Perdagangan Orang Bermodus Prostitusi Daring Kembali Mencuat di Manado
Kasus tindak pidana perdagangan orang dengan modus prostitusi daring kembali mencuat di Manado. Kepolisian berjanji meningkatkan pengawasan digital.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Kasus tindak pidana perdagangan orang dengan modus prostitusi daring kembali mencuat di Manado, Sulawesi Utara. Beberapa hari lalu, kepolisian menangkap lima laki-laki yang terlibat prostitusi daring di kota tersebut. Kepolisian berjanji meningkatkan pengawasan digital untuk mencegah berulangnya kasus itu.
Dihubungi dari Manado, Senin (12/6/2023), Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sulut Komisaris Besar Gani Siahaan menyatakan, pihaknya akan mengerahkan tim siber untuk meningkatkan pengawasan guna mengantisipasi prostitusi daring. Namun, ia menolak memerinci upaya pengawasan yang dilakukan.
Padahal, saat ini para pelaku prostitusi daring cenderung tak berjejaring karena kemudahan pemasaran jasa melalui aplikasi percakapan (chatting). Bahkan, beberapa pelaku tidak lagi diperantarai mucikari.
”Itu strategi teknis. Saya enggak mungkin menjelaskannya, nanti para pelaku tahu dan mereka lebih pintar. Yang pasti, kami akan melakukan pengamatan dan penyelidikan dibantu alat IT (teknologi informatika),” kata Gani melalui pesan teks.
Pada Jumat (9/6/2023), Polda Sulut mengungkap tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus prostitusi daring menggunakan aplikasi MiChat. Lima laki-laki ditangkap dan dijadikan tersangka dalam kasus itu, yaitu AF (19), RA (21), JS (22), OR (21), dan MA (20).
”Kelima pria ini diamankan di dua rumah kos yang berada di Kelurahan Ranotana, Kecamatan Sario, Manado, pada Kamis (8/6),” kata Kepala Polda Sulut Inspektur Jenderal Setyo Budiyanto.
Dalam kasus itu, terdapat enam perempuan yang menjadi korban, tetapi identitas dan usianya belum diperoleh secara mendetail oleh kepolisian. Para korban langsung dititipkan kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Manado untuk menjalani pemulihan trauma.
Menurut Setyo, pengungkapan kejahatan tersebut berawal dari informasi masyarakat. ”Modusnya, para pelaku menawarkan teman wanitanya melalui aplikasi MiChat untuk dieksploitasi secara seksual. Hasil (keuntungannya) dinikmati mereka sendiri,” ujarnya.
Sebanyak enam ponsel telah disita kepolisian sebagai barang bukti. Di dalamnya terdapat aplikasi MiChat yang digunakan tersangka untuk memasarkan korban. Kepolisian pun menetapkan kasus ini sebagai TPPO.
Keenam tersangka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Mereka terancam hukuman penjara minimal tiga tahun dan paling lama 15 tahun dengan denda Rp 120 juta sampai Rp 600 juta.
MiChat telah terdaftar sebagai aplikasi penyelenggara sistem elektronik (PSE) di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sejak 11 Juli 2022. Sebelumnya, aplikasi ini telah lumrah menjadi sarana prostitusi daring atau lebih dikenal sebagai ”open BO”.
Modusnya, para pelaku menawarkan teman wanitanya melalui aplikasi MiChat untuk dieksploitasi secara seksual.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, pihaknya sudah pernah menegur MiChat yang berkantor di Singapura. Hasilnya, sejak September 2022 sampai sekarang, sudah ditutup 1.897 akun dan konten yang mempromosikan prostitusi daring.
”Namanya pengawasan oleh platform itu pasti ada yang bocor, tapi di ruang digital itu pasti mudah dicari. Kasus ini pun bukan hanya terjadi di MiChat, melainkan juga aplikasi lainnya. Makanya, kita perlu melakukan pengawasan secara terus-menerus,” kata Semuel.
Di samping itu, Kementerian Kominfo tidak akan melunak terhadap PSE yang membiarkan kriminalitas terjadi di aplikasinya. PSE justru wajib bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam bentuk pemberian data akun yang melaksanakan pelanggaran, terutama dalam hal prostitusi dan TPPO.
”Kami memerintahkan, mereka juga harus tegas pengawasannya secara internal. Kalau ternyata dia memberikan kemudahan-kemudahan, tidak berkoordinasi dan tidak memberi data ke penegak hukum, pasti kami sanksi,” tutur Semuel.
Korban perempuan
Kasus TPPO ini bukanlah yang pertama di Sulut selama 2023. Modus TPPO pun beragam, tetapi korbannya selalu perempuan. Di Minahasa Selatan, satu orang ditahan karena berupaya memperdagangkan orang dengan modus penyaluran tenaga kerja. Di Bolaang Mongondow Selatan, sepasang suami istri ditahan karena dugaan memaksa korban menjadi pekerja seks komersial.
Di Bitung, seorang perempuan ditangkap karena mempekerjakan paksa empat orang sebagai ladies companion (pramuria). Menanggapi sejumlah kasus TPPO itu, Setyo mengingatkan warga agar tidak gampang tergiur oleh tawaran pekerjaan di dalam ataupun luar negeri dari pihak yang mengaku agen penyalur tenaga kerja, tetapi tidak jelas latar belakangnya.
Setyo pun menyatakan akan meningkatkan pengawasan terhadap permasalahan ini. ”Polda Sulut tentu akan menindaklanjuti segala laporan TPPO. Tetapi, ini tidak akan terwujud kalau tidak ada kerja sama dari semua pihak, baik pemerintah daerah maupun seluruh masyarakat,” katanya.
Nurhasanah, aktivis perlindungan perempuan dari Swara Parangpuan, mengatakan, kasus TPPO, terutama yang melibatkan prostitusi, sulit diatasi selama budaya patriarki masih mengakar kuat. Hal ini seolah menjadi paradoks dengan kehidupan sosial di Sulut ketika laki-laki dan perempuan sebenarnya tampak setara.
”Kesetaraan jender di Sulut itu terlihat secara kasatmata, kelihatan egaliter. Kepala dinas banyak yang perempuan, (kuota perempuan) anggota DPRD juga sudah 30 persen. Namun, belum ada aturan-aturan yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap perempuan karena yang namanya budaya patriarki itu masih ada,” tuturnya.
Ruth Ketsia Wangkai dari Gerakan Perempuan Sulut pun mendesak semua institusi di masyarakat, tak terkecuali gereja, untuk bergerak mengatasi masalah TPPO. Gereja harus mampu menyosialisasikan nilai-nilai kesetaraan dalam berbagai kesempatan. Kebijakan dan sikap gereja juga harus terintegrasi dengan hukum positif negara.