Sa’adah Mencegah Kekerasan Seksual pada Perempuan dan Anak
Kasus kekerasan perempuan dan anak di Cirebon datang silih berganti tanpa henti. Sa'adah berusaha mendampingi korban meski jalannya tidak mudah.
Hati Sa’adah (43) teriris setiap menemukan kasus kekerasan perempuan dan anak di Cirebon, Jawa Barat. Apalagi, korban dirundung stigma negatif. Manajer Program Women Crisis Center Mawar Balqis ini pun mendampingi korban belasan tahun terakhir meski tantangannya berat.
Telepon seluler Sa’adah berdering empat kali dalam waktu kurang dari 30 menit saat makan siang di Desa Junjang, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Senin (21/3/2022). Panggilan itu datang dari rekannya hingga orang dinas tenaga kerja setempat.
Mereka membincangkan kesiapan International Women’s Day. Acara bertajuk ”Break the Bias” itu digelar Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan, WCC Mawar Balqis, hingga Fahmina Institute. Kegiatan yang menyuarakan hak perempuan dan kesetaraan itu berlangsung pada 8-25 Maret 2022.
Selama itu pula, Sa’adah dan kawannya blusukan ke desa, pesantren, dan sekolah. Mereka membawakan materi tentang pola asuh anak, kesehatan reproduksi, serta pencegahan kekerasan seksual dan perdagangan orang. Ia juga membahas hal itu di radio dan stasiun televisi setempat.
Dalam sehari, ia bisa menjadi pemateri di dua desa yang berjarak lebih dari 20 kilometer. Malamnya, ia kadang-kadang rapat daring soal isu perempuan, termasuk membahas Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual. Paginya, guru di dua sekolah swasta ini sibuk mengajar.
Di kelas, Sa’adah selalu menyisipkan pengetahuan tentang perdagangan orang dan kekerasan seksual. Pernah, ada alumnus yang ingin legalisasi ijazah. Anehnya, usianya dijadikan lebih tua di dokumen itu. Ia pun langsung memanggil anak tersebut karena khawatir menjadi korban trafficking.
”Katanya, ijazah itu dapat dari PT (perusahaan penyalur pekerja migran Indonesia). Saya bilang, suruh orang PT-nya ke sekolah. Akhirnya, anak itu enggak jadi minta tanda tangan legalisasi,” cerita guru bahasa Inggris ini kesal sambil menepuk kertas ujian siswanya di atas meja.
Tidak jarang, ia memediasi siswa yang dipaksa menikah karena perjodohan atau hamil di luar nikah. Ada anggapan pernikahan bakal mengurangi beban orangtuanya. Keluarga juga kerap menuntut anak yang hamil segera menikah agar tidak malu karena melahirkan anak tanpa ayah.
”Kami berusaha agar perkawinan anak tidak terwujud. Perkawinan anak itu pintu masuk kekerasan selanjutnya,” ujarnya. Anak bakal terancam jadi korban kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian. Sang lelaki merasa berkuasa dan berhak melakukan apa pun atasnya.
Biasanya, katanya, si suami meminta istrinya menjadi pekerja migran. Akhirnya, anak-anaknya tidak mendapatkan pengasuhan maksimal karena dijaga neneknya. Dalam beberapa kasus, bapak anak itu menikah lagi dan akhirnya bercerai dengan istrinya yang mengadu nasib di negeri orang.
Meski dampak perkawinan anak kerap terjadi, belum semua pihak memahaminya. ”Dari 10 orang yang kami minta tidak melakukan perkawinan anak, mungkin hanya 1 atau 2 yang mengikuti. Kita kadang membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar,” katanya.
Baca juga: Alifatul Arifiati, Suara Keadilan Jender dan Moderasi
Belasan tahun
Sa’adah tidak asal bicara. Sejak 2007, ia mulai bersentuhan dengan isu kekerasan seksual dan trafficking melalui pelatihan yang digelar Fahmina Institute, organisasi untuk keadilan dan kemanusiaan. Waktu itu, ia hadir sebagai perwakilan sekolah dan pegiat karang taruna di desa.
Dari sana, lulusan pondok pesantren ini bersua dengan pemikir keadilan jender, seperti KH Husein Muhammad. Pandangannya tentang perempuan selalu di bawah kuasa laki-laki pun terdekonstruksi. Perempuan berhijab ini juga aktif menyuarakan isu sosial di radio komunitas.
Pada 2010, Sa’adah aktif berkegiatan di WCC Mawar Balqis, organisasi yang fokus pada pendampingan perempuan dan anak. Di lembaga yang turut didirikan KH Husein Muhammad itu, ia terjun langsung menangani kasus kekerasan seksual. Kala itu, organisasi serupa belum banyak.
Media sosial hingga lembaga kampus yang menjadi sumber informasi belum semarak sekarang. Sa’adah pun harus mengais informasi dan laporan kasus di kampung-kampung. Ia acap kali mengendarai sepeda motor puluhan kilometer di pantura untuk menemui korban di Indramayu.
Korban, lanjutnya, enggan melapor karena merasa kasus kekerasan seksual sebagai aib. Korban juga merasa disalahkan dan dirundung stigma negatif. Misalnya, karena korban berpakaian tidak seharusnya atau keluar malam hari. ”Stigma ini hanya memperburuk kondisi korban,” ucapnya.
Korban pun harus berpikir berkali-kali untuk melapor. Selain khawatir mengeluarkan banyak biaya, mereka juga terkendala akses jarak ke pusat layanan. Sebagai contoh, korban yang tinggal di Waled harus menempuh sekitar 40 kilometer untuk ke pusat pemerintahan Cirebon di Sumber.
”Yang terberat juga adalah mengajak korban memahami bahwa dia sebagai korban, bukan karena nasib atau risiko pekerjaan,” ungkapnya. Beberapa kali, ia mendapati keluarga korban memilih berdamai dengan pelaku kekerasan seksual, bukan membawanya ke jalur hukum.
Baca juga: Keberpihakan Nyata Desa Panambangan di Cirebon pada Warga Lanjut Usia dan Difabel
Diancam
Sa’adah tak ingat jumlah korban yang pernah didampingi. Jelasnya, semua membuat nuraninya terusik. Apalagi, jika pelakunya masih keluarga korban. Pada 2021, WCC Mawar Balqis mencatat 181 kasus kekerasan terhadap 196 perempuan dan anak di Cirebon. Sebanyak 88 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak itu meningkat dibandingkan 2019, yakni 144 kasus.
Pelakunya merupakan karyawan swasta, wiraswasta, buruh, mahasiswa, dan aparat. Sa’adah pun pernah diancam. Gaham (gertakan) itu mulai dari teror pesan dan telepon, dituntut balik secara hukum hingga ancaman nonfisik. Dulu ada pendamping yang diancamsantet.
Akan tetapi, dia dan orang terdekatnya juga manusia biasa. Sekitar 12 tahun menguatkan korban, Sa’adah sempat merasa lelah hati. Namun, bukan santet atau ancaman para pengecut yang menyebabkannya.
Ia tidak habis pikir, kasus kekerasan seksual terus berulang. ”Apakah yang sudah kami lakukan ini tidak berpengaruh ke masyarakat? Atau sebaliknya, warga sudah mulai speak up dan melaporkan kasus,” ujarnya.
Keluarga juga sempat cemas. Mereka mengingatkan Sa’adah agar berhati-hati. Terlebih lagi, ia pernah keguguran saat mendampingi sejumlah kasus kekerasan seksual. Namun, anak keempat dari sembilan bersaudara ini memberi pemahaman bahwa ia mencoba membantu orang banyak.
Seperti almarhum ayahnya yang berprofesi sebagai guru, Sa’adah juga ingin membagikan pengetahuannya, terutama tentang perlindungan perempuan dan anak. ”Prinsipnya, selama saya masih bisa, di mana pun, sama siapa pun, saya akan melakukan itu. Karena persoalan kekerasan ini enggak tahu kapan selesai,” ungkapnya.
Baca juga: Bu Giok, Setia Membatik Keberagaman di Cirebon
Sa’adah
Lahir: Arjawinangun, Cirebon, 23 April 1978
Pendidikan terakhir: Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (Lulus tahun 2000)
Profesi:
- Manajer Program WCC Mawar Balqis
- Guru SMP Mubtadiat Arjawinangun
- Guru Madrasah Aliyah Nusantara Arjawinangun