Sektor Kehutanan Tumpuan Utama Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
Sektor kehutanan menjadi penyerap utama sekaligus penyumbang terbesar emisi karbon. Emisi terbesar dari kebakaran hutan dan dekomposisi gambut. Emisi kehutanan ditarget minus 140 juta ton karbon dioksida pada 2030.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sektor kehutanan menjadi penyerap utama sekaligus penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Emisi terbesar berasal dari kebakaran hutan dan lahan, dekomposisi gambut, serta deforestasi. Penurunan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan mematok target ambisius, yakni setara minus 140 juta ton karbon dioksida pada 2030.
”Keberhasilan Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sangat bergantung pada sektor kehutanan. Hal ini karena 60 persen target penurunan emisi dibebankan pada sektor kehutanan,” kata Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Jumat (16/6/2023).
Ruandha menyampaikan hal tersebut dalam lokakarya bertajuk ”Pengarusutamaan Program Indonesia’s Folu Net Sink 2030 dalam Kurikulum Pendidikan dan Penelitian di Bidang Kehutanan”. Hadir sejumlah dekan fakultas kehutanan dari berbagai kampus di Indonesia, mahasiswa kehutanan, dan Wakil Rektor III USU Poppy Anjelisa Z Hasibuan.
Ruandha mengatakan, ada lima sektor yang harus diturunkan emisi karbonnya di Indonesia, yakni energi, limbah, industri, pertanian, dan kehutanan. Pengendalian di empat sektor hanya bisa dilakukan dengan penurunan emisi karbon yang dihasilkan.
Sementara sektor kehutanan bisa menurunkan emisi sekaligus meningkatkan penyerapan karbon. Akan tetapi, emisi yang dihasilkan sektor kehutanan hingga saat ini masih jauh lebih besar dibandingkan karbon yang diserap. Padahal, sektor kehutanan seharusnya bisa menyerap emisi dari sektor lain.
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan program Indonesia’s Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Program ini menargetkan kondisi serapan emisi karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan akan seimbang atau lebih tinggi dari emisi yang dilepas pada 2030. Ruandha menyebut, KLHK menargetkan emisi karbon di sektor kehutanan minus 140 juta ton pada 2030.
Untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan di sektor kehutanan, pemerintah akan menekan kebakaran hutan dan lahan serta dekomposisi gambut. Kebakaran selama ini terjadi di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Sumut. Kebakaran cukup luas juga terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. ”Kita sudah punya solusi, yakni modifikasi cuaca. Sebelum gambut kering akan dibasahi dengan hujan buatan,” kata Ruandha.
Selain mengurangi emisi karbon yang dilepas di sektor kehutanan, upaya penting lainnya adalah meningkatkan penyerapan karbon. Indonesia mempunyai hutan tropis yang luas, yang menyerap karbon 50 persen lebih tinggi dibandingkan nontropis. Indonesia juga punya mangrove yang daya serap karbonnya 4-7 kali lebih tinggi dibandingkan hutan mineral.
Keberhasilan Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sangat bergantung pada sektor kehutanan.
Kawasan hutan Indonesia mencapai 120,6 juta hektar, tetapi hanya 95 juta hektar di antaranya yang mempunyai tutupan hutan. Setengah di antaranya juga merupakan hutan sekunder dan hanya separuhnya hutan primer.
Oleh karena itu, berbagai upaya harus dilakukan, seperti menghentikan deforestasi dan menanam hutan kembali di tutupan yang terbuka. Restorasi hutan mangrove juga terus didorong. Pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), kata Ruandha, menargetkan rehabilitasi 600.000 hektar mangrove pada 2020-2024. Catatan Kompas, rehabilitasi mangrove tersebut masih terkendala anggaran, perambahan, dan alih fungsi yang masih terus terjadi.
Ruandha mengingatkan, dampak perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca sudah sangat nyata terjadi di Indonesia. Garis pantai di sejumlah tempat di Jawa mundur ke darat hingga 200 meter. Kawasan Nusa Dua diperkirakan akan terpisah dari Pulau Bali pada 2080 jika tidak ada penurunan emisi gas rumah kaca.
Pencairan es di Puncak Jaya Wijaya, Papua Tengah, juga terus terjadi. Pada 1990, luas hamparan es Jaya Wijaya mencapai 200 kilometer persegi dan menurun hingga 20 kilometer persegi pada 2003. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan es abadi itu akan punah pada 2024.
”Padahal, hamparan es di Puncak Jaya Wijaya sangat unik karena satu-satunya gletser di daerah tropis,” kata Ruandha.
Ruandha mengatakan, upaya penurunan emisi gas rumah kaca sangat penting untuk menahan pemanasan global maksimal 1,5 derajat celsius lebih panas dibandingkan suhu pra-industri, sebagaimana ditetapkan sebagai batas pemanasan global dalam Perjanjian Paris 2015.
Dalam catatan Kompas.id, saat El Nino baru dimulai Juni ini, suhu rata-rata di seluruh dunia pada 9 Juni telah mencapai 1,69 derajat celsius lebih panas dibandingkan suhu pra-industri. Sebelumnya, ambang batas kenaikan 1,5 derajat celsius tersebut pertama kali dilampaui pada Desember 2015 dan berulang kali dilampaui pada musim dingin dan musim semi 2016 dan 2020. Semakin sering terlampauinya ambang suhu ini merupakan indikasi seberapa cepat kita mendekati titik itu secara permanen.
Ketua Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (Foretika) Naresworo Nugroho mengatakan, untuk memberikan wawasan terkait ilmu pengetahuan terbaru, mata kuliah tentang isu kehutanan terkini akan diluncurkan di kampus-kampus kehutanan. Mata kuliah ini, antara lain, tentang bagaimana sektor kehutanan berperan dalam penurunan gas rumah kaca.
Kepala Dinas LHK Pemerintah Provinsi Sumut Yuliani Siregar mengatakan, daerah juga mempunyai peran penting dalam penurunan emisi karbon. Pemerintah Provinsi Sumut bersama BRGM telah menyusun rencana rehabilitasi 50 persen gambut yang rusak di Sumut dalam 30 tahun ke depan. Sumut juga menargetkan rehabilitasi 7.000 hektar mangrove.
”Sumut juga telah memiliki dokumen rencana kerja Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 Nasional Sub Sumut 2022-2023,” kata Yuliani.