Jumlah Korban Pelanggaran HAM Talangsari di Lampung Berpotensi Lebih Banyak dari Data Resmi
Pemerintah memulai penyelesaian secara non-yudisial kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. Adapun di Lampung, sebanyak 127 korban Talangsari beserta keluarganya masih menanti tanggung jawab negara.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Jumlah warga terdampak Tragedi Talangsari di Lampung diduga lebih banyak dari data yang ada saat ini. Hingga kini, para korban dan keluarganya masih menanti tanggung jawab negara untuk mengembalikan hak-hak mereka.
Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung Edi Arsadad menyatakan, jumlah korban beserta keluarganya yang sudah diverifikasi Komnas HAM sebanyak 127 orang. Namun, pihaknya masih mendata karena jumlah korbannya diperkirakan lebih banyak.
”Kami masih terus mendata karena tempat tinggal mereka berjauhan. Perkiraan kami lebih kurang 180 orang,” kata Edi seusai mengikuti kegiatan kick off penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran HAM (PPHAM) di Aceh secara daring dari Bandar Lampung, Selasa (27/6/2023).
Edi sengaja datang ke Bandar Lampung bersama tujuh orang perwakilan korban Talangsari dari Kabupaten Lampung Timur. Acara itu juga dihadiri Wakil Gubernur Lampung Chusnunia dan Bupati Lampung Timur Dawam Rahardjo.
Menurut Edi, para korban telah menunggu selama puluhan tahun untuk mendapatkan kembali hak-haknya. Namun, masih ada korban yang belum mendapatkan hak atas tanah mereka. Mereka juga mengatakan sering kali tidak tersentuh bantuan pemerintah.
Sebelumnya, Tim PPHAM yang diketuai Makarim Wibisono telah turun ke Lampung untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial. Para korban juga telah menceritakan fakta-fakta terkait Tragedi Talangsari.
Sebagai upaya pemulihan hak, para korban Talangsari dijanjikan bakal mendapat bantuan. Beberapa di antaranya seperti santunan Rp 1,5 juta per bulan, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar. Namun, bantuan untuk para korban pelanggaran HAM di Lampung tersebut baru akan digulirkan dua bulan lagi.
”Kami sudah sampaikan agar diupayakan dahulu pemberian hak-hak korban yang terampas, berupa tanah atau harta benda yang hilang. Itu tolong diberikan dahulu sebelum diberikan bantuan lainnya,” kata Edi.
Menurut dia, para korban juga tetap menuntut penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM di Talangsari. Edy menyebut, pihaknya siap menunjukkan sejumlah bukti terkait keterlibatan aparat dalam dalam pembantaian warga kelompok Anwar Warsidi pada 7 Februari 1989.
Korban berjatuhan dalam operasi militer di Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara. Sebanyak 31 warga tewas, termasuk Warsidi. Dari pihak militer, Kapten Soetiman, Komandan Rayon Militer Way Jepara, juga dilaporkan tewas.
Akan tetapi, berdasarkan investigasi Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (Smalam), jumlah korban tewas mencapai 246. Bukan hanya dari kelompok Warsidi, melainkan warga dari desa-desa lainnya.
Sampai hari ini, pihak yang dinyatakan bersalah baru dari kelompok Anwar Warsidi. Adapun keterlibatan pihak militer yang ketika itu berada di bawah Komando Resor Militer (Korem) 043/Garuda Hitam disebut tidak pernah diusut.
Chusnunia menyatakan, Pemprov Lampung siap menjalankan rekomendasi terkait penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran HAM Talangsari, Lampung. Hal serupa juga disampaikan Bupati Lampung Timur Dawam Rajardjo.
Pada Selasa siang, Presiden Joko Widodo memulai implementasi rekomendasi Tim PPHAM di Rumoh Geudong, Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Aceh. Selain Presiden, hadir pula Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD selaku Ketua Pengarah Tim Pemantau Implementasi PPHAM dan pejabat dari 19 kementerian dan lembaga yang menerapkan pemulihan hak korban.
Sebelumnya, Tim PPHAM mencatat 12 kasus HAM berat. Tercatat ada peristiwa 1965-1966, penembakan misterius (1982-1985), Talangsari, Lampung (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh (1989), penghilangan orang secara paksa (1997-1998), kerusuhan Mei (1998), Trisakti dan Semanggi I-II (1998-1999). Kasus lain, pembunuhan dukun santet (1998-1999), Simpang KKA di Aceh (1999), Wasior di Papua (2001-2002), Wamena di Papua (2003), dan Jambo Keupok di Aceh (2003).
Ada 11 rekomendasi yang disampaikan kepada Presiden Jokowi terkait penyelesaian HAM berat. Dari hasil rekomendasi itu, pemerintah berupaya mencegah terulangnya pelanggaran HAM berat di masa datang dan berjanji memulihkan hak-hak para korban.