Strategi Tak Jelas, KEK Bitung dan Likupang Telantar
Pemerintah daerah dan badan usaha terkait di Sulawesi Utara dianggap tak memiliki kehendak politik dan kemampuan manajerial untuk mengelola KEK Likupang dan Bitung.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah daerah dan badan usaha terkait di Sulawesi Utara dianggap tak memiliki kehendak politik dan kemampuan manajerial yang memadai untuk mengelola Kawasan Ekonomi Khusus Bitung dan Likupang. Pemerintah pusat memberi waktu setahun untuk menyempurnakan strategi pengembangan atau kedua kawasan akan ditutup.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sam Ratulangi, Magdalena Wullur, mengatakan, beberapa masalah merundung pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK). Di Bitung, misalnya, ada masalah pembebasan lahan dan kekurangan anggaran. Badan usaha pembangunan dan pengelola (BUPP) KEK juga tak serius bekerja.
”Di Bitung itu, kan, sebenarnya inisiasi pemerintah provinsi. Kalau mereka membebankan sepenuhnya ke Pemkot Bitung, itu tidak tepat karena KEK itu pengembangannya (kelak) sampai Minahasa Utara. Harus ada share dari pemprov, komitmen untuk menyelesaikan masalah ini,” katanya, Kamis (8/6/2023), ketika dihubungi via telepon dari Manado.
KEK Bitung, yang dibangun untuk industri pengolahan kelapa, perikanan, dan logistik, dikelola oleh PT Membangun Sulut Hebat (MSH). Badan usaha milik daerah (BUMD) itu dibangun pada 2017 dengan modal dasar Rp 100 miliar. Sebanyak Rp 25 miliar adalah penyertaan modal dari pemprov, sisanya berupa tanah di wilayah KEK sekitar 92,79 hektar.
Enam tahun berlalu, PT MSH baru menguasai 108,05 hektar dari total luas KEK sebesar 534 hektar yang telah ditentukan. Dari target investasi Rp 32,89 triliun yang ditargetkan untuk 2025, baru Rp 1,09 triliun dari delapan pelaku usaha. Jumlah tenaga kerja yang terserap baru 269 orang dari target ambisius 34.710 orang.
“Anggaran habis hanya di meeting dan untuk gaji. Lalu penyertaan modal itu, uangnya ke mana? Intinya cuma satu, tidak ada keseriusan dari semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini,” kata Magdalena yang pernah mengetuai tim kajian KEK Bitung pada awal pendiriannya, juga Jalan Tol Manado-Bitung sebagai infrastruktur pendukungnya.
Menurut kajian Dewan Nasional KEK, PT MSH memiliki keterbatasan modal sehingga tata kelola KEK belum berjalan. Di samping itu, lahan Pemprov Sulut di wilayah KEK belum semuanya diserahkan kepada PT MSH selaku BUPP.
Pada saat yang sama, KEK Pariwisata Likupang yang merupakan satu dari lima destinasi pariwisata superprioritas juga belum jelas arah pengembangannya. Dari target investasi Rp 5 triliun pada 2040, yang terealisasi baru Rp 366,4 miliar dari dua perusahaan. Serapan tenaga kerja juga hanya 313 dari target 33.262 orang.
Bedanya dengan KEK Bitung, tidak ada masalah lahan di KEK Likupang. Lahan telah dimiliki oleh BUPP bernama PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD) yang adalah perusahaan swasta. Namun, Dewan Nasional KEK mencatat, BUPP tak memiliki rencana kerja pengembangan jangka panjang dan sumber pembiayaan yang jelas.
Anggaran habis hanya di meeting dan untuk gaji. Lalu penyertaan modal itu, uangnya ke mana? Intinya cuma satu, tidak ada keseriusan dari semua pihak untuk menyelesaikan masalah ini (Magdalena Wullur)
Menurut Magdalena, PT MPRD selaku BUPP perlu lebih proaktif dalam menggaet investor. Sebab, pemerintah pusat telah membangun beragam infrastruktur pendukung, seperti jalan sepanjang 62,47 kilometer dan jembatan 317,4 meter. Sebanyak 263 unit rumah juga direhabilitasi untuk dijadikan tempat usaha masyarakat, seperti penginapan.
“Tapi, adalah tugas pemerintah untuk membuat rencana induk pengembangan pariwisata. Itu sampai sekarang masih dalam pembahasan,” kata dia.
Kendati begitu, jika pemerintah tidak memperbaiki kinerja saat ini, ia yakin tahun depan kedua KEK tersebut akan dicabut statusnya, bahkan ditutup. “Kalau terancam ditutup, itu sudah jelas. Komitmennya tidak ada. Tidak make sense (masuk akal) juga untuk kita mempertahankan sesuatu yang susah,”ujarnya menambahkan.
Soal ini, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kemenko Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, pencabutan status KEK adalah opsi yang sangat terbuka. Bersama Dewan Nasional KEK, pihaknya terus melakukan evaluasi setiap enam dan 12 bulan.
Kesempatan evaluasi
Setahun ke depan pun menjadi kesempatan terakhir untuk evaluasi. “Kalau proyeknya enggak feasible, memang tidak bisa lanjut, ya bisa saja (ditutup). Evaluasi ini adalah bagian dari kita melihat, ini strateginya apa sih (untuk pengembangan),” kata dia.
Namun, ia menegaskan, tak tertutup kemungkinan kedua KEK itu berubah status. Misalnya, KEK Bitung bisa menjadi kawasan industri. Perbedaannya terletak pada insentif bagi investor, misalnya ada tidaknya cuti pajak (tax holiday), pengurangan pajak (tax allowance), cukai, dan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22.
“Jangan-jangan bukan itu (KEK) yang cocok untuk pengembangan wilayah dan kawasan. Jadi bisa mengambil bentuk yang lain,” ujarnya.
Sementara itu, Duta Besar RI untuk Jepang dan Federasi Mikronesia Heri Akhmadi mengkritik kurangnya promosi serta sulitnya akses bagi wisatawan untuk berlibur ke Likupang. Saat ini, memang sudah ada penerbangan yang menghubungkan Tokyo, Manado, dan Bali, tetapi pemprov mengeluarkan biaya subsidi yang besar jika kuota keterisian penumpang tak terpenuhi.
“Saya naik (maskapai) Garuda langsung dari Jepang, tapi yang turun di Manado cuma lima. Empat rombongan saya, satu lagi petugas imigrasi. Likupang ini tidak jelas detail promosinya. Dia juga tidak mungkin dijual sendiri, harus ada tiket terusan sehingga wisatawan bisa ke daerah lain seperti Bali dengan tiket yang sama,” kata dia.
Di samping itu, ia juga mengkritisi ketiadaan jalur ekspor langsung dari Pelabuhan Bitung ke Jepang, sehingga investor dari Jepang tidak tertarik masuk. “Di Bitung itu pelabuhannya masih tipe B. Ke depan katanya statusnya akan ditingkatkan jadi A. Ini ke depan harus diiringi kerja sama dengan daerah lain untuk tingkatkan muatan,” ujarnya.
Untuk meningkatkan investasi asing, terutama dari Jepang yang secara geografis dekat dari wilayah Asia Timur, Bank Indonesia (BI) juga akan berkontribusi dalam kemudahan transaksi. Kepala Kantor Perwakilan (KPw) BI Sulawesi Selatan yang mengetuai forum KPw Sulawesi, Maluku, dan Papua, Causa Iman Karana, menyebut sistem ini sebagai local currency settlement (LCS).
“Salah satu kewenangan kami adalah dalam sistem pembayaran. Dengan LCS, transaksi bisa dilakukan dengan currency (mata uang) setempat. Misalnya dengan Jepang, transaksi bisa pakai Yen maupun Rupiah. Tidak lagi pakai hard currency (mata uang untuk transaksi internasional seperti dollar AS) yang tentu memakai biaya tambahan,” kata dia.