Polisi Tangkap Pelaku Pembunuhan Tujuh Bayi Hasil Inses di Banyumas
Polisi menangkap Rudi (57), pelaku pembunuhan tujuh bayi di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Bayi-bayi itu merupakan hasil inses atau hubungan sedarah antara Rudi dan putri kandungnya.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Sejumlah kerangka bayi yang ditemukan di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, ternyata merupakan korban pembunuhan. Berdasar penyelidikan polisi, bayi-bayi itu merupakan hasil inses atau hubungan sedarah antara pelaku bernama Rudi (57) dengan putri kandungnya yang berinisial E (26). Total ada tujuh bayi yang diduga dibunuh Rudi selama beberapa tahun terakhir.
Kasus ini terungkap setelah warga menemukan kerangka bayi di lahan kosong di tepi Sungai Banjaran, Kelurahan Tanjung, Kecamatan Purwokerto Selatan, Banyumas, pada Kamis (15/6/2023). Awalnya, ada satu kerangka bayi yang ditemukan warga saat mereka meratakan lahan.
Namun, beberapa hari kemudian, ditemukan tiga kerangka bayi lain sehingga total ada empat kerangka yang ditemukan di lokasi tersebut. Setelah melakukan penyelidikan, polisi kemudian menangkap Rudi yang merupakan pelaku pembunuhan bayi-bayi itu.
”Pelaku menyampaikan, ada tiga kerangka lagi di tempat terjadinya perkara. Artinya, total ada tujuh kerangka manusia (bayi). Itu hasil hubungan Rudi dengan anak kandungnya,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Banyumas Komisaris Agus Supriadi di Purwokerto, Banyumas, Senin (26/6/2023).
Agus memaparkan, sehari-hari, Rudi dikenal sebagai dukun pengobatan tradisional. Dia juga disebut memiliki tiga istri. Dari tiga orang istri itu, istri pertama dinikahi secara resmi, sedangkan istri kedua dan ketiga dinikahi secara siri. Adapun E adalah anak pertama dari istri ketiga.
Agus menyatakan, Rudi dan E tinggal di sebuah gubuk di tepi Sungai Banjaran. Dia menambahkan, sejak E berumur 13 tahun, Rudi diduga telah menyetubuhi sang anak. ”Saudari E ini statusnya adalah sebagai saksi korban,” ujarnya. Saat ini, E mendapatkan pendampingan khusus, termasuk dalam hal psikologi.
Menurut Agus, istri dari Rudi sebenarnya mengetahui tindakan asusila terhadap E. Namun, sang istri tak berani berbuat apa-apa karena diancam dibunuh jika melaporkan ke orang lain. Kondisi itulah yang membuat Rudi terus melakukan perbuatan asusila hingga sang anak melahirkan beberapa kali.
Agus memaparkan, setiap kali E hendak melahirkan bayi, Rudi membantu persalinan di gubuk tempat tinggalnya. Namun, bayi-bayi yang baru lahir itu tak dirawat, tetapi langsung dibekap dengan kain oleh Rudi hingga tewas. Rudi lalu mengubur jenazah bayi-bayi itu di lahan kosong tak jauh dari gubuk tempat tinggalnya. Pembunuhan terhadap bayi-bayi itu diperkirakan terjadi pada 2013-2021.
Agus menambahkan, dari tujuh bayi yang dilahirkan E, lima bayi berjenis kelamin laki-laki dan dua bayi perempuan. Meski telah menangkap Rudi, polisi masih menyelidiki motif pembunuhan bayi-bayi tersebut. ”Motifnya masih kami dalami karena ada informasi awal yang pelaku sampaikan bahwa ada guru spiritual yang menyampaikan supaya dia melakukan itu,” tuturnya.
Ketua RT 001 RW 004 Kelurahan Tanjung Saryono (52) mengatakan, Rudi dan E memang sempat tinggal di lahan kosong di tepi Sungai Banjaran. Namun, beberapa bulan lalu, mereka tidak lagi tinggal di situ.
Saryono menyebut, Rudi dikenal sebagai sosok yang tertutup. Oleh karena itu, masyarakat sekitar tidak terlalu mengenal lelaki tersebut.
Motifnya masih kami dalami karena ada informasi awal yang pelaku sampaikan bahwa ada guru spiritual yang menyampaikan supaya dia melakukan itu.
Perilaku seksual menyimpang
Dosen psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ugung Dwi Ario Wibowo, mengatakan, dilihat dari perilakunya, pelaku diduga mengalami perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual menyimpang itulah yang kemudian dilampiaskan kepada sang anak.
”Mungkin bisa jadi dia hiperseksual sehingga butuh penyaluran. Anak menjadi sasaran karena ada relasi kuasa,” ujar Ugung.
Menurut Ugung, kesempatan melakukan penyimpangan seksual itu terjadi lantaran tidak ada orang lain yang bisa mengontrol pelaku. Apalagi, Rudi dan E tinggal di gubuk yang jauh dari permukiman warga.
Ugung juga menduga, Rudi tidak memiliki ikatan psikologis sebagai ayah dengan E. Kondisi itulah yang membuat dia terus-menerus melakukan tindakan asusila terhadap sang anak. ”Dengan hilangnya sekat (ikatan psikologis), obyek seksual itu dilihat bukan sebagai anggota keluarga,” katanya.
Ugung menambahkan, lemahnya nilai-nilai agama dan moral juga menyebabkan peristiwa tersebut bisa terjadi. Untuk mencegah kasus serupa, dia menyebut, harus ada kontrol sosial oleh masyarakat.
”Yang paling bagus adalah kontrol sosial yang berjalan. Kalau kontrol sosial ini berjalan, tidak akan terjadi berulang seperti ini. Mungkin pelaku mengelabui dengan berpindah-pindah tempat dan mengisolasi diri atau mencitrakan diri sebagai orang alim,” ujarnya.