengajuan proses yudisial kepada Kejaksaan Agung. Namun, dalam prosesnya, desakan yudisial tidak berjalan mulus. Pada akhirnya, pemerintah mengambil kebijakan untuk mendahulukan proses non-yudisial.
Proses non-yudisial fokus pada pemenuhan hak dan pemulihan korban. Dalam peluncuran program non-yudisial, para korban disebutkan mendapatkan jaminan kesehatan, modal usaha, beasiswa pendidikan, hingga program keluarga harapan. Meski demikian, proses non-yudisial tidak menegasikan proses yudisial.
Peristiwa Rumoh Geudong menjadi salah satu dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang telah diakui oleh negara. Selain Rumoh Geudong, kasus Simpang KKA di Aceh Utara dan Jambo Keupok di Aceh Selatan juga masuk dalam kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh.
Direktur LSM PASKA Aceh Farida Haryani, yang ikut mendampingi korban saat proses BAP oleh Komnas HAM, juga mempertanyakan mengapa 27 korban Rumoh Geudong tidak masuk dalam penerima program non-yudisial.
Farida mengatakan, 27 orang korban yang telah di-BAP seharusnya diprioritaskan dalam program non-yudisial. Sebab, BAP yang dilakukan oleh Komnas HAM merupakan bukti negara telah mengakui mereka sebagai korban.
”Penyelesaian non-yudisial lahir karena desakan yudisial membal. Idealnya, mereka yang sudah di-BAP yang diutamakan. Jangan sampai korban kembali menjadi korban,” ujar Farida.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Teguh Pudjo Rumekso mengatakan, butuh verifikasi data kembali agar korban yang belum masuk dalam penerima non-yudisial dapat disertakan.
”Kemarin itu ada beberapa data susulan, tapi tidak kekejar untuk dimasukkan dalam acara peluncuran pada 27 Juni karena harus jelas by name (nama), by address (alamat), by nomor induk kependudukan,” kata Teguh.
Teguh menambahkan, data korban yang akan disusulkan termasuk mereka yang sudah di-BAP oleh Komnas HAM.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, penyelesaian melalui yudisial mengalami hambatan yang berat. Beberapa kasus yang dibawa ke pengadilan berakhir jauh dari harapan. Pengadilan membebaskan pelaku karena gagal untuk membuktikan adanya pelanggaran HAM berat.
Mahfud menuturkan, dalam kaitan 12 peristiwa tersebut, proses non-yudisial ditempuh agar para korban segera mendapatkan pemulihan dan pemenuhan hak. Sementara, proses yudisial akan terus diupayakan.