Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles menyinggung Candi Gedog dalam bukunya, ”History of Java”. Pihak Balai Pelestarian Kebudayaan XI pun mengekskavasi untuk kelima kalinya situs ini.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Kesibukan terasa di pinggir persawahan, di Kelurahan Gedog, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (21/6/2023). Di tengah cuaca terik, seorang anggota tim arkeologi Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI berusaha membetulkan tenda terpal yang berkibar oleh embusan angin.
Pada saat yang sama, di sisi barat yang kontur tanahnya lebih rendah, beberapa orang sibuk memindahkan tanah galian menggunakan gerobak. Salah satu arkeolog serius mencatat tatanan batu bata berumur ratusan tahun yang baru saja tersingkap dari balik tanah, yang ada di depannya.
Sedangkan di sisi utara, di dekat jalan desa, sebuah ekskavator kecil menderu. Alat berat milik Dinas Lingkungan Hidup Kota Blitar itu tengah dioperasikan untuk memindahkan tumpukan tanah galian yang telah menggunung, ke atas bak truk untuk diangkut ke tempat lain.
Pemandangan seperti ini merupakan bagian dari proses ekskavasi situs Candi Gedog oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI (dulu Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur) yang siang itu memasuki hari kesembilan. Ekskavasi kelima ini berlangsung 12-24 Juni. Sebelumnya, ekskavasi tahap keempat dilakukan 7-16 Maret.
Sejumlah temuan pun menyeruak dalam ekskavasi kali ini. Temuan itu memperkaya data hasil ekskavasi tahap sebelumnya. Berbagai artefak hasil ekskavasi tahap pertama hingga terbaru saat ini ditata rapi dalam etalase kaca panjang di salah satu sudut area Situs Gedok.
”Sampai hari kesembilan, hasilnya ada beberapa struktur, terdiri atas pagar luar dari candi. Ada juga balai, seperti pendapa besar. Kemudian, yang di bawah, kami belum bisa pastikan, tetapi ada indikasi itu bangunan terkait air. Entah petirtaan atau saluran air,” ujar Koordinator Tim Arkeolog BPK Wilayah XI Nugroho Harjo Lukito.
Situs Gedog merupakan konstruksi fondasi candi yang terpendam. Bagian atas candi sudah tidak ada. Saat ditemukan oleh masyarakat, kondisi Gedog telah berwujud reruntuhan. Lokasinya berada di bawah pohon beringin besar. Di tempat itu terdapat benda cagar budaya lain, salah satunya yoni berukuran 80 sentimeter (cm).
Gedog juga merupakan candi yang sebelumnya pernah ditulis oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles. Dalam buku History of Java yang diterbitkan pada 1817 itu, Raffles yang memerintah tahun 1811-1816 merasa takjub dengan candi yang strukturnya terbuat dari batu bata dan batu itu.
Soal bangunan terkait air, Nugroho belum yakin sepenuhnya jika struktur yang ditemukannya merupakan saluran air. Kalau saluran air, semestinya ukurannya tak selebar itu. Maka, hipotesis pun mengarah ke bangunan yang bersifat petirtaan lainnya.
”Struktur ini sering kita temukan pada bangunan-bangunan yang sifatnya petirtaan. Mudah-mudahan ini benar karena mencocokkan dengan foklor yang berkembang di masyarakat. Apalagi, di sisi utara, di hulu ada sumber air yang aliran airnya diarahkan ke candi,” ucapnya.
Foklor yang dimaksud Nugroho adalah kisah tragis Joko Pangon. Legenda abad ke-18 hingga ke-19 itu berkisah tentang seorang pemuda yang bekerja sebagai juru pelihara ternak bernama Joko Pangon. Karena suatu hal, sang tokoh, Joko Pangon, kemudian meninggal dan jasadnya ditemukan di kolam air dekat candi.
Era Majapahit
Terlepas dari legenda yang berkembang hingga kini, situs yang berjarak sekitar 9 kilometer di sisi selatan dari Candi Penataran itu memiliki kekhasan tersendiri. Dari sisi batu bata penyusun, misalnya, bangunan memiliki dimensi variatif. Ada batu bata yang memiliki ketebalan 2 cm, tetapi ada juga yang lebih tebal hingga 6-7 cm dengan panjang rata-rata 31-33 cm.
Memang, dimensi batu bata belum bisa dijadikan patokan kapan periodisasi candi itu dibangun. Batu bata tebal biasa ditemukan pada benda cagar budaya peninggalan masa pra-Kerajaan Kediri (1042-1222) hingga Majapahit (1293-1527). Batu bata tebal biasa digunakan untuk menyangga struktur bangunan yang berat. Sebaliknya, batu bata tipis untuk struktur ringan.
Periodisasi masa pembuatan candi bisa dilihat pada artefak yang lain, seperti pecahan gerabah dan keramik. Melihat artefak tersebut, Candi Gedog lebih condong ke abad ke-13 hingga ke-14 Masehi (M). Keramik yang ditemukan di Gedog kebanyakan dibuat pada masa Dinasti Yuan.
”Tipe gerabahnya identik yang kita temukan pada masa Majapahit. Terus, dari genteng di lokasi balai, pendapa, kami menemukan runtuhan genteng dalam distribusi yang padat. Artinya, reruntuhannya tertimbun tanah, bentuknya juga sama dengan yang kami temukan di Trowulan (Mojokerto),” ucap Nugroho.
Melihat temuan-temuan yang ada, maka Gedog diyakini berasal dari masa Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan, candi ini sudah ada pada masa sebelumnya dan mengalami pemugaran pada masa Majapahit. Diakui, relief di Candi Gedog memang halus sehingga diduga kuat dia berdiri di masa awal Majapahit dan masih terpengaruh oleh seni masa Singhasari (1222-1292).
”Karena masa Majapahit biasanya mereka senang memugar tinggalan leluhur, seperti Candi Jawi (Pasuruan), Candi Jago (Malang), Simping, dan Penataran (Blitar). Itu yang mereka lakukan pemugaran,” ucapnya.
Melihat struktur penyusunnya, sejauh ini, lanjut Nugroho belum ada candi lain yang terbuat dari batu bata dan diekskavasi pihaknya, yang punya kesamaan dengan Gedog. Batu penyusun Gedog beragam dan hiasannya berupa batu putih. ”Ini belum pernah saya lihat kecuali di Bali. Bangunan di Bali seperti itu,” ucapnya.
Lantas, untuk apa sebenarnya Candi Gedog dibangun? Melihat landscape temuan yang ada, menurut Nugroho, Gedog diperkirakan merupakan sebuah bangunan suci. Dia bukan sebagai tempat pendarmaan (penghormatan), melainkan tempat peribadatan. Hal ini didasarkan pada banyaknya bangunan pendukung, seperti pendapa dan bangunan kecil lain, termasuk petirtaan.
Bangunan-bangunan itu digunakan untuk mengakomodasi kebutuhan umat saat menyiapkan peribadatan. Mengingat, tidak semua umat bisa masuk ke ruang utama.
Ini belum pernah saya lihat kecuali di Bali. Bangunan di Bali seperti itu.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Blitar Edy Wasono mengatakan, titik-titik yang menjadi target berkaitan dengan struktur candi, baik yang ada di dalam maupun luar, sudah ada titik temu batasnya. Baik menyangkut bangunan induk, struktur utama, maupun pagar.
”Harapannya, dengan ekskavasi kelima ini bisa terungkap struktur bangunan yang semestinya. Bentuk candi, batasnya sampai mana, mulai dari batas utara sampai barat bisa ditentukan. Begitu pula serambi bagian barat bisa ditemukan. Dengan begitu, maka gambaran bentuk candi dulunya seperti apa, bisa terlihat,” ucapnya.
Dalam ekskavasi kelima ini, Pemerintah Kota Blitar dibantu oleh BPK Wilayah XI dalam pendanaannya. Sebelumnya, dalam ekskavasi tahap pertama hingga keempat, pendanaan ditanggung oleh Pemerintah Kota Blitar.
Edy pun mengklaim ini bukan ekskavasi terakhir pada situs yang dimaksud. Artinya, bakal ada tindak lanjut dari kegiatan kali ini. Dan, harapannya, selain lestari, tabir yang melingkupi benda cagar budaya itu juga makin terbuka sehingga bisa menjadi edukasi bagi generasi penerus.