Pembongkaran Rumoh Geudong Hilangkan Nilai Sejarah
Pada masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, 1989-1998, aparat militer menjadikan Rumoh Geudong sebagai markas. Warga yang dicurigai terlibat dalam pemberontakan diboyong ke sana.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
SIGLI, KOMPAS — Bangunan Rumoh Geudong tempat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat masa lampau di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, telah dibongkar. Menurut rencana, di lokasi itu akan dibangun masjid, tetapi para pihak menilai lebih baik membangun replika Rumoh Geudong sebagai pengingat sejarah.
Sekretaris Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, Jumat (23/6/2023), mengatakan, pembongkaran bangunan Rumoh Geudong telah menghilangkan nilai sejarah penting dari perjalanan bangsa. Pelanggaran HAM berat pernah terjadi di sana, tetapi ketika seluruh bangunan dimusnahkan, tidak ada lagi ruang menjadi memori bersama mengenang peristiwa itu.
”Karena itu, keberadaan Rumoh Geudong sangat penting untuk menjadi situs memorialisasi sebagai upaya merawat ingatan agar kasus serupa tidak lagi terjadi,” kata Suraiya.
Rumoh Geudong merupakan sebuah rumah panggung konstruksi kayu. Beberapa bangunan beton juga berada di kompleks itu. Dari jalan nasional, Rumoh Geudong berjarak 300 meter. Saat tidak ditempati oleh pemilik, rumah justru dijadikan kamp oleh aparat militer.
Pada masa pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, 1989-1998, aparat militer menjadikan Rumoh Geudong sebagai markas. Warga yang dicurigai terlibat dalam pemberontakan diboyong ke sana. Penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan dialami oleh korban.
Pada 7 Agustus 1998, DOM dicabut. Setelah aparat militer keluar, warga membakar rumah itu hingga menyisakan puing dan tembok.
Tragedi Rumoh Geudong adalah satu dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diakui oleh Presiden Joko Widodo. Dua kasus pelanggaran HAM berat lain di Aceh adalah Peristiwa Simpang KKA 1999 (Aceh Utara) dan Peristiwa Jambo Keupok 2003 (Aceh Selatan).
Setelah negara mengakui sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat, para korban akan direparasi meliputi pemenuhan hak kompensasi, restitusi, rehabilitasi, satisfaksi, pengungkapan kebenaran, dan jaminan agar peristiwa kelam tidak terulang.
Negara memilih penyelesaian melalui non-yudisial atau bukan melalui jalur hukum. Titik berat penyelesaian pada pemulihan korban, bukan pada proses hukum para pelaku.
Rumoh Geudong telah dipilih sebagai lokasi memulai program reparasi bagi korban 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Direncanakan pada Selasa (27/6/2023), Presiden Joko Widodo akan hadir langsung untuk memulai program itu.
Amatan Kompas pada Kamis (22/6/2023), lokasi Rumoh Geudong telah dibersihkan. Sisa bangunan, seperti tembok dan kamar mandi, serta pohon-pohon telah diratakan dengan tanah. Bangunan yang tersisa hanya tangga beton setinggi 1,5 meter. Sejumlah alat berat dikerahkan untuk merapikan lokasi acara.
Namun, para pihak, terutama kalangan aktivis hak asasi manusia, menyayangkan sikap pemerintah yang membongkar seluruh bangunan Rumoh Geudong itu.
”Sangat menyedihkan ketika sisa-sisa Rumoh Geudong dihilangkan karena itu merupakan salah satu lokasi yang digunakan untuk melakukan penyiksaan sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil,” kata Suraiya.
Menurut Suraiya, karena telanjur dibongkar, sebaiknya di lokasi itu dibangun replikasi Rumoh Geudong sebagai ruang memori bersama terhadap peristiwa itu.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh Syahrul dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Azharul Husna menolak tegas pemusnahan Rumoh Geudong. Bangunan itu merupakan bukti kuat untuk kebutuhan yudisial untuk mengadili para pelaku.
”Upaya penghancuran sisa fisik bangunan yang sedang berlangsung di Rumoh Geudong adalah upaya negara untuk menghilangkan barang bukti fisik pelanggaran HAM berat. Ini salah satu sikap sistematis negara memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM,” kata Syahrul.
Keberadaan Rumoh Geudong sangat penting untuk menjadi situs memorialisasi sebagai upaya merawat ingatan agar kasus serupa tidak lagi terjadi.
Sementara itu, Penjabat Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto mengatakan, pemusnahan Rumoh Geudong dilakukan sebagai upaya menghilangkan dendam generasi selanjutnya atas tragedi tersebut.
”Ada yang bilang, sebaiknya dibangun replikasi, itu konyol sekali. Itu mengajari dendam dan kebencian bagi generasi. Nanti generasi mendatang akan dendam,” kata Wahyudi.
Wahyudi menjelaskan, awalnya ia mengusulkan di lokasi itu dibangun pesantren lengkap dengan masjid di dalamnya. Namun, karena keterbatasan lahan, yang disetujui hanya pembangunan masjid.
Kalangan eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini tergabung dalam Komite Peralihan Aceh (KPA) menyarankan agar tidak dibangun masjid di lokasi Rumoh Geudong. Alasannya, di kawasan itu sudah ada dua masjid yang masih layak digunakan warga. Menurut Wakil Ketua KPA Kamaruddin Abubakar, sebaiknya dibangun replikasi Rumoh Geudong atau kompleks pendidikan.