Peternak Babi Sulut Minta Pemerintah Sediakan Anggaran bagi Personel Pencegah ASF
Asosiasi Peternak Babi Sulawesi Utara mendesak agar pemerintah menyediakan anggaran pencegahan ASF, terutama dengan mencegah masuknya babi dari daerah wabah. Ini untuk melindungi industri senilai Rp 2 triliun per tahun.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Asosiasi Peternak Babi Sulawesi Utara mendesak pemerintah agar menyediakan anggaran pencegahan virus demam babi afrika atau ASF, terutama untuk mencegah masuknya babi dari daerah wabah. Jika hal itu tak dilakukan, pengusaha khawatir bisnis terkait peternakan babi yang bernilai Rp 2 triliun setahun itu akan terhenti.
Tuntutan ini dicetuskan ketua asosiasi tersebut, Gilbert Wantalangi, dalam rapat dengar pendapat di Kantor DPRD Sulut di Manado, Senin (5/6/2023). ”Perjuangan kami menghindarkan Sulut dari ASF itu sudah dari dulu, sejak 2020, tapi anggaran tidak pernah ada,” katanya.
Keluhan Gilbert ini terkait dengan ketiadaan anggaran untuk menugaskan tim gabungan pemeriksa muatan daging babi di perbatasan antara Sulut dan Gorontalo, tepatnya di Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Utara, selama 24 jam. Untuk sementara, hanya kepolisian yang ditugaskan.
Akibatnya, beberapa truk bermuatan babi yang diduga sakit lolos. Terakhir, sejumlah bangkai babi ditemukan di daerah yang disebut Gunung Potong di Desa Pangu, Ratahan Timur, Minahasa Tenggara, pada Minggu (4/6/2023). Warga menduga, babi-babi tersebut mati akibat virus ASF.
Menurut Gilbert, informasi ini sebenarnya telah didapat dari jaringan komunikasi sesama peternak babi di Sulut, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Diduga babi-babi itu berasal dari empat mobil yang lolos pada malam hari. Namun, babi akhirnya dibuang begitu saja karena sudah dalam keadaan sakit dan kemudian mati.
”Informasi ada babi dari daerah mana, kapan datangnya, jam berapa, lewat mana, itu kami ketahui. Informasi itu ada, tetapi pemerintah enggak pernah ngapa-ngapain. Apa kami para peternak harus ikutan jaga?” keluh Gilbert.
Tanpa penjagaan yang ketat di perbatasan, menurut Gilbert, industri peternakan babi di Sulut dengan perputaran uang senilai Rp 2 triliun setiap tahun dapat terganggu. Tak mengherankan, sebab menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Sulut merupakan daerah produsen daging babi terbesar kedua se-Indonesia setelah Bali.
Pada 2022, populasi babi ternak di Sulut mencapai 402.907 ekor, meningkat dari 387.495 ekor tahun sebelumnya. Produksi daging babi pun meningkat selama periode tersebut, dari 23.974,72 ton pada 2021 menjadi 27.197,17 ton pada 2022.
Daan Kairupan, Sekretaris Asosiasi Peternak Babi Sulut, juga mengeluhkan ketidaktanggapan pemerintah dalam hal penganggaran. Hal itu akhirnya berpengaruh pada harga daging babi. Ia mencontohkan, di Minahasa Selatan, ada daging babi yang dijual Rp 100.000 per 3 kilogram.
Masyarakat pun curiga daging babi tersebut terkontaminasi ASF sehingga mereka takut membeli daging yang sebenarnya jadi makanan sehari-hari warga Minahasa yang beragama Kristen tersebut. Keadaan ini akhirnya berakibat pada penurunan harga daging babi lokal dari Rp 40.000 menjadi Rp 28.000 per kilogram.
Ia pun khawatir virus akan mencapai daerah dengan peternakan babi yang besar, seperti Sonder di Kabupaten Minahasa serta Kota Tomohon. ”Di Sonder, 80 persen warga peternak babi. Belum lagi (sektor) lain-lain yang tergantung pada peternakan babi, seperti petani jagung. Ada 105.000 ton jagung setiap tahun yang terserap,” katanya.
Meski demikian, Kepala Dinas Peternakan menyatakan, belum ada sama sekali kasus ASF di Sulut sejak 2020. Beberapaa sampel tubuh babi ternak yang diduga sakit telah dikirim ke Balai Besar Veteriner Maros. ”Kami dasarnya pakai uji klinis laboratorium yang berwenang. Walau sudah ada di wilayah perbatasan tetangga kita, di Sulut sampai hari ini masih zero,” katanya.
Untuk itu, kata Nova, pihaknya terus menggencarkan desinfeksi kandang di kalangan peternak-peternak babi dan rumah potong hewan. Sosialisasi tentang penularan juga diteruskan demi menjaga kondisi ini, misalnya dengan melarang peternak mempersilakan calon pembeli masuk ke kandang, serta tak sembarangan memberi makan ternak.
Namun, Nova mengakui, saat ini pemerintah masih kesulitan menangkal risiko datangnya babi hidup atau daging babi yang terkontaminasi. Ditengarai, sopir yang ditahan di pintu masuk Bolaang Mongondow Utara akan berputar ke Bolaang Mongondow Selatan. Kendaraan pembawa bangkai-bangkai babi yang dibuang di Minahasa Tenggara ditengarai masuk lewat jalur tikus di Bolaang Mongondow Selatan.
Saat ini pemerintah masih kesulitan menangkal risiko datangnya babi hidup atau daging babi yang terkontaminasi.
Sebagai langkah pencegahan, Pemprov Sulut telah meminta vaksin ASF buatan Vietnam dari Kementerian Peternakan. ”Tapi, sampai sekarang belum ada izin edar dari kementerian. Jadi kami akan lakukan distribusi stok desinfektan yang tersisa dari penanganan PMK (penyakit mulut dan kuku),” kata Nova.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulut Komisaris Besar Stefanus Michael Tamuntuan mengatakan, kepolisian siap mengawal kebijakan pemerintah. Namun, ia meminta kajian serta petunjuk teknis penanganan daging babi dari daerah wabah.
”Kalau ada edaran atau instruksi dari pemerintah, itu kami akan dukung. Kami akan mem-back up, tapi kami butuh petugas-petugas dari dinas peternakan setempat dan Karantina Pertanian Manado supaya kami tahu mana yang disetop, mana yang dipulangkan, disita, dan sebagainya,” katanya.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Resor Bolaang Mongondow Utara Ajun Komisaris Besar Aris Aminullah mengatakan, delapan polisi telah ditempatkan di pos perbatasan. Namun, pemerintah daerah harus melengkapi dengan menempatkan personel di sana karena tak semua petugas paham soal cara penyebaran ASF.