Peladang Kalteng Minta Pemerintah Tegas soal Larangan Membakar Lahan
Sejak dilarang membakar lahan, petani di Kalteng bertahun-tahun meninggalkan ladangnya. Hal itu mengundang begitu banyak masalah dan berkaitan langsung dengan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Petani dan peladang di Kalimantan Tengah minta pemerintah tegas terhadap kebijakan larangan membakar lahan. Masyarakat sampai kini masih menunggu alternatif dan solusi dari larangan membakar yang mereka nilai belum tuntas. Hal itu juga berpengaruh terhadap upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan atau karhutla.
Hal itu mengemuka dalam diskusi dengan tema ”Pencegahan Karhutla di Tengah El Nino” di Palangkaraya, Jumat (24/3/2023). Diskusi yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng bersama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) itu dihadiri berbagai lapisan masyarakat dari beberapa kabupaten/kota di Kalteng.
Hadir sebagai pembicara diskusi, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kalteng Komisaris Besar Kaswandi Irwan, Kepala Bidang Pencegahan Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Provinsi Kalteng Kibue Sungan, serta Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalteng Merty Ilona.
Sejak bencana asap 2015, pemerintah kian gencar melarang masyarakat mengolah lahan atau ladangnya dengan cara membakar, apalagi di lahan gambut. Namun, seiring berjalannya waktu, kebijakan itu berdampak buruk, mulai dari benih lokal yang hilang hingga kemiskinan. Hal itu membuat pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran (Kompas, 12/6/2020).
Dalam kebijakan itu, pemerintah membolehkan peladang tradisional atas nama masyarakat hukum adat untuk membakar dengan berbagai syarat. Syarat itu meliputi lahan yang dibakar di bawah satu hektar, bukan di lahan gambut, dan melalui proses perizinan bertingkat dari desa hingga kepolisian.
Norhadi Karben, warga Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, mengungkapkan, sejak kebijakan itu diterbitkan, mulai muncul harapan baginya dan warga desa untuk bisa kembali berladang. Ia kemudian mengikuti aturan pasal demi pasal dalam peraturan daerah tersebut.
Kalau memang dilarang, bilang saja dilarang, jadi tidak ngasih harapan.
”Saat kami melapor ke polisi, jawabannya, mereka tidak mengizinkan, tetapi juga tidak melarang. Ini jadi gimana yang benar? Kami jadi bingung. Jangan-jangan waktu kami bakar dan kami jaga, malah ditangkap,” ungkap Norhadi.
Norhadi menambahkan, ketidakjelasan itu membuat dirinya mengurungkan niat mengolah ladang. Dia sudah delapan tahun hampir tidak pernah berladang. Ia pernah mencoba membuka lahan tanpa bakar, tetapi hasilnya jauh dari normal dan justru menghabiskan anggaran rumah tangga. ”Kalau memang dilarang, bilang saja dilarang, jadi tidak ngasih harapan. Sekarang ini semua serba beli, padahal dulu beras itu sekali tanam saja cukup untuk satu tahun,” ucapnya.
Hal serupa dialami Irma (45), warga Desa Kalumpang, Kalteng. Dia meminta pemerintah lebih tegas lagi dalam bersikap agar masyarakat tidak kebingungan. Ada beberapa program pemerintah yang bertujuan mencari alternatif mata pencarian agar menghindari kebiasaan membakar lahan.
Namun, program tersebut belum cukup memenuhi kebutuhan keluarga dari anggota kelompok. Beberapa jenis usaha bahkan sudah bangkrut dan tidak berlanjut. ”Ujungnya kami tetap harus beli beras. Sayangnya, sejak tidak berladang, banyak benih hilang,” ungkap Irma.
Menanggapi hal itu, Merty Ilona menjelaskan, dalam kebijakan terkait pengendalian kebakaran disebutkan, yang bisa membakar merupakan masyarakat hukum adat. Sayangnya, belum semua kabupaten dan kota di Kalteng memiliki masyarakat hukum adat yang sudah diakui negara.
”Sampai hari ini sejak kami bersurat, belum ada satu bupati pun yang menginventaris masyarakat hukum adat di wilayahnya dan juga penunjukan wilayah gambut di masing-masing kabupaten dan kota,” ungkap Merty.
Merty berharap, revitalisasi ekonomi terus berlanjut sehingga masyarakat memiliki mata pencarian alternatif. Hal itu sangat berpengaruh terhadap upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
Sementara itu, Kaswandi Irwan dalam paparannya menjelaskan, berbagai strategi dilakukan untuk mencegah kebakaran lahan. Salah satunya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait larangan membakar. ”Meski ada aturan yang membolehkan membakar, perlu dilihat lagi. Makanya, perlu pemetaan wilayah-wilayah sebaran titik panas dan titik api,” ucapnya.
Koordinator Save Our Borneo (SOB) Muhammad Habibi mengungkapkan, masyarakat selalu jadi sasaran tindak pidana kebakaran hutan dan lahan. Padahal, jika dilihat, luasan lahan yang terbakar jauh lebih sedikit dibandingkan korporasi. ”Perlu pendekatan hukum dengan pola yang berbeda. Jangan seperti yang sebelumnya karena selalu masyarakat atau para peladang yang jadi sasaran,” ujarnya.
Hal itu ditanggapi Kepala Subdirektorat Ditreskrimsus Polda Kalteng Ajun Komisaris Besar Joko Handono. Dia menjelaskan, untuk menangani tindak pidana kebakaran lahan, pihaknya membuat pelatihan khusus bagi penyidik-penyidik di Polda Kalteng. ”Sudah disiapkan juga untuk para penyidik, selain sarana dan prasarana yang terus dilengkapi,” katanya.