Korban Pelanggaran HAM Simpang KKA Surati Presiden Joko Widodo
Presiden telah mengakui tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat. Karena itu, korban menaruh harapan pada Presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seadil-adilnya.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
LHOKSUKON, KOMPAS — Para korban pelanggaran hak asasi manusia tragedi Simpang KKA di Kabupaten Aceh Utara, Aceh, mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo. Mereka meminta Presiden untuk menyelesaikan kasus tersebut melalui pengadilan HAM.
Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA Murtala, dihubungi pada Rabu (3/5/2023), mengatakan, pihaknya sudah menunggu sangat lama, tetapi negara belum memberikan keadilan bagi korban.
”Presiden telah mengakui tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat. Karena itu, kami menaruh harapan pada Presiden untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM seadil-adilnya,” kata Murtala.
Forum keluarga korban mengirimkan surat kepada Presiden mendesak percepatan penyelesaian secara non-yudisial dan yudisial.
Tragedi pelanggaran HAM di Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 atau saat Aceh sedang mengalami konflik bersenjata. Saat itu, aparat keamanan melepaskan tembakan ke arah massa dan menyebabkan 21 warga sipil tewas dan 146 orang luka-luka.
Memperingati 24 tahun tragedi Simpang KKA, pada Rabu, 3 Mei 2023, sejumlah keluarga korban melakukan aksi damai dan doa bersama.
Penantian panjang keluarga korban sedikit memberikan titik terang saat Presiden Joko Widodo menyampaikan negara mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat. Pernyataan itu disampaikan di Istana Negara pada 11 Januari 2023.
Dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di Indonesia, tiga di antaranya terjadi di Aceh, yakni kekerasan di Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis di Pidie (1998); penembakan di Simpang KKA, Aceh Utara (1999); dan kekerasan di Jambo Keupok, Aceh Selatan (2003). Rangkaian kekerasan berat itu terjadi saat Aceh dalam masa pemberlakuan darurat operasi militer.
Presiden juga telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu. Artinya, penyelesaian pelanggaran HAM tidak melalui jalur hukum.
Murtala mengatakan, para korban menginginkan pelanggaran HAM tragedi Simpang KKA diproses melalui jalur nonhukum dan jalur hukum. ”Kami ragu jika Keppres Non-yudisial ini kami terima, pengadilan HAM tidak akan pernah ada,” ujar Murtala.
Kami ragu jika Keppres Non-yudisial ini kami terima, pengadilan HAM tidak akan pernah ada.
Murtala mengatakan, penyelesaian kasus seharusnya dilakukan dengan dua jalur, baik non-yudisial maupun yudisial. Pemberian kompensasi, pemulihan nama baik, dan bantuan materi dianggap tidak memberikan keadilan bagi korban.
Murtala berharap, menjelang berakhir masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo dapat mengabulkan permintaan para korban.
Belum terealisasi
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh Azharul Husna mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat belum ada progres signifikan. Janji Presiden untuk bertemu dengan korban belum juga terealisasi.
Azharul mengatakan, pelanggaran HAM berat harus diselesaikan secara adil dengan memperhatikan suara para korban. Penegakan hukum dapat memberikan efek jera terhadap pelaku. ”Pelanggaran HAM berpotensi terus terjadi karena memang tak pernah ada pelanggaran berat HAM yang diselesaikan dengan tuntas,” ujarnya.
Dalam konteks Aceh, menurut Azharul, perlu dilihat kekhususannya, yakni keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh. Harmonisasi program pemerintah pusat dengan KKR Aceh seharusnya dapat menjangkau jumlah korban lebih banyak.
KKR diamanahkan untuk menyelesaikan persoalan konflik Aceh melalui jalur non-yudisial. KKR telah bekerja keras mengumpulkan keterangan para korban konflik dengan pendekatan wawancara, kajian dokumen, dan investigasi.
Sebelumnya, Ketua KKR Aceh Mastur Yahya menyampaikan, pihaknya akan mengajukan 5.000 korban konflik sebagai penerima reparasi atas pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah pusat. Sebagian dari mereka bukan korban dalam tiga tragedi yang diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat, tetapi semua korban dinilai memiliki hak yang sama.
”Kami akan memperjuangkan para korban yang telah kami data ini untuk mendapatkan reparasi dari negara,” kata Mastur.