Jabres, ”Raja Kaya" Andalan Rakyat Brebes Selatan
Pengembangan sapi lokal terus dilakukan untuk meningkatkan populasi sapi berkualitas sekaligus mempertahankan eksistensi sapi lokal. Di Brebes, Jateng, sapi Jawa Brebes atau jabres dimuliakan oleh peternak.
Sapi jabres atau Jawa Brebes menjadi salah satu hewan ternak yang dimuliakan oleh peternak rakyat di wilayah bagian selatan Brebes, Jawa Tengah. Dengan segala kelebihannya, sapi Jabres yang merupakan persilangan antara sapi madura atau sapi bali dengan sapi lokal atau ongole itu bisa mengungkit perekonomian para peternak. Berbagai pihak akan terus berupaya menjaga eksistensi ”raja kaya” kebanggaan Brebes tersebut.
Sapi jabres umumnya berwarna coklat, seperti bunga durian. Kendati demikian, ada juga sapi jabres yang berwarna coklat kehitaman, hitam, coklat keputihan, dan putih. Badan sapi Jabres biasanya ramping, padat, dan tidak berpunuk.
Sapi jabres memiliki ciri khas seperti bercak putih pada dahi, pantat, dan kaki belakang. Selain itu, sapi jabres mempunyai garis belut atau garis hitam mengilat menyerupai belut mulai dari punggung sampai ekor.
Berdasarkan catatan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Brebes, populasi sapi jabres saat ini sekitar 23.000 ekor. Adapun jumlah keseluruhan populasi sapi di wilayah itu sekitar 26.000 ekor.
Jumlah sapi jabres saat ini jauh berkurang dibandingkan jumlah sapi jabres pada tahun 2020. Kala itu, dari total populasi sapi di Brebes sejumlah 28.000 ekor, sebanyak 26.000 ekor di antaranya merupakan sapi jabres.
Penurunan pupulasi sapi di Brebes terjadi karena beberapa sapi mati saat wabah penyakit mulut dan kuku serta lumpy skin disease (LSD) menyerang. Selain itu, sebagian besar sapi jabres juga dijual saat pandemi Covid-19 untuk mencukupi kebutuhan pemiliknya.
Sapi jabres dikembangkan sejak ribuan tahun lalu di wilayah di Brebes bagian selatan, yakni di Kecamatan Bantarkawung. Kini, sapi jabres menyebar di sekitar Bantarkawung, seperti Kecamatan Bumiayu, Ketanggungan, Banjarharjo, dan Larangan.
Dari puluhan ribu sapi jabres yang ada di Brebes, populasi terbanyak terdapat di Desa Kebandungan, Bantarkawung. Saat ini, di desa itu ada 956 sapi jabres yang merupakan sapi milik 94 peternak. Salah satu peternak sapi jabres di Kebandungan adalah Tardi (57).
Baca juga: Mengunjungi Dua Dusun Terpencil di Brebes Penghasil Sapi Jabres
Tardi sudah empat tahun terakhir memelihara sapi jabres bersama istrinya, Endang (51). Awalnya, pasangan itu hanya memiliki tiga sapi jabres betina. Kini, jumlah sapi mereka mencapai 12 ekor. Semua itu karena ketekunan Tardi dan Endang dalam merawat sapi-sapinya.
Setiap pagi dan sore, Tardi dan Endang rajin membersihkan kadang sapinya supaya sapi-sapi itu bisa beraktivitas di kandang dengan nyaman. ”Raja kaya” itu diperlakukan bak anak oleh mereka berdua. Sapi-sapi tersebut kerap dielus oleh Tardi dan Endang sebagai bentuk kasih sayang. Namun, jika sedang berulah, sapi-sapi itu juga kena omel.
”Kalau sedang berdoa, saya tidak pernah lupa mendoakan sapi-sapi saya supaya sehat terus. Kalau sapi-sapi itu sedang sakit, saya khawatir. Rasa cemasnya itu sama dengan saat melihat anak-anak saya sakit,” kata Endang saat ditemui di Kebandungan, Rabu (31/5/2023).
Tardi dan Endang memberi nama pada setiap sapi yang mereka pelihara. Namanya, antara lain Rangga, Atin, Bagja, Rebo, Colat, Paing, Lola, Wage, Wasjuki, Manis, Pon, dan Bintang. ”Tidak ada arti khusus di balik nama-nama itu. Saya dan istri pingin saja kasih mereka nama, ya seperti kami kasih nama anak-anak kamilah,” ujar Tardi.
Bertahun-tahun melakoni usaha ternak sapi jabres masih membuat Tardi dan Endang sering kali berat hati saat harus melepas sapi-sapinya untuk dijual. Di satu sisi mereka senang karena usaha mereka terbayar dengan lakunya sapi tersebut. Di sisi lain, mereka sedih karena harus berpisah dengan sapi-sapi yang sudah dianggap sebagai anak-anak mereka.
Dalam beberapa hari ke depan, Tardi dan Endang harus melepas salah satu sapi mereka, yakni Atin. Sapi Jabres berusia 4 tahun dengan berat sekitar 300 kilogram itu laku terjual dengan harga Rp 21 juta.
Menguntungkan
Sapi jabres memiliki sejumlah keunggulan, salah satu di antaranya sapi itu bisa digembalakan. Saat digembalakan di ladang atau hutan, dari pagi sampai sore, sapi-sapi itu akan mencari rumput dan makan. Pada sore hari, saat sudah kenyang, sapi-sapi itu digiring kembali ke kandangnya. Kondisi itu menguntungkan peternak karena mereka tidak perlu repot-repot mencarikan pakan.
”Sapi jabres itu makanannya tidak pilih-pilih, rumput yang sudah tidak segar saja mereka mau makan. Kalau sapi-sapi yang biasanyakan tidak mau kalau rumputnya tidak hijau segar,” ujar Carip (61), peternak sapi Jabres dari Desa Kebandungan.
Sembari mengembala sapi, peternak bisa leluasa melakukan aktivitas lain, misalnya berladang. ”Sangat efektif, dua pekerjaan beres dalam satu waktu,” kata Carip.
Awalnya, Carip bukanlah peternak, melainkan petani. Ia terjun ke dunia peternakan sapi jabres sekitar 12 tahun lalu saat seorang saudaranya menitipkan dua sapi miliknya untuk dirawat oleh Carip. Kala itu, Carip tidak dibayar. Namun, jika kedua sapi itu beranak, anak pertama dari setiap sapi itu menjadi hak milik Carip.
Saat ini, Carip memelihara 16 sapi jabres. Dari jumlah tersebut, 12 sapi milik orang lain yang dititipkan untuk dirawat dan 4 ekor sisanya milik Carip.
Baca juga: Menagih Komitmen Swasembada Daging Sapi
Carip betah belasan tahun mengurus sapi jabres karena menurutnya sapi jenis itu memiliki daya tahan tubuh yang kuat. Saat ada wabah penyakit mulut dan kuku, belasan sapi jabres yang dipelihara Carip terserang tetapi gejalanya tergolong ringan. Hingga kini, tidak ada ternak carip yang mati akibat penyakit tersebut. Hal yang sama terjadi saat LSD merebak. Mayoritas sapi-sapi Carip bergejala berat namun kini sudah sembuh.
Produktivitas sapi jabres juga tergolong sangat tinggi. Sepanjang hidupnya, sapi jabres betina rata-rata bisa beranak sebanyak 15 kali, bahkan yang terbanyak sampai 21 kali.
”Kalau sapi jenis lain biasanya beranak sebanyak 8-10 kali. Setelah itu sudah dianggap tua dan harga dagingnya murah. Kalau sapi jabres itu sampai umur 20 tahun saja fisiknya masih bagus dan harga dagingnya juga masih tinggi,” kata Tardi, yang sehari-hari juga menjalankan bisnis jual-beli sapi tersebut.
Dari segi kualitas daging, sapi jabres dinilai Tardi memiliki cita rasa yang lebih gurih daripada daging sapi jenis lain. Kandungan lemak pada sapi jabres juga minim. Hal itu karena sapi jabres hanya makan rumput, tidak mengonsumsi konsentrat.
Karkas atau daging tanpa kepala, kaki, dan jeroan pada sapi jabres lebih banyak dibandingkan sapi biasa. Sapi jabres dengan berat hidup 300 kg bisa menghasilkan karkas 120-150 kg. Sementara sapi jenis lain dengan berat 300 kg menghasilkan karkas sekitar 100-120 kg.
Kebanyakan sapi jabres yang sekarang ini dikawinkan sedarah, antara ibu dan anaknya, bapak dan anaknya, atau kakak dan adiknya. Hal itu membuat kualitasnya menurun.
Tantangan
Di tengah sejumlah keunggulan dan potensi ekonomi dari beternak sapi jabres, peternak juga dihadapkan pada sejumlah persoalan. Salah satu persoalan tersebut, menurut Tardi dan Carip, adalah sulitnya mendapatkan benih sapi jabres dengan kualitas bagus.
”Sekarang agak susah mencari benih pejantan jabres yang berkualitas super. Kebanyakan sapi jabres yang sekarang ini dikawinkan sedarah, antara ibu dan anaknya, bapak dan anaknya, atau kakak dan adiknya. Hal itu membuat kualitasnya menurun,” tutur Tardi.
Untuk menghindari perkawinan sedarah tersebut, Tardi melakukan pencatatan sederhana terkait asal usul sapi-sapi yang dipeliharanya. Pencatatan asal-usul sapi, disebut Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Brebes Ismu Subroto, seharusnya dilakukan oleh seluruh peternak. Sayangnya, tidak semua peternak memiliki kesadaran untuk melakukan pencatatan.
”Kami sedang merintis apikasi pencatatan garis keturunan sapi. Target kami, tahun ini aplikasinya rampung supaya bisa segera digunakan. Namun, kami masih ada kendala terkait anggaran dari pemerintah pusat yang belum cair. Sementara menunggu, kami mengajari para peternak untuk melakukan pencatatan secara manual,” kata Ismu.
Inseminasi buatan digadang-gadang menjadi cara mencegah perkawinan sedarah. Selain itu, cara tersebut juga dianggap efektif untuk menjaga kualitas keturunan sapi-sapi jabres. Namun, inseminasi buatan terkendala oleh minimnya stok semen beku.
Selama ini, Pemerintah Kabupaten Brebes mengambil stok semen beku dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) Ungaran, Kabupaten Semarang, Jateng. Menurut Ismu, hal itu sudah tidak bisa dilakukan lagi karena BIB Ungaran sudah tidak memproduksi semen beku sapi jabres lagi. Pemerintah Kabupaten Brebes akan mendorong supaya produksi semen beku sapi jabres bisa dilakukan lagi.
Pada tahun 2016, Pemerintah Kabupaten Brebes membangun padang penggembalaan sapi jabres di Dukuh Kalinusu, Desa Maribaya, Kecamatan Bumiayu. Padang yang memiliki luas hamparan sekitar 104 hektar itu kini menjadi tempat hidup dan berkembang sebanyak 193 sapi jabres.
”Padang ini khusus untuk pembibitan sapi jabres. Kemurnian genetik sapi-sapi di sini betul-betul dijamin. Bahkan, semuanya sudah bersertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai sapi jabres,” ujar Fiki Aris Riyanto, petugas di Padang Penggembalaan sapi Jabres Maribaya.
Fiki menyebut, kurangnya infrastruktur pendukung membuat kondisi di padang penggembalaan serba terbatas. Pagar yang mengelilingi padang pengembalaan hanya terbuat dari paralon besi, kayu, dan kawat berduri. Pagar jenis ini rawan dimasuki oleh orang-orang maupun binatang.
Fiki menambahkan, jumlah penampungan air di padang penggembalaan juga terbatas. Hanya ada satu tempat penampungan air di kawasan yang terdiri dari 10 paddock itu. Padahal, idealnya, setiap dua paddock minimal ada satu tempat penampungan air.
Menurut Ismu, anggaran pemerintah kabupaten tidak cukup untuk meningkatkan kualitas padang penggembalaan. Dalam Keputusan Presiden Nomor 79 Tahun 2019, pemerintah pusat menganggarkan Rp 100 miliar untuk padang penggembalaan sapi jabres. Namun, sampai saat ini, anggaran itu belum turun sama sekali. Ismu khawatir karena batas waktu penganggaran hanya sampai 2024, yang artinya tinggal satu tahun lagi.
Memungkinkan
Pengembangan sapi-sapi lokal, termasuk sapi jabres, dinilai dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Panjono, berpotensi meningkatkan populasi sapi di Indonesia. Jika populasi sapi terdongkrak, target pemerintah untuk swasembada protein hewani, khususnya daging sapi, memungkinkan untuk dicapai.
Menurut Panjono, perlu ada kerja keras agar target swasembada tercapai. Jika pemerintah berencana mengoptimalkan sapi-sapi lokal, pengembangan sapi-sapi lokal di setiap daerah harus dipastikan telah berjalan optimal. Meningkatkan infrastruktur pendukung pengembangan peternakan sapi lokal menjadi salah satunya.
Pemerintah juga, kata Panjono, bisa memanfaatkan lahan-lahan sawit untuk pengembangan sapi. Sayangnya, kebanyakan lahan sawit berada di luar Jawa. Jawa merupakan daerah dengan konsumsi daging sapi terbesar. Jika ingin mengoptimalkan pengembangan sapi di lahan-lahan sawit, kesiapan infrastruktur, seperti kapal yang akan mengangkut sapi-sapi itu ke daerah konsumsi serta fasilitas pendukung di pelabuhan, harus dipastikan memadai.
”Dukungan berupa kebijakan yang berpihak kepada peternak juga penting. Kalau sudah mendorong pupulasi nasional meningkat, harusnya ada kebijakan mengurangi impor,” ujar Panjono.
Harga daging sapi selama ini juga, kata Panjono, belum terlalu menguntungkan bagi peternak. Pemerintah menetapkan harga daging Rp 80.000 per kg. Jika harga daging di atas harga yang telah ditetapkan, pemerintah memutuskan untuk impor. Padahal, biaya produksi daging sapi lebih dari harta tersebut. Agar para peternak tak terlalu merugi, harga daging sapi setidaknya Rp 100.000 per kg.
”Kalau harga daging di pasar kurang dari Rp 100.000 per kg, otomatis peternak tidak bisa jual atau merugi. Ini yang akan menyebabkan peternak tidak bergairah. Mestinya kebijakan ke sana harus imbang juga,” kata Panjono.