Ketimpangan Literasi dan Inklusi Keuangan Desa-Kota Harus Terus Ditekan
OJK menekan gap literasi dan inklusi keuangan desa-kota. Industri keuangan formal diminta masuk ke desa untuk edukasi literasi keuangan. Desa lebih banyak terpapar pinjaman ”online” ketimbang literasi keuangan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
BATUSANGKAR, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menekan gap literasi dan inklusi keuangan antara wilayah desa dan kota. Industri keuangan formal diminta masuk ke desa-desa untuk menawarkan produk keuangan sekaligus melakukan edukasi literasi keuangan. Saat ini, desa justru lebih banyak terpapar tawaran pinjaman daringketimbang literasi keuangan.
”Kami ingin membuka akses keuangan formal sebesar-besarnya kepada masyarakat desa. Karena itu, kami meluncurkan program Ekosistem Keuangan Inklusif di Wilayah Perdesaan,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi, di Nagari (Desa) Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Kamis (22/6/2023).
Friderica menyebut, peluncuran Ekosistem Keuangan Inklusif di Nagari Sumpur akan menjadi proyek percontohan untuk wilayah perdesaan lain di Indonesia. Program akan meningkatkan literasi keuangan masyarakat desa pada lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan perbankan, lembaga pembiayaan, pegadaian, asuransi, investasi, pinjaman daring, dan perencanaan keuangan.
Friderica memaparkan, inklusi keuangan di wilayah perkotaan Indonesia mencapai 86,7 persen, tetapi di perdesaan baru 82,7 persen. Ada gap 4,0 persen antara desa dan kota. Inklusi keuangan ini menunjukkan seberapa banyak warga yang sudah menggunakan produk industri keuangan formal atau resmi.
Sementara itu, literasi keuangan di perkotaan mencapai 50,5 persen dan desa 48,4 persen. Gap desa-kota mencapai 2,1 persen. Literasi keuangan ini menunjukkan seberapa banyak masyarakat mampu memahami dan memutuskan penggunaan jasa industri keuangan. Gap ini dari tahun ke tahun terus menurun. Pada 2019, gap inklusi keuangan desa-kota mencapai 15,1 persen dan gap literasi keuangan menyentuh 6,9 persen.
Friderica menyebut, jika banyak masyarakat desa yang tidak memahami produk-produk keuangan, jasa keuangan ilegal akan mudah masuk ke masyarakatnya. ”Jangan sampai masyarakat yang butuh akses jasa keuangan malah terjerat rentenir. Harus ada program khusus melawan rentenir,” katanya.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosamenambahkan, peningkatan literasi keuangan sangat penting di wilayah perdesaan. Dengan kemajuan akses internet saat ini, masyarakat desa malah lebih muda terpapar informasi tentang pinjaman daring ilegal.
”Jangan sampai masyarakat desa lebih banyak terpapar informasi tentang pinjaman daring ilegal ketimbang literasi keuangan dari industri keuangan formal,” kata Aman.
Aman menyebut, OJK memilih Sumatera Barat sebagai proyek percontohan peluncuran Ekosistem Keuangan Inklusif di perdesaan karena merupakan provinsi yang literasi dan inklusi keuangannya di bawah rata-rata nasional. Nagari Sumpur dipilih karena masuk 50 besar nominasi Anugerah Desa Wisata 2022 yang ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
”Ekonomi desa ini bisa berkembang pesat jika masyarakat punya akses yang lebih baik ke industri keuangan karena potensi pariwisata, ikan bilih, dan buah sawo yang melimpah,” kata Aman.
Bupati Tanah Datar Eka Putra menambahkan, masyarakat di wilayahnya selama ini banyak yang memilih meminjam kepada rentenir karena literasi dan inklusi keuangan yang rendah. Bersama Bank Nagari, bank milik Pemprov Sumbar, mereka meluncurkan pinjaman berbunga rendah untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan nama Makan Rendang.
”Makan Rendang ini akronim dari ’maksimalkan pemberantasan rentenir agar hilang’. Bunga pinjamannya 6 persen per tahun. Sebanyak 4,5 persen kami subsidi dan hanya 1,5 persen ditanggung peminjam,” kata Eka.
Sarfini (60), nelayan sekaligus petani di Nagari Sumpur, menyebut, dirinya belum pernah mendapat sosialisasi atau edukasi tentang produk-produk keuangan. Dia sendiri juga tidak mempunyai rekening bank. Dia juga tidak pernah mendapat sosialisasi tentang kredit usaha rakyat atau produk keuangan lainnya. Dengan kata lain, Sarfini tidak masuk dalam ekosistem inklusi keuangan dan tidak memahami literasi keuangan.
”Saya takut meminjam ke bank karena setahu saya harus ada agunan, seperti rumah atau tanah. Kalau pembayarannya menunggak, saya akan didenda dan agunan disita. Proses meminjam uang ke bank juga rumit sekali. Banyak surat-surat yang harus disiapkan,” ucap Sarfini.
Sarfini menyebut, setiap tahun dia membutuhkan modal untuk mengganti alat tangkap ikan berupa jala. Harganya sekitar Rp 1,5 juta. Dia biasanya meminjam ke toko penjual jala dengan membayar uang muka Rp 750.000. Dia lalu mencicil sebesar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per minggu sampai lunas. Dia sendiri tidak tahu berapa bunga pinjaman itu. ”Biasanya setelah enam bulan baru lunas. Ada catatannya di buku pemilik warung,” ujar Sarfini.