Manado Targetkan Punya Layanan Bus Kota Tahun 2024
Pemerintah Kota Manado berupaya mengadakan layanan bus kota mulai 2024. Di tengah rencana ini, para sopir mikrolet yang melayani 17 trayek di seluruh kota minta agar mereka tak diabaikan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah Kota Manado, Sulawesi Utara, berupaya mengadakan layanan bus kota mulai 2024. Di tengah rencana ini, para sopir mikrolet yang melayani 17 trayek di seluruh kota minta agar mereka tak diabaikan.
Hal ini dinyatakan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Manado Jeffry Worang, ketika dihubungi via telepon, Kamis (25/5/2023). Layanan bus kota itu merupakan bagian dari program Teman Bus (Transportasi Ekonomis, Mudah, Andal dan Nyaman) yang diinisiasi oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Saat ini, program Teman Bus sudah terlaksana di 10 kota/kabupaten, antara lain, Surabaya, Surakarta, Banyumas, Makassar, Denpasar, dan Palembang. ”Sebenarnya sudah direncanakan untuk Manado sejak tahun lalu, tetapi anggaran di Kemenhub dikurangi sehingga kita di-pending dulu,” kata Jeffry.
Karena itu, tahun ini Pemkot terus berkoordinasi dengan Kemenhub agar layanan bus kota bisa direalisasikan pada 2024. Sebagai proyek percontohan, kata Jeffry, bus dari Kemenhub akan melayani satu koridor yang menghubungkan area pusat kota di sekitar Pasar 45 dengan Terminal Malalayang di batas selatan kota.
Rute itu akan melalui sejumlah tempat penting, seperti pusat pertokoan di Jalan Sam Ratulangi, lapangan KONI, Rumah Sakit Umum Pusat Prof dr RD Kandou, Mal Manado Townsquare, dan kawasan bisnis Megamas di Boulevard Piere Tendean. ”Boulevard itu, kan, etalase kita untuk kota Manado, jadi kita mesti bikin bagus di situ,” ujar Jeffry.
Meski begitu, dia belum dapat menyebut jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk realisasi program tersebut di Manado sehingga ia belum dapat memastikan jumlah bus yang akan dioperasikan di koridor pusat kota-Malalayang. Namun, ia menyatakan semua akan bergantung pada tingkat keterisian (load factor).
Keterisian bus juga akan bergantung pada tarif. Menurut Jeffry, tarif bus dari Kemenhub yang fasilitasnya prima dengan penyejuk ruangan dan sistem pembayaran elektronik, serta tidak ngetem menunggu penumpang, akan lebih mahal, yaitu berkisar Rp 8.000-Rp 10.000.
Tarif tersebut lebih mahal daripada mikrolet yang juga melintasi trayek tersebut, yaitu Rp 6.000. Menurut Jeffry, kehadiran bus nantinya tidak akan menggeser mikrolet. Keduanya akan beroperasi di jalur yang sama.
”Ini seperti kelas ekonomi dan eksekutif, beda pangsa pasar. Yang mau naik bus, tentu bayarnya akan lebih mahal. Kita enggak bisa membatasi pilihan masyarakat,” kata Jeffry.
Saat ini mikrolet atau mikro, yang dimiliki dan dioperasikan oleh perorangan, masih menjadi sarana transportasi umum yang diandalkan warga Manado. Namun, jumlahnya terus menurun selama tiga tahun terakhir. Menurut data Dishub Manado, jumlah mikro pada 2019 yang operasional adalah 2.836. Pada 1 Desember 2022, yang tersisa hanya 1.833.
Kalau pemerintah mau mengintegrasikan, mau mengatur, ya, pikirkan teknisnya. Utamakan yang ada dulu (mikro).
Terkait hal itu, Ketua Dewan Perwakilan Cabang Organisasi Angkutan Darat (DPC Organda) Manado Ghazali Djamaan meminta pemerintah tidak terus menelantarkan mikro. Sejak 2018, ribuan mikro yang beroperasi di Kota Manado tak pernah diuji kelayakannya.
Tak ada pula kebijakan untuk mempertahankan mikro yang menjadi sumber penghasilan ribuan warga kota. ”Kalau pemerintah mau mengintegrasikan, mau mengatur, ya, pikirkan teknisnya. Utamakan yang ada dulu (mikro). Tapi, kan, selama ini pemerintah biarkan,” kata Ghazali.
Ghazali mengaku lelah mengadvokasi kepentingan para sopir angkutan darat, termasuk mikro, karena tak pernah didengar pemerintah. Contohnya, hingga saat ini, tidak ada peraturan gubernur turunan Peraturan Menhub PM Nomor 118 Tahun 2018 yang mengatur ojek dan taksi daring.
”Kalau mau bikin begitu (bus kota), jelas kami ini dirugikan. Tapi kalau kami bikin aksi penolakan, percuma. Akhirnya, sistem transportasi di Manado ini amburadul,” ujar Ghazali.
Beberapa sopir mikro juga mengeluh ketiadaan perhatian dari pemerintah. Triman (53), sopir mikro trayek pusat kota-Terminal Malalayang, menyebut pemerintah bahkan tak pernah menertibkan sopir-sopir mikro dari trayek lain yang menyerobot ke trayeknya.
Daniel Herison Lembo (38), sopir mikro trayek Pasar 45-Paal Dua, juga mengeluhkan ketidaktanggapan pemerintah terhadap naiknya harga pertalite menjadi Rp 10.000 sejak tahun lalu. ”Kalau boleh, kasihlah kami ini subsidi supaya penghasilan tidak berkurang. Tarif juga enggak perlu naik (dari Rp 4.000),” ujarnya.
Menanggapi situasi ini, ahli transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, menyebut keberadaan program Teman Bus akan menguntungkan publik. Meski begitu, pemerintah tidak boleh membiarkan bus bersaing dengan mikro.
”Kalau sudah ada bus, mikro-mikro itu bisa jadi feeder ke kampung-kampung. Yang (moda transportasi umum) utamanya tetap pakai yang besar, yakni bus. Jadi, ini harus dipikirkan dalam frame (bingkai) Manado Raya, sampai batasan kota,” kata Djoko.