Setiap Hari, Sekitar 20 Pasangan di Cirebon Bercerai, Pemkab Bentuk Tim
Lebih dari 7.000 pasangan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bercerai setiap tahun. Pemkab Cirebon pun membentuk Tim Gerakan Bersama Cegah Perceraian.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Lebih dari 7.000 pasangan di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bercerai setiap tahun. Artinya, setiap hari rata-rata 20 pasangan berpisah. Pemerintah Kabupaten Cirebon pun membentuk Tim Gerakan Bersama Cegah Perceraian atau Geber Ceper untuk mencegah fenomena itu.
Berdasarkan data Pengadilan Agama Sumber Kabupaten Cirebon, selama 2022, pengajuan perceraian mencapai 7.743 perkara. Sebanyak 7.571 pasangan diputuskan bercerai. Angka itu tidak jauh berbeda dengan pengajuan perceraian pada tahun 2021, yakni 7.733 perkara dan 7.328 kasus pada 2020.
Hingga akhir Mei, tercatat 3.127 pengajuan perceraian di Cirebon. ”Cirebon itu empat besar kasus perceraian di Jabar,” ucap Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Cirebon Eni Suhaeni, Selasa (30/5/2023).
Menurut Eni, pandemi Covid-19 sejak tahun 2020 turut memicu angka perceraian di daerah berpenduduk 2,2 juta jiwa itu. ”Kasus perceraian tinggi akibat banyak kepala keluarga dirumahkan setelah dua tahun Covid-19. Mereka menganggur, ketahanan keluarga terganggu,” ujarnya.
Dalam catatan PA Sumber, faktor ekonomi kerap menjadi penyebab utama perceraian. Tahun lalu, misalnya, 5.338 pasangan bercerai karena masalah ekonomi. Faktor penyebab lainnya adalah pertengkaran atau perselisihan dengan 1.224 kasus dan meninggalkan salah satu pihak (393 kasus).
Perceraian, lanjut Eni, juga tidak bisa dipisahkan dari perkawinan anak. Tahun lalu, pengadilan setempat memutuskan 483 dispensasi kawin untuk warga berusia di bawah 19 tahun. ”Kebanyakan mereka sudah hamil duluan sehingga pengadilan memberikan dispensasi kawin,” ujarnya.
Kasus perceraian, lanjutnya, juga disebabkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tahun lalu, sebanyak 19 pasangan bercerai akibat KDRT. Pihaknya meminta masyarakat tidak ragu melaporkan kasus dugaan KDRT demi melindungi perempuan dan anak yang kerap jadi korban.
Masalah utamanya, kemiskinan. Jadi, persoalan ini harus dilihat dan diselesaikan secara menyeluruh.
Untuk menekan angka perceraian, pihaknya telah membentuk Tim Geber Ceper yang diluncurkan pada Selasa. Tim itu memberdayakan 53 petugas Motekar atau motivator ketahanan keluarga yang sebelumnya dibentuk oleh Pemprov Jabar. Tim itu tersebar di 40 kecamatan di Cirebon.
Menurut Eni, tim akan bertugas menyosialisasikan terkait dampak perceraian hingga berkoordinasi dengan kantor urusan agama setempat untuk memberi penyuluhan keutuhan keluarga kepada calon pengantin. ”Pak camat juga nantinya akan terlibat dalam tim,” ucapnya.
Wakil Bupati Cirebon Wahyu Tjiptaningsih mengakui, angka perceraian di Cirebon cukup tinggi. ”Perceraian ini salah satu isu sosial, yang tidak hanya di Cirebon. Tapi, se-Indonesia. Keluarga ini unit terkecil dari masyarakat. Kalau keluarganya sudah kuat, negara pasti kuat,” ujarnya.
Ayu, sapaannya, mengatakan, perceraian akan berdampak buruk pada keluarga, terutama masa depan anak. Perempuan juga harus menjadi kepala keluarga dan mencari penghasilan. ”Kami punya beberapa program pelatihan untuk perempuan kepala keluarga agar mereka mandiri,” katanya.
Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jabar Darwini menilai, masalah perceraian dan kasus perkawinan anak akan terus terjadi selama akar masalahnya belum terselesaikan. ”Masalah utamanya, kemiskinan. Jadi, persoalan ini harus dilihat dan diselesaikan secara menyeluruh,” ujarnya.