Tangga Rumoh Geudong Jadi Monumen
Murniati (56), perempuan korban Rumoh Geudong, menuturkan, dia akan menerima bantuan yang diberikan pemerintah. Namun, dia menuntut pemerintah agar menghukum pelaku.
SIGLI, KOMPAS — Setelah muncul protes dari publik, tangga Rumoh Geudong, lokasi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, akhirnya tidak jadi dimusnahkan. Tangga beton setinggi 1,5 meter itu akan dijadikan monumen pengingat sejarah kelam di sana.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Mahfud MD, Senin (26/6/2023), meninjau persiapan peluncuran program pemulihan korban kekerasan HAM berat di Rumoh Geudong yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo, Selasa (27/6/2023).
Mahfud mengatakan, tangga dan dua sumur di lokasi Rumoh Geudong masih utuh, sementara bangunannya memang telah lama hancur karena dibakar warga seusai pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) 1998. ”Masih ada dan dirawat. Bangunan dibongkar oleh masyarakat. Tangga dan dua sumur masih ada,” ujar Mahfud.
Baca Juga: Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Dimulai dari Aceh
Tangga beton itu hingga Senin masih berada di posisi semula. Satu sumur di halaman telah ditutup dan sumur di bagian belakang masih utuh. Adapun dinding beton dan pohon-pohon di kompleks Rumoh Geudong telah diratakan. Sebuah monumen yang dibangun masyarakat dan terletak di luar lahan Rumoh Geudong juga masih utuh.
Warga Pidie bersiap menyambut kedatangan Presiden. Posko-posko didirikan di sepanjang jalan nasional. Para santri akan menyambut Presiden dengan lambaian bendera Merah Putih dan lantunan shalawat.
Menurut rencana, di lokasi Rumoh Geudong akan dibangun living park atau taman hidup. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah membuat maket miniatur desain taman hidup Rumoh Geudong. Pada lahan 7.000 meter persegi itu dibangun sebuah masjid, koridor HAM, monumen, dan taman bermain.
Mahfud mengatakan, baru pada 2018 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan tragedi Rumoh Geudong sebagai kasus pelanggaran HAM. Menurut Mahfud, pemerintah telah menindaklanjuti dengan cepat rekomendasi Komnas HAM tersebut.
Baca Juga: Pembongkaran Rumoh Geudong Hilangkan Nilai Sejarah
Pada Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa negara telah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah peristiwa di Rumoh Geudong.
Sebagai tindak lanjut dari pengakuan tersebut, pemerintah akan melakukan pemulihan terhadap korban melalui jalur non-yudisial. Penyelesaian non-yudisial berfokus pada pemenuhan hak korban, meliputi kompensasi, restitusi, rehabilitasi, satisfaksi, pengungkapan kebenaran, dan jaminan agar peristiwa kelam tidak terulang (Kompas,3 Juni 2023).
Namun, Mahfud mengatakan, jalur non-yudisial yang sedang ditempuh bukan untuk menggantikan jalur yudisial. Proses hukum atau yudisial menjadi kewenangan kejaksaan, Komnas HAM, dan DPR.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas,para korban akan diberikan bantuan sembako, modal usaha, pelayanan kesehatan prioritas, dan beasiswa pendidikan. Presiden Joko Widodo akan menyalurkan bantuan itu secara simbolis.
Baca Juga: Rumoh Geudong, Lokasi Pelanggaran HAM Berat di Aceh
Rumoh Geudong merupakan rumah panggung konstruksi kayu. Beberapa bangunan beton juga berada di kompleks itu. Dari jalan nasional, Rumoh Geudong berjarak 300 meter. Saat rumah tak ditempati pemilik, aparat justru menjadikannya sebagai kamp militer.
Pada masa pemberlakukan DOM di Aceh 1989-1998, Rumoh Geudong menjadi lokasi penyiksaan warga yang dituduh terlibat dalam gerakan pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun, pada 2005, GAM dan RI bersepakat damai.
Ada asumsi beredar, pemerintah akan melenyapkan bekas Rumoh Geudong; ini tidak benar. Justru tangga Rumoh Geudong akan dijadikan monumen.
Sementara itu, beberapa korban pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong menyayangkan sikap pemerintah yang meratasan sisa bangunan di sana. Mereka juga masih menginginkan pelaku pelanggaran diproses hukum.
Murniati (56), perempuan korban Rumoh Geudong, menuturkan, dia akan menerima bantuan yang diberikan pemerintah. Namun, dia menuntut pemerintah agar orang-orang yang telah menyiksa dirinya, suami, ayah, dan anaknya di Rumoh Geudong diseret ke pengadilan.
”Pelaku yang menyiksa saya harus diadili. Kami disiksa sangat berat. Telinga saya sebelah kanan tidak bisa dengar karena ditampar,” kata Murniati.
Juru Bicara Pemprov Aceh Muhammad Mta menuturkan, pihaknya berterima kasih kepada Presiden karena memilih Aceh sebagai lokasi peluncuran program pemenuhan hak korban kekerasan masa lalu.
Baca Juga: ”Rumoh Geudong” dan Politik Pelupaan
Menurut Muhammad, ini justru bentuk kepedulian pemerintah untuk menyelamatkan dan merawat sejarah Rumoh Geudong. Terlebih di sana akan dibangun taman hidup dan monumen yang menjadi memori bersama mengenang Rumoh Geudong.
”Ada asumsi beredar, pemerintah akan melenyapkan bekas Rumoh Geudong; ini tidak benar. Justru tangga Rumoh Geudong akan dijadikan monumen,” kata Muhammad.
Sebuah masjid yang dibangun di lokasi itu dapat digunakan oleh masyarakat umum, bukan hanya warga di Desa Bili. Karena jarak dari dari jalan nasional hanya 300 meter, masjid itu dapat digunakan oleh pengguna jalan sebagai lokasi istirahat dan ibadah. Semakin ramai yang berkunjung ke sana, pendidikan sejarah Rumoh Geudong semakin tersebar. Sebuah monumen yang dibangun oleh warga pada Juli 2018 juga akan dipindahkan ke dalam kompleks taman hidup.
Muhammad mengatakan, taman hidup itu dapat dijadikan lokasi kegiatan untuk memperingati peristiwa Rumoh Geudong dengan kultur keislaman. ”Jadi, hal-hal positif seperti ini harus kita pahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mengawal ingatan bersama,” tutur Muhammad.
Sebelumnya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul mengatakan, Rumoh Geudong tempat paling penting dalam sejarah konflik Aceh sehingga harus diselamatkan. Menurut dia, bukan hanya sebagai memori bersama, melainkan juga untuk kepentingan penegakan hukum.
”Pemerintah secara terang benderang telah menghancurkan, merusak, dan menghilangkan situs penting yang semestinya bisa menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial, dalam hal ini pengadilan HAM,” kata Syahrul.
Syahrul mengatakan, seharusnya Presiden Jokowi juga mendorong percepatan pembentukan pengadilan HAM agar keempat elemen penting hak korban bisa terpenuhi, yaitu hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan.
Baca Juga: Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di 12 Peristiwa Masa Lalu