Sudah 1.000 hari yang lalu, Jakob Oetama berpulang dari dunia ini. Ia meninggalkan teladan berupa kejujuran dan ketulusan semasa hidupnya. Sudah seharusnya teladan itu terus dihidupi banyak orang.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
Sudah 1.000 hari yang lalu, Jakob Oetama berpulang dari dunia ini. Ia meninggalkan teladan berupa kejujuran dan ketulusan semasa hidupnya. Sudah seharusnya teladan itu terus dihidupi oleh banyak orang. Lebih-lebih ajaran semacam itu mulai ditinggalkan.
Para penari berkain batik menuruni tangga menuju Sumur Jakob, di Omah Petroek, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (24/6/2023) malam. Langkah mereka diiringi lantunan tembang berlanggam Jawa. Di antara penari itu terlihat seorang pria berbadan gempal mengenakan topeng berwajah buruk rupa. Ia memerankan tokoh Sukrosono.
Sukrosono langsung menarik timba sembari berdendang setibanya di sumur tersebut. Pelan-pelan ember ia tarik dan masukkan pada kendi kecil yang dibawa ibunya, Sukowati. Setelahnya, Sukowati berjalan didampingi Sukrosono memerciki orang-orang di sekitarnya dengan air dari sumur tersebut.
Itulah sepotong ritual yang memulai peringatan 1.000 hari berpulangnya Jakob Oetama. Kegiatan dilanjutkan doa bersama yang dipimpin tokoh masyarakat dari Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Segala doa baik yang terucap diteruskan dengan pelepasan sepasang merpati oleh budayawan GP Sindhunata.
Pergelaran disambung pertunjukan tari berjudul ”Bedhayan Anak Bajang” karya Bimo Wihatmo. Inspirasi tarian berangkat dari novel ciptaan Sindhunata berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan. Tokoh utamanya ialah seorang raksasa bajang bernama Sukrosono. Meski buruk rupa, sosok itu baik hati, bahkan ketika dikhianati kakaknya sendiri, yakni Sumantri.
”Figur bocah bajang ini orang yang tanpa pamrih, jujur, murni, serta tulus. Ungkapan itu rasa-rasanya menggambarkan Pak Jakob. Ini cerita yang saya dengar dari Romo Sindhunata yang dekat dengan beliau (Jakob),” kata Bimo.
Bimo tak meragukan lagi soal peninggalan Jakob yang sudah begitu banyak bagi bangsa ini, khususnya perihal teladan berupa kejujuran dan ketulusan. Menurutnya, ajaran itu akan terus relevan walau zaman terus berkembang. Sebab, selalu ada saja pihak-pihak yang berusaha bersikap serakah dan berambisi pada kekuasaan. Lewat lakon tari itu, pihaknya ingin agar nilai-nilai baik yang bakal diajarkan Jakob semasa hidup bisa terawat sepanjang masa.
”Sikap-sikap ini rasanya sesuai kalau diungkapkan dan relevan sampai kapan saja. Sikap anak bajang akan selalu dibutuhkan,” kata Bimo.
Dalam pertunjukan itu, Bimo menyambungkan antara tarian dan ritual. Hadirin dibuat melihat keduanya sebagai sebuah kesatuan. Alurnya terasa begitu halus. Tidak ada jeda antara ritual dengan drama tari karyanya. Bahkan, ritual digunakan untuk memulai tarian tersebut.
”Sebuah tarian ternyata multifungsi. Memang, sekarang kami tujukan untuk ritual. Tari dan kenduri menjadi satu. Ini benar-benar ditujukan kepada beliau,” kata Bimo.
Sindhunata mengatakan, warisan berupa kejujuran dan ketulusan yang ditinggalkan Jacob adalah modal dasar bagi pembentukan bangsa. Ia menganggap sosok tersebut tidak pernah memperjuangkan dan menjaga nilai tersebut. Itu dilakukannya meski tantangan berupa ketidaktulusan dan ketidakjujuran senantiasa menghinggapi masyarakat.
Oleh karenanya, sebut Sindhunata, pertunjukan ”Bedhayan Bocah Bajang” menjadi pilihan yang tepat guna memperingati wafatnya tokoh bangsa tersebut. Ia menganggap pementasan dan kenduri bersama warga kampung sebagai bentuk ungkapan ”Mikul Dhuwur Mendem Jero” bagi Jakob. Pihaknya ingin agar segala jasa dan nilai almarhum terus dijunjung tinggi. Hendaknya semua kesalahan yang pernah dilakukannya juga bisa diampuni dan dipendam sedalam-dalamnya.
”Kiranya ini boleh menjadi kenangan yang mengingatkan agar kita takkan pernah lupa akan nilai ketulusan dan kejujuran yang diwariskannya,” kata Sindhunata.