Sukacita Perayaan Waisak Buddha Tamil, Simbol Multietnis Nusantara
Perayaan Waisak oleh umat Buddha dari etnis Tamil di Medan mengukuhkan keberagaman dan toleransi di Tanah Air. Etnis Tamil yang datang sebagai pekerja kebun tembakau sudah ratusan tahun hidup rukun di Kota Medan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Perayaan Waisak oleh umat Buddha dari etnis Tamil di Medan, Sumatera Utara, mengukuhkan keberagaman dan toleransi di Tanah Air. Sejak ratusan tahun silam, etnis Tamil yang datang sebagai pekerja di kebun tembakau Deli hidup dan menetap di Kota Medan. Umat Buddha Tamil juga menunjukkan Medan menjadi kota kosmopolitan sejak ratusan tahun lalu.
Umat Buddha Tamil sejak pagi berdatangan ke Vihara Bodhi Gaya di Jalan Karya Sejati, Medan Polonia, Minggu (4/6/2023). Para perempuan memakai helaian kain sari khas India lengkap dengan gelang, kalung, anting, dan muketi (anting hidung). Tidak ketinggalan, kaum pria juga datang berias pakaian khas India dengan kemeja panjang menutupi lutut.
Upacara perayaan Waisak dimulai dengan menaikkan bendera Merah Putih lalu diikuti Panji Buddha di sampingnya. Kebaktian Waisak lalu dilaksanakan dengan penuh hikmat. Umat Buddha menyalakan dupa dan menyanyikan lagu pujian dengan bahasa Tamil bercampur bahasa Pali.
Beberapa saat kemudian, penceramah dari suku Tionghoa, Prajna Nanda, masuk ke Vihara Bodhi Gaya memimpin acara Dhammadesana, yakni penyampaian ceramah, dengan bahasa Indonesia.
Setelah kebaktian Waisak selesai, umat melanjutkan acara dengan ritual memandikan Rupang (Patung) Buddha di depan vihara. Ritual itu baru pertama kali dilaksanakan di Vihara Bodhi Gaya sehingga Prajna mengajarkan tahapan ritual yang harus dilakukan. Umat Buddha lalu berbaris bergantian memandikan Rupang Buddha sambil memanjatkan doa.
Perjalanan umat Buddha dari etnis Tamil sudah cukup panjang di Indonesia, secara khusus di Medan. Mereka didatangkan dari Negara Bagian Tamil Nadu untuk bekerja di perkebunan tembakau Deli pada tahun 1800-an.
”Ribuan warga Tamil didatangkan Pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja di kebun Tembakau. Saya generasi ketiga dari kakek saya yang didatangkan dari India,” kata Baskaran (56), pengurus Vihara Bodhi Gaya.
Baskaran menuturkan, kehidupan etnis Tamil di negara asalnya ketika itu sangat miskin dan susah. Karena itu, mereka merantau ke negeri lain untuk mencari penghidupan.
Mereka berlayar selama berbulan-bulan dengan kapal uap. Warga Tamil di Medan, kata Baskaran, ada yang didatangkan langsung dari India, ada juga yang didatangkan melalui Malaysia. Ketika itu, Inggris yang menduduki Malaysia juga sudah mendatangkan etnis Tamil untuk bekerja di perkebunan di Malaysia.
Sesampainya di Medan, para pekerja dari etnis Tamil langsung ditempatkan di sejumlah kebun tembakau di Tanah Deli yang terdiri dari Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Langkat. Para pekerja etnis Tamil sebagian besar ditempatkan di Kebun Brahrang dan Tanjung Jati di Kabupaten Langkat, dan sejumlah kebun di Serdang Bedagai.
Ketika itu, pembukaan perkebunan tembakau secara besar-besaran membutuhkan banyak sekali pekerja. Pekerja dari etnis Tamil didatangkan bersama pekerja lain dari Jawa yang saat ini juga sudah menyebar di Medan dan sekitarnya sebagai Jawa Deli.
Menyebar
Seiring berjalannya waktu, ribuan warga Tamil tetap bertahan bekerja di kebun tembakau dan sebagian pindah ke Medan sebagai pekerja di sejumlah usaha dagang. Namun, ada juga ribuan lainnya yang memilih pulang ke kampung halaman di India.
Etnis Tamil yang pindah ke Medan bermukim di sejumlah tempat seperti Kampung Keling (belakangan disebut Kampung Madras), Jalan Dr Cipto, dan Jalan Karya Sejati. Di Jalan Dr Cipto dulu ada semacam bangsal tempat tinggal etnis Tamil. Daerah itu kini sudah menjadi perumahan mewah.
Belanda memberikan tanah seluas sekitar 10 hektar sebagai tempat tinggal etnis Tamil di jantung kota Medan di Kampung Madras, Jalan KH Zainul Arifin. Jalan itu awalnya bernama Jalan Calcutta, salah satu nama pelabuhan di India. Di Jalan KH Zainul Arifin kini dipasang dua gapura besar bertuliskan ”Welcome to Little India”.
Awal datang ke Medan, kata Baskaran, hampir semua etnis Tamil beragama Hindu. Sebagian lalu menjadi Buddha setelah bekerja di usaha dagang etnis Tionghoa yang menganut Buddha. Buddha Tamil lalu terus berkembang.
”Saat ini Buddha Tamil mempunyai enam vihara di Medan dan satu di Deli Serdang dengan jumlah umat sekitar 5.000 orang,” kata Baskaran.
Vihara Buddha Tamil juga sudah ada di Medan sejak puluhan tahun lalu. Vihara pertama yang mereka bangun adalah Vihara Ashoka pada tahun 1950. Setelah itu, beberapa vihara lain dibangun. Vihara Bodhi Gaya dibangun pada 1973 atau sekitar 50 tahun lalu.
Etnis Tamil juga menyebar di sejumlah negara, seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Namun, menurut Baskaran, etnis Tamil yang menganut Buddha hanya ada di Medan dan sekitarnya.
Sugunadhas (73), salah seorang pendiri Vihara Bodhi Gaya, mengatakan, umat Buddha Tamil mengumpulkan uang secara swadaya untuk membangun vihara itu. ”Kami sepuluh orang menggagas pendirian vihara ini. Semua sudah meninggal, hanya saya yang masih hidup,” kata Sugunadhas.
Sugunadhas menyebut, mereka beruntung tinggal di Medan yang sudah menjadi kota kosmopolitan sejak berabad-abad lalu. Medan tidak hanya ditinggali suku dari berbagai daerah di Nusantara, tetapi juga etnis dari berbagai negara di belahan dunia. Dari India saja, ada etnis Tamil dan Sikh. Medan juga ditempati sejumlah etnis dari Tionghoa dan Arab.
”Medan merupakan kota yang sangat terbuka dan bersahabat dengan para pendatang sejak ratusan tahun lalu. Kami memilih menetap di Medan karena kami diterima dengan sangat baik,” kata Sugunadhas.
Ramini (59) datang ke vihara dengan penuh sukacita. Dia mengenakan sari berwarna kuning dan merah lengkap dengan perhiasan gelang, kalung, anting, dan muketi. ”Kain sari ini selalu saya pakai setiap datang ke vihara. Ini saya beli langsung di Malaysia ketika bekerja di sana,” kata Ramini.
Ramini menyebut, mereka tetap melaksanakan adat istiadat meskipun sudah merantau ke negeri jauh. Namun, berbagai kebudayaan itu sudah dipengaruhi dan menyesuaikan kebudayaan lokal di Tanah Air. Hal itu juga tergambar dari berbagai kuliner yang disajikan di vihara. ”Salah satu yang kami rindukan setiap Waisak adalah makanan tradisional yang disajikan,” kata Ramini.
Setelah selesai menjalani ritual Memandikan Rupang, umat memasuki aula untuk menyantap sarapan pagi yang sudah disediakan. Aroma berbagai jenis rempah menyeruak dari ruangan itu. Dua makanan utama disajikan, yakni lontong dan capati. ”Semua makanan di vihara ini menu vegetarian,” kata Ramini.
Kuliner pada hari Waisak itu juga menunjukkan perpaduan makanan tradisional Tamil dengan Nusantara. Lontong yang merupakan makanan khas Nusantara dimasak dengan berbagai rempah India yang khas. Tidak ketinggalan rasa pedas ala Medan juga menyelinap di masakan itu.
Setelah menyantap lontong, umat lalu memakan roti chapati dengan tambahan kuah kental dari bahan dasar kentang. Tidak ketinggalan susu segar, teh, dan kopi juga dihidangkan dalam acara itu.
Anak-anak lalu berbaur dalam penuh sukacita menampilkan berbagai tarian India, seperti tarian Bartenatiyem dan Jai-Jai Shivshankar. Umat Buddha Tamil larut dalam sukacita Tri Suci Waisak di kota kosmopolitan Medan….