Sapi Pasundan, Kecil-kecil Cabe Rawit
Sapi pasundan menunggu menjadi andalan bangsa menjadi penghasil daging potensial. Ukurannya kecil tetapi memiliki banyak keunggulan besar ketimbang sapi ras eksotik impor.
Bobot maksimalnya hanya sepertiga dari sapi ras eksotik. Namun, ketangguhan sapi pasundan jauh lebih besar dari itu. Tahan penyakit, ramah peternak bermodal kecil, hingga menghasilkan persentase daging lebih tinggi hanya secuil dari keunggulan plasma nutfah Jawa Barat itu.
Ingatan Yaya Sugiartio (53), kembali pada kenangan buruk setahun lalu. Peternak sapi ini terpuruk dan tidak berdaya saat menghadapi penyakit mulut dan kuku (PMK). Dua sapi ras impor miliknya terpapar PMK hingga dua minggu.
Meski akhirnya sembuh, pengorbanan Yaya tidak sedikit. Selain waktu, Yaya harus mengeluarkan biaya besar untuk menyelamatkan sapi-sapi berbadan besar itu. Kala itu, setiap hari, Yaya berkutat dengan pengobatan ternaknya, baik alami hingga kimia.
Uniknya, meski punya badan lebih kecil, sapi-sapi lokal miliknya justru lebih tangguh. PMK tidak cukup tangguh menumbangkan tubuh mereka.
”Mungkin sapi-sapi ini ada campuran pasundan dan sapi lokal lain,” ujar Yaya, peternak asal Desa Mekarbuana, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis, Sabtu (17/6/2023).
Pengalaman itu memberikan pelajaran penting. Bobot besar bukan jaminan sapi bisa memberikan keuntungan. Sapi lokal yang lebih mungil, maksimal 300-400 kilogram, terbukti kuat menghadapi ancaman penyakit menular berbahaya.
"Kini, kami memelihara lebih banyak sapi lokal. Setahun lalu, dari total 25 ekor, hanya ada lima lokal. Sekarang dari 34 ekor, punya 14 lokal. Delapan ekor adalah sapi pasundan bantuan Pemprov Jabar" kata Yaya.
Baca juga: Mengunjungi Dua Dusun Terpencil di Brebes Penghasil Sapi Jabres
Sapi pasundan sejauh ini adalah favoritnya. Plasma nutfah asli Jabar ini disebut Yaya yang paling tangguh. Tidak heran bila dia bersama anggota Kelompok Tani Suka Mukti Ciamis aktif memperkenalkan sapi pasundan kepada peternak lainnya.
Diyakini sebagai sapi lokal Jabar, sapi pasundan disebut domestikasi banteng (Bos sondaicus). Dulu sapi ini dikenal sebagai sapi rancah, merujuk salah satu kecamatan di Ciamis.
Sepintas, fisiknya mirip sapi madura. Warna tubuhnya dominan merah bata atau kecoklatan dan berkaki panjang putih. Garis hitam di punggungnya menjadi pembeda dengan jenis sapi lain.
Selain di Ciamis, populasinya tersebar di sejumlah daerah di Jabar. Beberapa diantaranya seperti pesisir pantai di Garut, Tasikmalaya, dan Cianjur. Ada juga di kawasan perbukitan seperti Kuningan, tetangga Ciamis.
Tidak ada data pasti kapan sapi rancah pertama kali dikembangbiakkan. Berdasarkan cerita lisan yang dituturkan Dayat (70), sesepuh peternak sapi pasundan, sapi itu dipelihara sejak zaman kakek-neneknya.
Cerita lain juga mengisahkan, sapi rancah terbiasa menjadi primadona pada pesta jamuan orang Belanda dan pembesar perkebunan di sekitar Rancah. Dagingnya yang empuk jadi daya tarik utama.
”Sewaktu kisruh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1960-an, sapi rancah menyelamatkan desa-desa di Rancah. Kata orang tua, bila tidak ada sapi rancah yang diserahkan sebagai upeti, desa biasanya dibakar DI/TII,” kata Dayat, peternak dari Situmandala, Ciamis.
Yaya mengatakan, tangguh menghadapi penyakit hingga adaptif menghadapi zaman, hanya secuil keunggulan dari sapi pasundan.
Salah satu keunggulannya adalah nilai investasi yang kecil. Seekor sapi bakal induk berbobot 100-150 kg biasanya dijual Rp 5 juta-Rp 6 juta per ekor. Harga sapi impor jauh lebih mahal, yaitu Rp 8 juta-Rp 10 juta per ekor.
Sapi ini juga bisa bertahan hanya dengan memakan rumput. Sementara sapi ras impor sangat membutuhkan racikan pakan, hijauan dan konsentrat, agar bisa tumbuh dengan baik.
”Biaya makan per hari satu ekor sapi pasundan hanya sekitar Rp 10.000. Beda dengan sapi eksotis yang sampai Rp 30.000 per ekor,” ujarnya.
Sapi pasundan juga dinilainya produktif. Empat dari delapan sapi bunting yang dikelola Yaya membuktikan keunggulan ini.
Menurut Yaya, dalam kurun tiga bulan, sapi pasundan yang telah melahirkan sudah memasuki masa birahi. Kondisi ini tidak ditemui dalam sapi-sapi eksotis. Sapi itu biasanya membutuhkan waktu hingga lima bulan untuk kembali berahi.
Kemudahan dari pemeliharaan sapi pasundan ini diganjar dengan produktivitas yang mumpuni. Tulang sapi rancah yang relatif lebih kecil juga memberikan karkas yang tinggi 53-55 persen atau jauh lebih tinggi ketimbang karkas sapi ras eksotis yang hanya 47-48 persen.
”Jadi, untuk peternak pemula, memelihara sapi pasundan bisa memutar modal lebih cepat,” ujarnya.
Baca juga: Menagih Komitmen Swasembada Daging Sapi
Keunggulan ini juga membuat sapi pasundan cukup diminati jelang Idul Adha. Satu sapi siap kurban bisa dibeli Rp 17,5 juta hingga Rp 21 juta. Sementara harga sapi ras eksotis mencapai Rp 25 juta per ekor.
”Kalau sapi ras eksotis seperti limosin dan simental itu biasanya untuk bos-bos. Kalau sapi pasundan, semua orang bisa. Jadi bisa meringankan orang-orang untuk beribadah,” ujarnya.
Kemandirian pangan
Kini, ketangguhan sapi pasundan masih teruji. Keberadaannya dianggap menjadi solusi untuk masalah pangan di tengah masyarakat. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan M Arifin Soedjayana menyatakan, sapi pasundan bisa berkontribusi dalam mewujudkan kemandirian pangan.
Menurut Arifin, Jabar merupakan wilayah konsumen daging sapi. Memiliki penduduk hampir seperlima total populasi Indonesia, wilayah ini memiliki kebutuhan daging yang tinggi.
Sebagai contoh, Arifin menyebut, kebutuhan sapi saat Idul Adha setidaknya 75.000-80.000 ekor setiap tahunnya. Sementara itu, jumlah populasi sapi dan kerbau di Jabar hanya 150.000 ekor.
”Jumlah ini sudah termasuk induk dan bibit. Jadi, Jabar tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan sendiri,” ujarnya.
Untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat, Jabar pun memasok sapi dari berbagai daerah, seperti Jawa Timur, Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Arifin berujar, jumlahnya hingga 80 persen dari total kebutuhan ini.
Melihat permintaan yang tinggi ini, Arifin berujar, pihaknya pun memaksimalkan upaya pemurnian dan pelestarian sapi pasundan. Sebagai produk yang memiliki sejumlah keunggulan, dia menilai sapi lokal ini mampu menjawab kebutuhan tersebut.
”Meskipun Jabar itu daerah lintasan dan bukan produsen, bukan berarti tidak memiliki potensi. Ada genetik lokal yang unggul dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Bioteknologi
Untuk memenuhi harapan ini, kata Arifin, pihaknya konsisten melakukan pemurnian sapi pasundan. Kualitas sapi pasundan saat ini mulai ditingkatkan dengan menggunakan bioteknologi berupa inseminasi buatan.
Peningkatan mutu sapi pasundan ini dilakukan di Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Perbibitan dan Pengembangan Inseminasi Buatan Ternak (BPPIBT) Sapi Potong Ciamis dari DKPP Jabar. Kepala BPPIBT Sapi Potong Ciamis Vidi Wulandari menyebut, upaya ini telah dilakukan sejak tahun 2014.
Dalam kurun hampir sepuluh tahun, mutu genetik sapi pasundan ditingkatkan di sini. Pemurnian ini diharapkan bisa menghadirkan kembali keunggulan dari sapi lokal yang bisa dinikmati masyarakat luas.
Di tempat seluas 13 hektar itu, 192 sapi pasundan hidup dan dikembangbiakkan untuk tujuan pemurnian genetik. Dari jumlah tersebut, sebagian besar telah memiliki homozigositas di atas 70 persen.
Kondisi ini, kata Vidi, menunjukkan sapi pasundan yang tengah dikembangkan telah memiliki warisan genetik cenderung murni. Semakin besar persentasenya, semakin mirip keturunan tersebut memiliki sifat yang sama dengan generasi sebelumnya.
”Kami bekerja sama dengan sejumlah pihak dari akademisi untuk memurnikan sapi pasundan. Saat ini sudah ada F2 (keturunan kedua) dengan homozigositas di atas 70 persen. Saat ini kami juga menunggu F3 (keturunan ketiga) yang lebih tinggi lagi,” ujarnya.
BPPIBT Sapi Potong Ciamis juga melayani permintaan sperma atau semen beku dari sapi pasundan. Di tempat ini, tujuh ekor pejantannya telah mendapatkan sertifikasi dari Kementerian Pertanian untuk memproduksi semen beku.
Namun, minat masyarakat untuk menggunakan semen beku sapi pasundan dalam inseminasi buatan masih minim. Menurut Vidi, pemesanan semen beku dari sapi lokal ini hanya di bawah 10 persen.
”Kebutuhan sapi pasundan saat ini memang cenderung untuk program saja, sedangkan permintaan langsung dari peternak sedikit. Kebanyakan peternak masih memesan sperma beku sapi eksotis,” ujarnya.
Kualitas daging
Agar sapi pasundan lebih diterima masyarakat, kata Vidi, pihaknya melaksanakan sejumlah strategi. Selain sosialisasi keunggulan sapi pasundan kepada peternak, peningkatan mutu daging juga siap dilakukan setelah melakukan pemurnian genetik.
Peningkatan kualitas ini dilakukan dengan menggunakan molecular marker. Vidi berujar, bioteknologi ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan kualitas daging yang lebih empuk. Namun, daging rendah lemak sehingga bisa memenuhi pasar premium.
Kami akan menyosialisasikan daging sapi pasundan dari hulu hingga hilir. Dari tahun 2023 hingga 2025 ini kami akan membuat kaji terap terhadap kualitas daging sehingga bisa menyasar pasar premium.
”Kami akan menyosialisasikan daging sapi pasundan dari hulu hingga hilir. Dari tahun 2023 hingga 2025, kami akan membuat kaji terap terhadap kualitas daging sehingga bisa menyasar pasar premium,” ujarnya.
Kualitas daging yang meningkat ini diharapkan bisa melengkapi keunggulan produktivitas sapi pasundan. Vidi berujar, daging yang dihasilkan dari sapi pasundan mencapai 52 persen dari bobot tubuhnya.
”Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan sapi impor yang paling banyak 42 persen. Kalau dilihat, selisihnya bisa 6-10 persen. Jadi, sapi pasundan lebih menguntungkan,” ujarnya.
Vidi berharap, peningkatan kualitas ini berujung pada permintaan sapi pasundan yang semakin tinggi. Saat permintaan pasar meningkat, para peternak pun bersedia untuk memeliharanya. Dengan begitu, sedikit banyak si kecil dari tanah ”Pasundan” ini bisa ikut berkontribusi besar pada ketahanan pangan bangsa.