Dalam peringatan Waisak, komunitas Kadamcholing Indonesia menghadirkan tradisi Nusantara. Waisak juga menjadi pengingat untuk terus praktik kebaikan untuk semua makhluk.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
”Ahayu dahat yan sarwa prani, mungguh ring upeksa, tan keneng tresna dwesa ring doh aparek, astu mungguha, mungguh ya dengku, Pukulun Hyang Guru Istadewata, ngulun paminta sihnira ring kasidan ika warahen adistananta. (Alangkah baiknya jika semua makhluk dapat menetap dalam keseimbangan batin, bebas dari kemelekatan dan kebencian. Semoga mereka dapat menetap dalam kondisi tersebut dan saya akan membuat mereka menetap dalam kondisi tersebut. Wahai Guru Istadewata, saya memohon berkah agar dapat melaksanakannya).”
Ditingkahi alunan gamelan selonding, doa untuk kebaikan semua makhluk yang disebut ”Empat Kemuliaan Tanpa Batas” dilantunkan sebagai bagian dari peringatan Trisuci Waisak umat Buddha yang tergabung dalam komunitas Kadamcholing Indonesia. Doa ini dilantunkan dalam bahasa Kawi.
Puja Waisak 2023/2567 Buddha Era, Minggu (4/6/2023), di Prasadha Jinnarakhita, Kembangan, Jakarta Barat, bernuansa berbeda. Puji-pujian maupun doa dilantunkan dalam bahasa Kawi, bahasa yang digunakan dalam sastra Nusantara di masa lalu.
Puja tersebut secara keseluruhan disebut Enam Praktik Pendahuluan dan dipimpin YM Bhiksu Guna Sagara. Ratusan umat Buddha asal Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mengikuti puja tersebut dengan khusyuk.
Enam Praktik Pendahuluan, menurut YM Guna Sagara, awalnya dianugerahkan Guru Dharmakirti kepada Guru asal India, Atisha, yang datang ke Suwarnadwipa, nama Sumatera di masa lalu. Atisha kemudian kembali ke India dan melanjutkan mengajar ke Tibet. Dari teks-teks Tibet inilah tercatat bahwa pelajaran ini diwariskan Guru Dharmakirti yang dalam istilah Tibet disebut Guru Serlingpa.
Dengan puja dalam bahasa Kawi dengan iringan gamelan selonding ini, umat Buddha diakrabkan kembali dengan tradisi-tradisi yang asal Indonesia.
Di Indonesia, menurut YM Guna Sagara, tradisi dari Enam Praktik Pendahuluan sebenarnya masih terlihat, salah satunya di Bali. Ketika akan bersembahyang, orang akan membersihkan ruangan dan membersihkan semua peralatan.
”Semua barang yang digunakan harus (dalam keadaan) sukla suci dan bersih. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun persembahan dengan baik. Ini tradisi yang berlanjut,” tuturnya.
Tradisi Nusantara menjadi salah satu yang dirayakan dalam peringatan Waisak komunitas ini. Gamelan selonding, misalnya, dikenal di masa Jawa kuno dengan istilah selunding. Dalam tradisi Bali, menurut YM Guna Sagara, gamelan selonding bahkan hanya dimainkan di upacara-upacara tertentu dan sangat sakral.
Dengan puja dalam bahasa Kawi dengan iringan gamelan selonding ini, umat Buddha diakrabkan kembali dengan tradisi-tradisi yang asal Indonesia.
Penggunaan bahasa Kawi dalam puja menjadi pengalaman menarik untuk umat Buddha. Willy (25), salah satu umat Buddha yang hadir, mengakui selama ini belum pernah mengenal bahasa Kawi, bahkan langsung mencoba melantunkan doa dalam bahasa Kawi. ”Menarik, baru kali ini (puja dalam bahasa Kawi) dan diiringi gamelan yang pelan. Fresh,” ujarnya.
Richard (25), umat lainnya, juga terkesan dengan banyaknya alat musik yang digunakan dalam puja. ”Saya baru lihat banyak alat musik dalam acara keagamaan Buddhis, biasanya kan hanya satu alat musik. Lebih seru lagi karena saya baru pertama kali baca doa Buddhis pakai bahasa Jawa kuno (Kawi). Pengalaman baru, apalagi ada gamelan selonding. Seru sih overall,” tuturnya.
Sementara itu, Evelin (45) juga gembira berpartisipasi mempersembahkan gamelan selonding di hari Waisak. ”Jarang bisa mengikuti ini, turut senang,” ujarnya.
Trisuci
Waisak adalah peringatan penting bagi umat Buddha. Di hari ini terjadi tiga peristiwa penting dalam kehidupan Buddha Sakyamuni, yaitu kelahiran Siddharta Gautama, pencerahan sempurna Pertapa Siddharta, dan wafatnya (parinibbana) Buddha Gautama. Tiga peristiwa tersebut jatuh saat bulan purnama di bulan Waisaka. Karena memperingati tiga peristiwa, hari raya ini disebut Trisuci Waisak.
Dalam khotbah yang disampaikan secara daring pada acara tersebut, Guru Dagpo Rinpoche, seorang guru Buddhis asal Tibet, mengingatkan Waisak adalah peringatan Buddhis yang terpenting. Karena itu, semestinya peringatan dilanjurkan dengan mempraktikkan ajaran Buddha sebaik mungkin.
”Menjalankan sila atau membaca mantra belum tentu praktik Dharma yang sesungguhnya. Yang paling penting adalah motivasinya tidak tercemar kepentingan diri sendiri, seperti perolehan harta,” tuturnya.
Dijelaskan pula motivasi berawal dari kesadaran bahwa kita dan semua makhluk sesungguhnya sama-sama tidak ingin menderita dan ingin mendapatkan kebahagiaan. Untuk membantu semua makhluk lepas dari penderitaan dan mencapai kebahagiaan ini, praktik kebajikan tanpa batas diperlukan.
YM Guna Sagara menambahkan, dengan motivasi bajik, seseorang mentransformasi kegiatan sehari-hari menjadi praktik Dharma. Karena itu, hal tersebut dikerjakan komunitas Kadamcholing Indonesia dengan puja Waisak 2023 yang dilanjutkan dengan membagikan sembako berupa beras, gula, minyak goreng, dan sorgum kepada masyarakat dengan ekonomi terbatas.
Kegiatan ini dikemas dalam tajuk ”Kenduri”. Sekitar 1.600 paket sembako dibagikan dan menjadi penutup peringatan Waisak.