Pengusutan kasus kejahatan kemanusiaan Tragedi Kanjuruhan terus didorong karena proses hukum yang telah berlangsung diduga dirancang agar tidak sampai mengungkap kebenaran dan keadilan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Proses hukum kasus Tragedi Kanjuruhan diduga dirancang agar gagal mengungkap kebenaran dan melindungi pelaku kejahatan kemanusiaan. Perlu terus didorong pengusutan tuntas horor berdarah pada 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, akibat penembakan gas air mata yang menewaskan 135 orang dan melukai 647 suporter sepak bola itu.
Demikian terungkap dalam webinar Peluncuran Laporan Monitoring Sidang Tragedi Kanjuruhan dan Riset Aspek Criminal Justice bagi Saksi dan Korban Penembakan Gas Air mata, Selasa (27/6/2023). Seminar dalam jaringan (online) itu diinisiasi oleh koalisi masyarakat sipil yang turut menghadirkan penanggap dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan DPR.
Menurut Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang Daniel Siagian, penembakan gas air mata dalam Tragedi Kanjuruhan merupakan pelanggaran HAM berat. Di sana ada serangan terhadap masyarakat sipil, yakni penonton sepak bola, secara sistematis.
Dalam penembakan ada karakteristik kebijakan petugas Polri yang telah direncanakan dalam struktur kebijakan pengamanan. Penembakan berdampak meluas terhadap korban dan wilayah, yakni kerusuhan.
”Potensi pelanggaran HAM berat itu terlihat dari pelibatan anggota Polri dan TNI dalam pengamanan pertandingan dengan penggunaan kekuatan berlebihan atau excessive use of force,” kata Daniel. Selain itu, penanganan pengamanan seusai laga antara Arema FC dan Persebaya Surabaya dimaksud jelas menggunakan rantai komando, terutama dari satuan Polri, yakni Kepolisian Daerah Jawa Timur sampai Kepolisian Resor Malang. Pertandingan terselenggara juga atas izin keramaian yang diterbitkan oleh Polri.
Daniel melanjutkan, ada kejanggalan proses hukum Tragedi Kanjuruhan. Yang terutama adalah permohonan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kabupaten Malang agar persidangan kasus dilaksanakan di Pengadilan Negeri Surabaya dan disetujui oleh Mahkamah Agung.
Selain itu, rekonstruksi peristiwa oleh penyidik Polda Jatim tidak berlangsung di Stadion Kanjuruhan, tempat terjadinya perkara, tetapi di lapangan sepak bola Polda Jatim di Surabaya. Ini mengakibatkan fakta penembakan gas air mata ke tribune penonton menjadi dikaburkan.
Komnas HAM memperparah dengan pernyataan di kasus itu tidak terjadi pelanggaran HAM berat. Adapun rekomendasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia tidak menyentuh aspek perlindungan terhadap anak-anak yang menjadi korban. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan juga pasif mengawal proses hukum.
Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) Nahdlatul Ulama Kota Malang Fachrizal Afandi menambahkan, dari 135 korban meninggal itu sebanyal 43 jiwa berusia anak dan 44 jiwa ialah perempuan. Dalam kasus ini, ada enam orang dijadikan tersangka yang tiga di antaranya anggota Polri. Lima orang termasuk tiga anggota Polri telah disidang dan terbit vonis PN Surabaya.
Hukuman 1 tahun dan 6 bulan penjara dijatuhkan untuk Abdul Haris, bekas Ketua Panitia Pelaksana Arema FC dan Ajun Komisaris Hasdarmawan, bekas Komandan Kompi 2 Brimob Polda Jatim. Vonis 1 tahun penjara dijatuhkan untuk Suko Sutrisno, bekas security officer. Dua terdakwa lainnya, yakni Komisaris Wahyu Setyo Pranoto, bekas Kepala Bagian Operasional Polres Malang; dan Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, bekas Kepala Satuan Samapta Polres Malang; malah divonis bebas.
”Vonis ringan dan bebas terhadap terdakwa dari anggota Polri merupakan upaya sistematis pelemahan hukum,” kata Fachrizal. Upaya itu sudah tampak dari awal penyelidikan. Misalnya, memperlambat visum para korban, penolakan laporan kepolisian dari korban dengan alasan nebis in idem, rekonstruksi perkara penembakan gas air mata, anggota Polri yang menembakkan gas air mata tidak satu pun menjadi tersangka, dan hakim di PN Surabaya menolak proses pemeriksaan sidang secara terbuka disiarkan langsung.
Kalau ini bukan pelanggaran HAM, lalu apa?
Fachrizal melanjutkan, mayoritas saksi dalam persidangan, yakni 60 orang, merupakan anggota aktif Polri untuk meringankan dakwaan terhadap terdakwa. Tiada upaya untuk menghadirkan lebih banyak saksi dari korban yang hidup yang dapat memberikan keterangan sebaik-baiknya, sebenar-benarnya. Temuan Komnas HAM dan laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta bentukan Presiden diabaikan.
”Dalam persidangan, saksi-saksi dihadirkan bersamaan sehingga itu melanggar KUHAP bahwa seharusnya saksi dipanggil seorang demi seorang sehingga keterangsan para saksi menjadi sama,” ujarnya.
Itu belum termasuk perilaku anggota Brimob yang menyoraki jaksa penuntut umum dan membuat gaduh PN Surabaya sehingga merupakan tindakan pelecehan terhadap peradilan. Anggota majelis hakim ada yang tertidur dalam sidang keterangan saksi.
”Bisa dibayangkan, kasus dengan korban sebanyak itu tidak diseriusi sehingga sesuai prediksi vonis terhadap terdakwa ringan dan amat melukai rasa keadilan keluarga korban,” kata Fachrizal.
Cholifatul Nur, ibu salah seorang korban Tragedi Kanjuruhan, amat berharap lembaga negara dapat mendorong pengusutan tuntas kasus ini demi keadilan dan kebenaran untuk ketenteraman para korban. Sebagian dari keluarga korban juga masih terus mengupayakan proses hukum pidana, perdata, pengajuan restitusi, dan perlindungan sebagai jalan mencari keadilan.
”Kalau ini bukan pelanggaran HAM, lalu apa?” kata Cholifatul yang kehilangan Jofan Farelino (15) dalam horor berdarah itu. Ia menuntut proses hukum kepada semua yang terlibat dalam Tragedi Kanjuruhan, termasuk suporter yang menerobos lapangan dan memicu penembakan, suporter perusak dan pemicu kerusuhan, anggota dan bekas pejabat Polda Jatim, Polres Malang, dan Polri, bekas pengurus PSSI dan klub Arema FC.
Wakil Ketua LPSK Susilaningtyas mengatakan, intimidasi terhadap keluarga korban masih ada. LPSK dan koalisi masyarakat sipil akan terus memantau perjuangan keluarga korban mencari keadilan. Itu dilakukan antara lain dengan mendorong pelaporan-pelaporan dari masyarakat atau keluarga korban sekaligus menekan Polri untuk menindaklanjuti. LPSK juga akan terus mendampingi proses pengajuan restitusi bagi keluarga korban,
Komisioner Komnas HAM, Uli Parulian, berjanji akan mendorong lembaganya melihat kembali kasus Tragedi Kanjuruhan. ”Jika kemudian memang ditemukan ada pelanggaran HAM berat, penyelidikan perlu dibuka lagi,” katanya.
Arsul Sani dari Komisi III DPR berpendapat, paradigma aparat penegak hukum dan penyelenggara negara terhadap Tragedi Kanjuruhan sebagai musibah sehingga proses hukum tidak maksimal. Ia mendorong Tragedi Kanjuruhan dibawa ke rapat dengar pendapat umum agar kembali menjadi atensi. ”Untuk membangunkan kembali kesadaran bahwa kasus ini perlu diusut tuntas,” ujarnya.