Limbah Tambak Udang di Karimunjawa Disebut Cemari Lingkungan
Sejumlah warga di Pulau Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, mengeluhkan pencemaran lingkungan akibat tambak udang. Keberadaan tambak udang itu menimbulkan perselisihan di antara warga.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
JEPARA, KOMPAS — Beberapa tahun terakhir, sebagian masyarakat di Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, mengeluhkan dampak pencemaran limbah tambak udang di wilayahnya. Selain merusak lingkungan dan mengganggu perekonomian masyarakat, kehadiran tambak udang di kawasan itu juga memicu timbulnya perselisihan antara warga yang pro dan kontra terhadap tambak.
Bambang Zakariya, salah satu warga Karimunjawa, mengatakan, proyek tambak udang vaname mulai masuk ke pulau itu sekitar tahun 2016. Satu tahun kemudian, tambak udang yang tadinya hanya ada di satu titik bertambah menjadi empat titik. Di setiap titik tersebut ada 6 petak sampai 36 petak tambak.
Jumlah tambak terus bertambah dan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2021. Kala itu, jumlahnya menjadi 33 titik. Saat ini, jumlah tambak menjadi 39 titik. ”Tambak-tambak udang itu sekarang ini sudah seperti mengepung Karimunjawa. Hanya tinggal satu dusun yang tidak ada tambak udangnya,” ujar Zakariya saat dihubungi, Kamis (22/6/2023).
Menurut Zakariya, tambak-tambak itu menghasilkan limbah padat dan limbah cair. Setiap hari, limbah-limbah itu dibuang ke laut. Hal tersebut membuat air laut tercemar. Pencemaran air laut membuat rumput laut mati sehingga tidak bisa dipanen. Selain rumput laut, kerang-kerang di laut serta kerapu dan lobster yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat juga mati.
Keberadaan limbah di laut juga memicu tumbuhnya lumut di perairan Karimunjawa. Kondisi itu merugikan para nelayan, baik nelayan tepi maupun nelayan laut dalam. Kapal-kapal milik mereka yang disandarkan di sekitar dermaga jadi berlumut. Untuk membersihkan kapalnya dari lumut, para nelayan harus pergi ke pulau lain.
”Para nelayan itu takut nyemplung di sekitar Karimunjawa soalnya airnya sudah kotor karena tercemar limbah tambak. Kalau kena air laut, kulit jadi gatal sekali, bahkan sampai ada yang kulitnya melepuh,” kata Zakariya.
Selain masyarakat yang beraktivitas di laut, pencemaran limbah tambak juga mengganggu aktivitas masyarakat di darat. Setiap hari, warga yang tinggal di sekitar tambak terganggu dengan bau amonia dan suara kincir dari tambak. Sejumlah warga juga mengeluhkan air dari sumur-sumur mereka asin, sudah tidak tawar lagi.
Kehadiran tambak udang di Karimunjawa juga, kata Zakariya, memicu konflik horizontal di masyarakat. Masyarakat jadi terbelah menjadi dua, yakni yang pro dan kontra tambak udang.
Protes masyarakat
Melihat lingkungannya rusak, sebagian warga mulai menyampaikan protes kepada pengusaha tambak dan kepada pemerintah. Protes itu disampaikan secara langsung melalui demonstrasi dan media sosial. Salah satu warga Karimunjawa yang aktif menyampaikan keluhan masyarakat terkait dampak tambak udang di media sosial adalah Daniel Tangkilisan.
Pada 12 November 2022, Daniel mengunggah gambar tentang pencemaran di Pantai Cemara, Karimunjawa, akibat limbah tambak. Unggahan itu disertai dengan komentar dari Daniel dan sejumlah orang lain.
Pada Februari 2023, komentar Daniel di unggahan itu dilaporkan oleh pihak tertentu kepada Kepolisian Resor Jepara. Komentar Daniel tersebut dianggap sebagai ujaran kebencian dan dinilai melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Daniel lantas dipanggil untuk dimintai keterangan. Kasus hukum itu terus berjalan hingga akhirnya Daniel ditetapkan sebagai tersangka pada 16 Juni 2023.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jepara Ajun Komisaris Tohari menyatakan, polisi telah memanggil Daniel untuk diperiksa. Namun, Daniel disebut belum memenuhi panggilan.
”Sampai saat ini yang bersangkutan kita panggil belum hadir dan minta waktu dijadwalkan ulang pemeriksaan,” ujar Tohari.
Sementara itu, Koalisi Kawali Indonesia Lestari menyebut tindakan terhadap Daniel itu sebagai upaya kriminalisasi. Kawali mengecam penetapan Daniel sebagai tersangka karena dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa pejuang lingkungan tidak bisa dijerat hukum.
”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Untuk itu, kami akan melakukan perlawanan,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Kawali Jateng Andi Rustono dalam keterangan tertulis.
Kawali dibantu oleh aktivis lingkungan di Karimunjawa telah mengumpulkan lebih dari 200 tanda tangan warga setempat yang menyatakan tidak merasa keberatan dengan pernyataan Daniel. Mereka juga menyatakan kesediaan untuk sama-sama berjuang menyelamatkan Karimunjawa.
Daniel merasa bersyukur atas dukungan dari warga Karimunjawa. Dia berharap, kasus yang menimpa dirinya tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk menyelamatkan Karimunjawa dari kerusakan lingkungan.
”Di balik kasus saya ada masalah yang lebih besar lagi, yaitu keberadaan tambak udang yang intensif di Karimunjawa. Kami akan terus mempertanyakan apakah pemerintah bisa bergerak cepat dalam menindak para petambak yang hingga kini masih terus menggarap lahannya,” tutur Daniel.
Para nelayan itu takut nyemplung di sekitar Karimunjawa soalnya airnya sudah kotor karena tercemar limbah tambak
Pekan lalu, Pemerintah Kabupaten Jepara telah mengesahkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Jepara Tahun 2023-2043. Perda RTRW tersebut juga mengatur aktivitas tambak udang di Karimunjawa.
Sekretaris Daerah Jepara Edy Sujatmiko menyatakan, aktivitas tambak udang yang melanggar aturan akan ditertibkan. Salah satu hal yang harus dipenuhi dalam pembukaan tambak udang di Karimunjawa adalah persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan.
”Aktivitas budidaya yang masuk di kawasan Balai Taman Nasional Karimunjawa pun melanggar undang-undang. Agar tidak makin merusak lingkungan, penegakan hukum akan segera dilakukan,” kata Edy.