Kereta Api untuk Kemajuan Ekonomi Aceh di Masa Depan
Kereta api dapat mengurangi kemacetan dan menekan tingkat kecelakaan di jalan raya. Untuk jangka panjang, selain mengangkut penumpang, kereta api Aceh-Sumatera Utara juga mengangkut barang atau hasil bumi.
Pascadamai 2005, laju pembangunan Provinsi Aceh berjalan lebih cepat. Pembangunan jalan tol Trans-Sumatera dan kereta api Trans-Sumatera Railway adalah upaya untuk mendorong kemajuan ekonomi di ”Tanah Rencong” itu.
Kereta api perintis yang diberi nama Cut Meutia melaju ke arah Stasiun Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Senin (19/6/2023) siang. Saat pintu kereta terbuka, puluhan siswa taman kanak-kanak dan sekolah dasar keluar dengan tertib.
Putri Amelia, guru pendamping, menuturkan, hari itu para siswa diajak mencoba naik kereta api sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan ekstrakurikuler. ”Mereka baru siap ujian. Karena kereta api baru beroperasi, makanya kami ajak naik kereta api untuk liburan,” kata Putri.
Warga Aceh Utara menyambut kehadiran kereta api dengan antusias. Meski baru melayani 21,4 kilometer, yakni dari Kecamatan Dewantara (Aceh Utara) hingga ke Kecamatan Kuta Blang (Bireuen), jumlah penumpang per hari mencapai 700 orang. Beberapa orang menjadikan perjalanan kereta itu bagian dari berwisata.
Baca juga: Kereta Api di Aceh Disambut Antusias
Namun, tidak sedikit warga Aceh Utara juga memanfaatkan kereta api untuk bepergian. Hanya dengan biaya Rp 2.000, warga Aceh Utara sudah bisa ke Bireuen. Jika menggunakan bus, biayanya Rp 15.000.
Saat ini, pembangunan beberapa stasiun di Aceh sedang berlangsung. Bila berjalan sesuai rencana, pada 2024 KA Cut Meutia akan menghubungkan Bireuen-Lhokseumawe dengan jarak 54 kilometer.
Trans-Sumatera
Kereta api perintis Cut Meutia merupakan bagian dari proyek besar nasional, yakni Trans-Sumatera Railway atau Kereta Api Trans-Sumatera. Dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNas), pada 2030 pemerintah menargetkan Aceh hingga Lampung akan terhubung kereta api.
Dalam dokumen perencanaan disebutkan, rencana jalur kereta api Trans-Sumatera di Aceh akan membentang dari Banda Aceh, di Stasiun Lam Ujong hingga perbatasan Sumatera Utara, Stasiun Karang Jadi, sepanjang 419 kilometer.
Saat ini, akses satu-satunya ke Aceh dengan provinsi tetangga ialah melalui jalan nasional lintas Sumatera. Sementara penerbangan tidak melayani semua provinsi.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh Muhammad Iqbal menyambut antusias proyek kereta api di Aceh. Dunia usaha akan menjadi pihak yang paling diuntungkan dengan adanya kereta api.
”Selama ini tidak ada pilihan selain jalan lintas Sumatera. Biaya angkut besar, risiko di jalan juga besar,” kata Iqbal.
Baca juga: Menimbang Pilihan Teknologi untuk Kereta Sumatera
Iqbal melanjutkan, dengan menggunakan kereta api, jumlah barang yang bisa diangkut lebih banyak dan harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan truk. Terlebih, saat ini jalan lintas Sumatera kian padat karena semua kendaraan melintasi jalan tersebut, baik truk barang, bus penumpang, kendaraan pribadi, maupun sepeda motor.
Karena semua jenis kendaraan berada di satu jalur, kecelakaan lalu lintas kerap terjadi. Berdasarkan data Dinas Perhubungan Aceh dan Polda Aceh, sejak 2013 hingga 2022, sebanyak 7.481 warga Aceh meninggal karena kecelakaan. Lebih dari separuhnya terjadi di jalan lintas nasional.
”Kami berharap pembangunan kereta api di Aceh jadi prioritas agar cepat tuntas,” kata Iqbal.
Pembangunan kereta api di Aceh telah lama digaungkan. Pada 1999, Presiden BJ Habibie kepada warga Aceh pernah menyampaikan niatnya untuk menghidupkan kembali kereta api di Aceh.
Sejarah panjang
Dalam catatan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah 1 Aceh disebutkan, sejarah kereta api di Aceh dimulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda tahun 1876. Dalam kondisi perang, pembangunan dikebut, hingga pada 1919 kereta api menyambungkan Aceh dengan Deli Serdang, Sumatera Utara.
Namun, operasional kereta api di Aceh saat itu merugi sehingga pada tahun 1970 operasi dihentikan. Sebuah lokomotif di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, menjadi saksi bisu sejarah perkeretaapian di Aceh.
Pasca-kemerdekaan, Aceh masih belum keluar dari bayang-bayang konflik. Pada 1953, meletus pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ketika DI/TII berakhir, konflik berlanjut pada masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tahun 1976 hingga 2005. Kedua pemberontakan itu menuntut kemerdekaan.
Baca juga: Rp 147 Miliar Dianggarkan untuk Angkutan Perintis Kereta Api
Konflik bersenjata yang terjadi selama tiga dekade kian menjauhkan Aceh dari pembangunan. Pada 2003, angka kemiskinan Aceh melonjak menjadi 30 persen. Tsunami pada 2004 juga membuat Aceh kian terpuruk. Namun, pada 2022 angka kemiskinan turun menjadi 14,75 persen.
Aceh bangkit
Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah RI dan GAM sepakat mengakhiri konflik. Perjanjian damai di Kota Helsinki, Finlandia, membawa harapan baru untuk memulihkan Aceh pascakonflik.
Pemerintah memberikan Aceh dana otonomi khusus selama 20 tahun, yakni sejak 2007 hingga 2028. Setiap tahun, triliunan rupiah dari APBN mengalir ke kas daerah Aceh.
Bukan hanya dana segar, sejumlah program strategis nasional juga dibangun di Aceh. Beberapa di antaranya kereta api Trans-Sumatera, Tol Trans-Sumatera, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun. Infrastruktur yang mumpuni menjadi modal besar untuk memicu kemajuan ekonomi di Aceh.
Pembangunan jalur kereta api di Aceh sebenarnya dimulai sejak 2013, tetapi tidak berjalan cepat. Pada 2023, pembangunan baru rampung 21,4 kilometer. Meski demikian, pembangunan jalur KA terus berjalan.
Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Kelas I Medan Dedik Tri Istiantara menuturkan, di bagian timur Aceh yang berbatasan dengan Sumatera Utara, pembangunan koridor Kota Langsa dengan Besitang, Sumut, juga sedang berlangsung.
Langsa-Besitang melewati tiga stasiun, yakni Liput, Sirah, dan Besitang, dengan panjang lintasan 35 kilometer. Saat ini, pembangunan jalur sedang berproses. Dalam RIPNas, Bireuen-Besitang ditargetkan sudah terhubung pada 2025.
Dedik mengatakan, kehadiran kereta api di Aceh Utara disambut antusias oleh warga di sana. Sejak dibuka pada April hingga Juni, jumlah penumpang diperkirakan mencapai 13.400 orang.
Menurut Dedik, untuk jangka panjang, kehadiran kereta api akan berdampak positif pada pembangunan ekonomi masyarakat sekitar. Kereta api dianggap sebagai salah satu moda transportasi unggulan yang aman, cepat, nyaman, dan tepat waktu.
Baca juga: Sejarah Kereta Api yang Tertinggal di Sudut Stasiun
Kereta api juga dapat mengurangi kemacetan dan menekan tingkat kecelakaan di jalan raya. Untuk jangka panjang, selain mengangkut penumpang, kereta api Aceh-Sumatera Utara juga akan dikembangkan mengangkut barang atau hasil bumi dari Aceh ke Sumatera Utara.
Kepala Dinas Perhubungan Aceh Faisal mengatakan, proyek kereta api berjalan lebih lambat dari yang direncanakan. Namun, Faisal memaklumi hal itu sebab pada saat yang sama pemerintah juga sedang membangun jalan tol lintas Sumatera.
Pembangunan jalan tol lintas Sumatera di Aceh kini telah rampung dari Banda Aceh menuju ke Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Pada 2024, jalan tol tersebut ditargetkan telah terhubung dari Banda Aceh ke Sigli sepanjang 74 kilometer.
Faisal mengatakan, dua proyek nasional yang sedang berjalan di Aceh akan menjadi harapan besar bagi daerah itu untuk berkembang lebih cepat. Dengan adanya jalan tol dan kereta api, akses ke provinsi paling ujung Indonesia itu akan lebih mudah.
”Bisa dibayangkan beberapa tahun ke depan Aceh bisa diakses lewat jalan tol dan kereta api. Infrastruktur transportasi yang baik akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,” ujar Faisal.
Pakar transportasi yang juga Rektor Universitas Malikussaleh, Profesor Herman Fithra, mengatakan, keberadaan kereta api adalah salah satu syarat menjadi daerah maju. Dia menyebutkan, banyak negara maju di dunia menjadikan KA sebagai salah satu alat transportasi utama.
Herman mengatakan, kalau kereta api terhubung dari Aceh hingga Lampung, daerah-daerah di Sumatera akan maju, serta pergerakan barang dan orang akan lebih mudah.
”Untuk masa depan, kereta api membuat ekonomi Aceh melaju lebih cepat,” kata Herman.
Baca juga: Perjalanan 155 Tahun Kereta Api Pertama di Indonesia