Ingin Berkebun, Peladang Ditangkap karena Bakar Lahan di Kotawaringin Barat
Kebakaran hutan dan lahan mulai bermunculan di Kalimantan Tengah. Polisi juga mulai menangkapi pelaku pembakaran, sayangnya kali ini peladang ditangkap karena ingin bercocok tanam.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Polisi menangkap seorang peladang karena membakar ladangnya untuk bertani di Desa Sei Bakau, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Ia membuka lahan seluas empat hektar dengan cara membakar yang kemudian merambat hingga 30 hektar.
Peladang itu berinisial T (58) warga Desa Sei Bakau, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Ia ditangkap lantaran membuka ladang miliknya dengan cara membakar.
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Kotawaringin Barat Inspektur Satu (Iptu) Paindoan Siregar menjelaskan, pihaknya menangkap T atas laporan masyarakat. Sebelum ditangkap pihak kepolisian juga mendapatkan laporan titik api yang muncul di satelit, menindaklanjutinya ke lokasi dan melakukan penyidikan.
Menurut Paindoan, awalnya ladang seluas empat hektar dibakar oleh T namun meluas ke lahan milik orang lain dengan total luas 30 hektar atau sama dengan 30 kali ukuran lapangan sepak bola.
”Pelaku diamankan polsek setempat seusai membakar lahan,” ungkap Paindoan saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa (13/6/2023).
Peristiwa kebakaran itu, lanjut Paindoan, terjadi pada Kamis (8/6/2023) lalu. Aparat kemudian melakukan penyidikan dengan mengumpulkan alat bukti juga melakukan pengukuran luas lahan terbakar.
Dari hasil penyelidikan, kata Paindoan, pihaknya menemukan bukti berupa korek api gas warna hijau, ranting dan semak bekas terbakar. Pelaku juga mengakui perbuatannya,
Kejadian itu, lanjut Paindoan, membuat pihaknya menetapkan T sebagai tersangka pembakaran lahan. Pelaku mengaku jika ia melakukan hal tersebut dengan tujuan membuka kebun.
Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Barat Ajun Komisaris Besar (AKBP) Bayu menambahkan, pihaknya selama ini sudah melakukan sosialisasi terkait larangan membakar untuk membuka lahan maupun ladang ke masyarakat. Ia menyayangkan tindakan T yang masih tidak mematuhi aturan tersebut.
Peladang berusia paruh baya itu pun ditetapkan tersangka dengan Pasal 187 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun.
Regulasi
Kebakaran hutan dan lahan memang sudah bermunculan di Kalimantan Tengah sejak dua bulan belakangan. Pemerintah Provinsi Kalteng pun pada Mei lalu telah menetapkan status siaga bencana darurat karhutla selama lebih kurang 167 hari. Dalam surat keputusan itu tercantum kalimat warga Kalteng tidak boleh melakukan pembakaran untuk membuka ladang selama status berlangsung.
Kalimat tersebut membuat Perda Kalimantan Tengah Nomor 1 tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran tidak bisa diaplikasikan secara utuh. Dalam kebijakan itu, peladang masih dibolehkan membakar dengan syarat tertentu, misalnya tidak di lahan gambut, lalu harus melalui izin banyak pihak termasuk kepolisian.
Sekarang ini beras serba beli, sayur beli, kalau dulu kami tak keluar uang untuk penuhi kebutuhan perut dan rumah tangga.
Polemik membuka lahan dengan cara membakar memang masih menjadi perdebatan. Sebagian besar peladang tak terima jika dilarang membakar untuk tujuan pertanian atau perkebunan. Mereka pun kini setidaknya sudah delapan tahun lebih meninggalkan ladangnya karena takut ditangkap.
Seperti Norhadi Karben, warga Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, yang sudah mencoba berbagai cara menanam padi tanpa lebih dahulu membakar lahan tetapi gagal. Sementara program food estate di kampungnya masih bermasalah karena banyak hal mulai dari bibit dan pupuk yang rusak tak bisa dipakai hingga pembukaan lahan dengan eskavator yang menimbulkan konflik antarpemilik lahan.
”Sekarang ini beras serba beli, sayur beli, kalau dulu kami tak keluar uang untuk penuhi kebutuhan perut dan rumah tangga,” ungkap Norhadi.
Hal serupa juga disampaikan Direktur Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi. Menurut dia, masyarakat masih membakar lahan karena tidak memiliki pilihan lain untuk bercocok tanam dan bertahan hidup dengan ladangnya. Mereka belum menemukan cara lain yang bisa menggantikan cara membakar untuk membuka ladangnya sebelum menanam.
”Kalau pemerintah bisa menunjukkan cara yang lebih efektif tanpa membakar lahan pasti warga akan gunakan cara itu. Saat ini yang terjadi karena keterbatasan teknologi dan biaya, warga memilih cara paling cepat,” kata Habibi.
Habibi menambahkan, kejadian ini seharusnya menjadi refleksi pemerintah untuk melihat lebih jauh persoalan pangan. Selama ini persoalan pangan belum diberi perhatian lebih.
”Peristiwa ini merupakan implikasi dari nihilnya kebijakan di daerah yang mengatur praktik membuka lahan dengan cara membakar,” ungkap Habibi.