Aspek Budaya dan Sejarah Unsur Penting Penamaan Rupabumi
Penamaan rupabumi mempertimbangkan aspek budaya dan sejarah lokasi. Penamaan rupabumi menjadi ingatan kolektif dan warisan budaya.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Penamaan rupabumi tidak dapat serampangan, tetapi harus mempertimbangkan aspek budaya, adat istiadat, dan sejarah lokasi. Penamaan rupabumi, atau suatu tempat dan wilayah, akan menjadi ingatan kolektif, yang menghubungkan masyarakat dengan identitasnya dan juga sebagai warisan budaya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, penamaan suatu lokasi atau tempat diberikan pada unsur rupabumi, atau lokasi, sehingga nama rupabumi menjadi identitas dan ingatan kolektif.
”Tidak bisa sembarangan mengikuti penamaan yang diberikan orang lain karena penamaan lokasi ini sangat sensitif. Apalagi bagi daerah yang banyak didatangi orang asing, misalnya di Bali ini,” kata Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Muh Aris Marfai serangkaian pembukaan acara Pelatihan Toponimi Internasional di Kuta, Badung, Bali, Senin (19/6/2023).
Toponimi adalah ilmu tentang nama rupabumi, atau nama tempat atau nama lokasi, dengan mempertimbangkan latar belakang, kaitan sejarah, budaya, dan tradisi ataupun adat istiadat yang melekat pada suatu wilayah. Badan Informasi Geospasial bersama Asia South East (ASE) Division dan United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) berkolaborasi mengadakan Pelatihan Toponimi Internasional (International Training of Toponymy) di Kuta, Badung, Bali, mulai Senin (19/6/2023).
Selain dari Indonesia, pelatihan toponimi internasional juga diikuti peserta dari negara anggota UNGEGN. Terdapat 132 peserta pelatihan toponimi internasional di Kuta, Badung, termasuk dari Arab Saudi, Oman, Jordania, Vietnam, dan Laos. Selama pelatihan, peserta mendapatkan materi, antara lain, mengenai kelembagaan nasional, model, dan prosedur; penamaan rupabumi sebagai warisan budaya; warisan budaya di Bali; dan sistem pengumpulan penamaan rupabumi.
Perwakilan Sekretariat UNGEGN Cecille Blake menyatakan apresiasinya kepada Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Asia South East (ASE) Division atas pelaksanaan pelatihan dan pemilihan Bali sebagai lokasi pelatihan toponimi. ”Toponimi juga mementingkan aspek budaya dan sejarah karena penamaan lokasi akan menjadi ingatan kolektif masyarakat dan sebagai warisan budaya,” kata Cecille Blake mengenai pelatihan toponimi internasional yang diselenggarakan di Kuta, Badung, Bali, Senin (19/6/2023).
Tidak bisa sembarangan mengikuti penamaan yang diberikan orang lain karena penamaan lokasi ini sangat sensitif. Apalagi bagi daerah yang banyak didatangi orang asing, misalnya di Bali ini.
Cecille Blake menambahkan, Bali sudah dikenal secara internasional dan menjadi ikon wisata Indonesia dengan keberagaman budaya. Penamaan lokasi atau rupabumi di Bali juga dinilai erat berkaitan dengan aspek budaya dan sejarah yang menyertainya.
Adapun Ketua UNGEGN Asia South East Division Nor Zetty Akhtar Haji Abdul Hamid juga menyampaikan terima kasih kepada Badan Informasi Geospasial atas penyelenggaraan pelatihan tersebut.
Tempat pelatihan
Nor Zetty menyatakan, kegiatan pelatihan itu sudah direncanakan sejak masa kepemimpinan Indonesia di UNGEGN ASE Division periode 2019-2022. Namun, pelaksanaannya tertunda karena situasi pandemi Covid-19. ”Bali menjadi tempat pelatihan yang tepat karena peserta dapat membandingkan secara langsung melalui kunjungan ke lokasi,” kata Nor Zetty dari Brunei Darussalam.
Lebih lanjut Aris mengatakan, penamaan lokasi atau unsur rupabumi memerlukan prosedur karena penamaan lokasi juga berkaitan dengan kebutuhan formal. Penamaan suatu lokasi atau tempat juga memerlukan standardisasi karena menjadi hal baku dan agar tidak mudah diubah.
”Pemerintah daerah memiliki otoritas dalam pengusulan penamaan suatu lokasi karena berkaitan dengan nilai bagi daerah, akar budaya daerah, dan tradisi di masyarakat setempat,” kata Aris.