Bertemu Tim Pemantauan dan Negosiasi Papua, OPM Siap Berdialog
Dari pertemuan dengan Tim Pemantauan dan Negosiasi Papua, Organisasi Papua Merdeka yang biasa diklaim sebagai kelompok kriminal bersenjata menyatakan siap berunding dengan Pemerintah Indonesia.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Organisasi Papua Merdeka menyetujui untuk membuka komunikasi dengan pemerintah demi menghentikan konflik di tanah Papua. Hal ini disampaikan organisasi tersebut saat bertemu dengan tim Pemantauan dan Negosiasi Papua di sejumlah kabupaten.
Hal ini diungkapkan Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Wilayah Papua Frits Ramandey dalam peluncuran buku berjudul Membuka Ruang Membangun Dialog, di Jayapura, Papua, Selasa (23/5/2023). Guru Besar Sosiologi dari Universitas Cenderawasih Jayapura, Avelinus Lefaan, menjadi pembicara utama yang membedah isi buku tersebut.
Frits memaparkan, dalam penyusunan buku ini, Tim Pemantauan dan Negosiasi Papua bertemu dan berkomunikasi dengan pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sejumlah kabupaten. Daerah-daerah tersebut, antara lain, ialah Puncak, Puncak Jaya, Paniai, Mimika, hingga Intan Jaya.
Tim Pemantauan dan Negosiasi Papua terdiri atas 17 orang. Tim ini merupakan perwakilan dari Komnas HAM Papua, Pemprov Papua, Universitas Cenderawasih, lembaga agama, dan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu hak asasi manusia.
”Buku berjudul Membuka Ruang Membangun Dialog merupakan laporan perjalanan Tim Pemantauan dan Negosiasi Papua pada bulan Juni 2021 hingga Desember 2022. Salah satu bagian buku ini mendokumentasikan analisa pemicu konflik di Papua hingga pertemuan tim dengan para pimpinan OPM. Mereka siap berunding demi berakhirnya konflik di Papua,” ucap Frits.
Frits menuturkan, buku ini memuat 13 poin kesimpulan. Salah satunya adalah konflik berkepanjangan di Tanah Papua disebabkan tersumbatnya saluran komunikasi antarpihak yang bertikai.
Poin lainnya, lanjut Frits, Papua bukanlah daerah yang berstatus daerah darurat militer sehingga tidak perlu mendatangkan banyak pasukan non-organik. Upaya pendekatan sebaiknya dilakukan oleh otoritas sipil, yakni pemda setempat dan pasukan TNI-Polri yang organik atau berasal dari wilayah Papua.
”Diperlukan pembentukan tim penanganan konflik sosial di enam provinsi di wilayah Papua. Kami telah menyerahkan laporan ini kepada Presiden Joko Widodo dan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan,” ucapnya.
Sementara itu, Avelinus Lefaan berpendapat, buku yang ditulis oleh Tim Negosiasi dan Pemantauan Papua dengan data yang komprehensif menggambarkan dialog sebagai solusi mengakhiri konflik di Tanah Papua. Sebab, ada komitmen dari pihak yang bertikai untuk meraih perdamaian di Papua.
”Diperlukan sikap saling terbuka dan mengedepankan aspek kemanusiaan untuk melaksanakan dialog. Selain itu, sikap saling percaya di antara kedua belah pihak juga menentukan terwujudnya dialog,” ucap Avelinus.
Kepala Polresta Jayapura Komisaris Besar Victor Mackbon, saat ditemui di tempat yang sama, mengatakan, buku ini menjadi referensi bagi pihaknya dalam menjalankan tugas di tengah masyarakat. ”Materi dalam buku menjadi pengingat bagi kami untuk selalu menggunakan upaya dialog dalam menghadapi masalah yang kompleks di Jayapura,” katanya.