Antisipasi Dampak El Nino, Petani di Jateng Diimbau Tunda Masa Tanam
Fenomena El Nino diprediksi bakal memicu kekeringan di Jateng. Para petani di Jateng diimbau menunda masa tanam untuk menghindari kematian tanaman akibat kekeringan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Para petani di sejumlah daerah di Jawa Tengah diimbau menunda masa tanam untuk mengantisipasi potensi kematian tanaman akibat kekeringan yang terjadi seiring dengan munculnya fenomena El Nino. Jika memaksakan menanam, petani berpotensi merugi.
El Nino adalah fenomena pemanasan suhu muka laut yang melebihi kondisi normal di Samudra Pasifik bagian tengah. Pemanasan suhu muka laut meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudra Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Kondisi itu memicu terjadinya kekeringan.
Kepala Dinas Pertanian Jateng Supriyanto mengatakan, El Nino pernah melanda Jateng pada 2019. Kala itu, dampak El Nino dirasakan hingga delapan bulan di sejumlah wilayah, seperti Brebes, Tegal, Demak, Jepara, Pati, Rembang, Blora, dan Wonogiri. Tahun ini, El Nino diperkirakan kembali melanda Jateng mulai Juli mendatang.
Supriyanto berharap dampak El Nino tahun ini tidak parah. Apalagi, hingga akhir Juni, hujan masih turun di beberapa wilayah di Jateng. Kendati demikian, langkah-langkah antisipasi tetap disiapkan, seperti memetakan daerah-daerah sumber air yang bisa dimanfaatkan.
”Jika masyarakat menemukan sumber air, tapi tidak bisa mengangkatnya, tolong informasikan kepada kami. Nanti, kami bantu untuk mengangkat itu. Alatnya sudah siap, nanti kami bisa pinjam ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana,” ucap Supriyanto, Senin (26/6/2023).
Supriyanto juga mengimbau agar petani menunda masa tanam. Penanaman tanaman pangan pada Juli dan Agustus tidak disarankan karena fenomena El Nino diprediksi terjadi pada Juli hingga September. Adapun puncak El Nino diperkirakan terjadi pada Agustus.
”Kalau di bulan-bulan itu umur tanaman belum 60 hari, kita takut tanamannya mati karena kekeringan. Apalagi, kalau akhir Juli baru tanam, pasti akan kesulitan air,” ujarnya.
Meski begitu, sejumlah petani di Jateng memilih tetap menanam kendati mengetahui adanya potensi kekeringan. Namun, mereka hanya akan menanam tanaman-tanaman yang tidak memerlukan banyak air dan tahan terhadap kekeringan.
”Kami tidak akan menanam tanaman yang butuh air banyak, seperti padi. Namun, kami akan menanam palawija, misalnya singkong, ubi jalar, dan kentang,” ujar Kamelan (50), petani di Desa Jambean Kidul, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, Jateng.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengungkapkan, Pemerintah Provinsi Jateng telah menyiapkan sejumlah skema mitigasi kekeringan yang berpotensi terjadi akibat El Nino. Ada dua rencana yang bakal dilakukan, yakni mengeluarkan cadangan pangan pemerintah dan mengoptimalkan penggunaan dana desa.
”Bulog kabupaten/kota semuanya mesti siap. Kampanye food loss dan food waste itu kami siapkan dengan mengoptimalkan dana desa untuk bergerak,” kata Ganjar, Rabu (21/6/2023).
Ganjar menyebut, stok pangan lokal, seperti beras, jagung, dan ketela, telah disiapkan untuk kondisi darurat. Pemprov Jateng juga mendorong penanaman tanaman pangan rumah tangga di masyarakat untuk memperkuat ketahanan pangan.
Kalau di bulan-bulan itu umur tanaman belum 60 hari, kita takut tanamannya mati karena kekeringan.
Rawan kekeringan
Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD) Jateng memperkirakan, semua daerah di Jateng rawan terdampak kekeringan. Hingga akhir Juni, BPBD Jateng mencatat, sudah ada 10 daerah yang telah melaporkan dampak kemarau, yakni Cilacap, Klaten, Pemalang, Kabupaten Tegal, Demak, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Grobogan, Blora, dan Kabupaten Magelang.
Kepala Bidang Penanganan Darurat BPBD Jateng Dikki Ruli Perkasa mengatakan, 10 daerah itu telah melakukan penyaluran bantuan air bersih ke desa-desa yang mengeluhkan dampak kekeringan. Ada 132 tangki berisi 659.00 liter air yang disalurkan kepada masyarakat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
”Selain itu, ada juga penyaluran bantuan air bersih sebanyak 13 tangki berisi 70.000 liter air dari sejumlah perusahaan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan,” kata Dikki.
Dikki menambahkan, selain 10 daerah tersebut, ada satu daerah yang memerlukan perhatian lebih, yaitu Rembang. Menurut Dikki, Rembang memiliki keterbatasan sumber mata air. Selama ini, jika kekeringan terjadi di daerah itu, penyaluran bantuan air menggunakan air dari daerah di sekitarnya.
”Rembang ini memiliki keterbatasan kapasitas penganggaran keuangan daerah, sumber air yang minim, dan secara historis memang merupakan daerah yang harus mengoptimalkan bantuan sosial. Kondisi ini sudah kami komunikasikan dengan pihak-pihak terkait di Rembang. Mereka optimistis persediaan air yang ada saat ini masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sampai tiga bulan ke depan,” tutur Dikki.