Soal Ekspor Pasir Laut, Daerah Minta KKP Jamin Kelestarian Laut
Dalam pemanfaatan sedimentasi pasir laut, pemerintah dan warga di Kepulauan Riau meminta agar kelestarian pesisir diutamakan. Kerusakan ekosistem akibat ekspor pasir laut pada 20 tahun lalu harus jadi pertimbangan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Pemerintah dan warga di Kepulauan Riau meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan menjamin pengerukan sedimentasi laut tidak akan merusak lingkungan pesisir. Pembukaan keran ekspor pasir laut harus disertai sistem perizinan yang ketat dan pemantauan hukum yang kuat.
Pada 15 Mei 2023, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Lewat regulasi ini, pemerintah kembali mengizinkan ekspor pasir laut yang sebelumnya dilarang pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Anggota Komisi II DPRD Kepri, Onward Siahaan, Jumat (9/6/2023), mengatakan, pemanfaatan sumber daya laut harus berkontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir. Nelayan tidak boleh dirugikan akibat kebijakan pemerintah untuk membuka kembali ekspor pasir laut.
”Penambangan pasir laut, atau bila menggunakan istilah pemerintah disebut pembersihan sedimentasi laut, harus dilakukan secara selektif. Pemerintah harus memastikan jangan sampai karena tambang, nelayan jadi kehilangan mata pencarian, dan jangan sampai karena tambang, pulau-pulau kecil jadi abrasi,” kata Onward saat dihubungi.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri Said Sudrajat, keluarnya PP No 26/2023 memancing reaksi yang beragam dari warga. Sebagian ada yang menganggap itu adalah peluang bagi daerah untuk menambah pendapatan, tetapi sebagian merasa khawatir karena berkaca terhadap dampak buruk tambang pasir laut pada 20 tahun lalu.
”Yang paling khawatir adalah pelaku usaha perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Oleh karena itu, kami mohon agar dibuat peraturan turunan untuk menjamin supaya nantinya sarana yang digunakan (untuk mengambil pasir) benar-benar ramah lingkungan,” ujar Said dalam Forum Grup Diskusi (FGD) tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diadakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Batam pada 8 Juni lalu.
Sebelumnya, sejumlah nelayan di Kota Batam dan Kabupaten Karimun, Kepri, menyatakan khawatir tambang pasir laut akan menyebabkan laut tercemar dan pulau-pulau kecil abrasi. Hal itu terjadi sebelum ekspor pasir laut dimoratorium pada 2002.
Guru Besar Bidang Pemodelan Hidrodinamika dan Morfologi Pantai Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Suntoyo menilai, ramainya pro dan kontra terkait ekspor pasir sedimentasi laut seharusnya mendorong pemerintah untuk melakukan pendekatan yang komprehensif dan multidimensi.
”Perlu dipastikan bahwa peraturan (tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut) jelas dapat ditegakkan dan selaras dengan peraturan nasional maupun internasional. Selain itu, harus ada persyaratan perizinan yang ketat, mekanisme pemantauan yang kuat, dan juga hukuman yang tegas bagi yang melanggar,” kata Suntoyo.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo mengatakan, semua saran dari FGD tersebut akan dijadikan masukan dalam peraturan Menteri KKP yang akan dibuat. Ia juga menegaskan, PP No 26/2023 mengatur tentang pembersihan sedimentasi laut, bukan penambangan pasir laut.
”Yang akan diambil itu sedimentasi laut, artinya bisa ada pasir, bisa ada lumpur, dan bisa ada apa saja,” ucapnya.
Secara terpisah, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin menilai, penggunaan istilah sedimentasi laut adalah permainan bahasa. Menurut dia, sudah pasti pemerintah menarget pasir laut untuk memenuhi kebutuhan reklamasi, baik di dalam maupun di luar negeri.
Perlu dipastikan bahwa peraturan (tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut) jelas dapat ditegakkan dan selaras dengan peraturan nasional maupun internasional. Selain itu, harus ada persyaratan perizinan yang ketat, mekanisme pemantauan yang kuat, dan juga hukuman yang tegas bagi yang melanggar. (Suntoyo)
Kajian Walhi terhadap dokumen rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) 28 provinsi menunjukkan, hingga 2040 akan ada 3,5 juta hektar lahan yang direklamasi di Indonesia. Menurut Parid, PP No 26/2023 dibuat untuk melegalkan penambangan pasir laut di mana-mana.
”Soal ekspor pasir laut, yang paling diuntungkan adalah Singapura dan China. Singapura sedang memperluas pelabuhan dan China sedang membuat pulau-pulau buatan,” kata Parid dalam diskusi tentang Polemik Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut PP No 26/2023 yang diselenggarakan Direktorat Kajian Strategis dan Reputasi Akademik IPB University.