Wabah PMK Hambat Pertumbuhan Populasi Sapi di Boyolali
Upaya meningkatkan populasi sapi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, dilakukan melalui program Sikomandan. Namun, informasi ini belum sepenuhnya diketahui peternak.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Kemunculan wabah penyakit mulut dan kuku menghambat pertumbuhan populasi sapi di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sebenarnya, upaya peningkatan populasi coba dilakukan lewat keberadaan program Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri atau Sikomandan. Namun, tak semua peternak mengetahui tentang program tersebut.
Berdasarkan data dari Dinas Peternakandan Perikanan (Disnakkan) Boyolali, jumlah pertumbuhan populasi sapi tidak cukup signifikan selama tiga tahun terakhir. Situasi itu terjadi baik untuk jenis sapi perah maupun sapi potong. Pada 2019, total populasi sapi di daerah tersebut mencapai 200.687 ekor. Jumlahnya menjadi 200.908 ekor pada 2020. Jumlahnya bertambah cukup besar, pada 2021, dengan capaian 202.160 ekor.
Pada 2022, total jumlah populasi sapi mencapai 158.577 ekor. Angka itu menunjukkan penurunan populasi dengan jumlah lebih dari 40.000 ekor dibandingkan tahun sebelumnya. Ketika itu, kebetulan daerah tersebut juga tengah diserang wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) yang memunculkan risiko kematian ternak. Apalagi jika tidak tertangani dengan baik.
”Jadi memang kemunculan wabah ini berpengaruh pada jumlah populasi sapi. Namun, saya kira ini tidak hanya di Boyolali. Daerah lain juga mengalami hal yang sama,” kata Kepala Disnakkan Boyolali Lusia Diah Suciyati saat dihubungi, Kamis (15/6/2023).
Kemunculan wabah, ungkap Lusi, sekaligus membatasi lingkup gerak inseminator yang bertugas untuk membuat populasi sapi betina bunting. Pembatasan itu dilakukan demi mencegah penyebaran penyakit. Sebab, inseminator yang menyuntik sapi-sapi betina jika mempunyai mobilitas tinggi ke berbagai kandang dikhawatirkan justru menjadi pembawa bakteri yang bisa menulari sapi di kandang lain.
Kepala Bidang Usaha Peternakan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Disnakkan Boyolali Gunawan Andriyanto menjelaskan, peningkatan populasi ternak sebenarnya coba didorong lewat program Sikomandan. Dalam program tersebut, ada sekitar 70.000 sapi betina yang dijadikan sasaran inseminasi buatan setiap tahunnya. Rata-rata satu sapi membutuhkan dua kali penyuntikan agar bisa bunting.
”Kebuntingan dipengaruhi banyak faktor sehingga kondisinya cukup fluktuatif. Ada yang langsung berhasil. Namun, rata-rata dua kali penyuntikan baru berhasil. Faktornya itu mulai dari kejelian peternak mendeteksi berahi hingga kemampuan inseminator,” kata Gunawan.
Gunawan menjelaskan, fase berahi sapi berlangsung selama 12-18 jam. Kondisi itu pun hanya terjadi selama 22 hari sekali dalam sebulan. Apabila kurang cermat dalam melihat berahi sapi, peternak mesti menunggu bulan selanjutnya untuk melakukan inseminasi buatan. Kerap kali kegagalan inseminasi buatan disebabkan oleh keterlambatan peternak melaporkan kondisi berahi sapinya.
Lebih lanjut, Gunawan mengungkapkan, bibit-bibit yang dimasukkan dalam program tersebut juga dijamin unggul. Ada pula keberlanjutan berupa pengecekan kondisi sapi setelah dua bulan hingga tiga bulan penyuntikan. Tujuannya untuk memastikan keberhasilan dari penyuntikan tersebut.
”Jika ada kepastian, masa tidak bunting seekor ternak jadi pendek. Ini akan menghemat biaya pakan. Sering kali kalau pembibitan lama, ternaknya tidak bunting, rugi untuk pakannya,” ujar Gunawan.
Sementara itu, Gunawan juga menanggapi soal angka pertumbuhan populasi yang terkesan lambat. Menurut dia, penambahan kurang signifikan akibat tingginya aktivitas jual-beli sapi di daerah tersebut. Sebab, berdasarkan laporan yang diterimanya, jumlah kelahiran dari inseminasi buatan bisa mencapai sekitar 36.000 ekor setiap tahunnya.
”Dalam program ini, peternak kecil yang dijadikan sasaran. Kriterianya, mereka hanya memiliki sapi dengan jumlah kurang dari 10 ekor. Meski demikian, inseminasi buatan sebenarnya sudah biasa dilakukan peternak. Jadi bukan hal sulit diterapkan,” kata Gunawan.
Harman (59), peternak sapi dari Kecamatan Musuk, mengaku tak mengetahui keberadaan program Sikomandan. Pihaknya sudah terbiasa memanggil mantri hewan secara mandiri untuk melakukan inseminasi buatan. Hanya saja ia sudah lama tak melakukan pembibitan karena sapi-sapinya sulit bunting sejak beredarnya PMK. Untuk itu, ia lebih fokus untuk mencari penghasilan dari perahan susu sapinya.
”Terakhir IB (inseminasi buatan) itu ya sebelum PMK. Ini hasilnya masih ada yang di kandang saya. Setelah PMK itu mulai sulit. Entah kenapa. Ada yang sudah enam kali IB tetap tidak berhasil juga. Ya, sudah diperah saja,” kata Harman.
Di sisi lain, Harman juga lebih memilih beternak sapi perah daripada sapi potong. Ia tak punya cukup modal untuk menghidupi pedet sampai layak dijual. Apabila ia beternak sapi perah, setidaknya ia bisa memperoleh 20 liter susu per harinya. Adapun harga susu dari peternak dibanderol Rp 7.000-Rp 8.000 per liternya.
Hal serupa disampaikan peternak di Kecamatan Mojosongo, Purnomo (46). Menurut dia, jika fokus pada pembibitan, ia membutuhkan modal yang sangat besar. Oleh karena itu, ia bergerak pada bidang penggemukan. Sektor itu digarapnya agar tetap bisa melakukan pembibitan. Adapun pembibitan dianggapnya sekadar hobi.
“Kalau tidak hobi, tidak mungkin saya melakukan pembibitan seperti ini. Itu karena kita harus menanggung biaya pakan yang besar. Itu ibaratnya seperti memberi makan orang tidur karena sapi tidak bisa langsung dijual. Dengan kondisi begitu, kerugiannya paling tidak Rp 3 juta sampai Rp 5 juta per ekor,” kata Purnomo.
Dalam setahun, Purnomo mampu menghasilkan 7-8 pedet. Semua anakan sapi tersebut diperolehnya lewat inseminasi buatan. Meski demikian, ia selalu memperhatikan sejeli mungkin kondisi sapinya agar tidak terlambat menyuntikkan bibit. Itu menjadi kunci keberhasilan setiap kali melakukan pembibitan.