Tjong (sebuah novel), karya Herry ’Gendut’ Janarto, semi-biografi bergaya novel mengisahkan Tjong Kie Lin, pria Hakka sederhana, tetapi berprinsip hidup baik dan ikhlas termasuk mendukung perjuangan bangsa di Yogyakarta.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
CEO Global Tanoto Foundation J Satrijo Tanudjojo memberi kesaksian dalam bedah novel Tjong karya Herry Gendut Janarto di Gedung Perkumpulan Hwie Tiauw Ka, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (21/5/2023).
Tjong (Sebuah Novel), semi biografi karya wartawan-sastrawan Herry ’Gendut’ Janarto dibedah oleh komunitas peranakan Hakka di Gedung Perkumpulan Hwie Tiauw Ka, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (21/5/2023).
Bedah novel yang spesial karena penulis dan inisiator hadir dan menceritakan sebagian proses kreatif penyusunan karya tersebut. Semi-biografi bergaya novel itu bukan menceritakan keagungan sosok Tjong Kie Lin, keturunan Hakka yang merantau dari China ke Jawa dan menjadi sukses, melainkan untuk berbagi inspirasi dan nilai-nilai kehidupan.
Siapa sang inisiator? Salah satu dari 12 anak Tjong Kie Lin ialah J Satrijo Tanudjojo, yang kini menjabat CEO Global Tanoto Foundation. Herry dan Satrijo bekerja sama untuk pembuatan novel Tjong yang dilatarbelakangi persahabatan sebagai sesama alumni SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Untuk menghadiri bedah novel tentang ayahanda, Satrijo terbang dari Singapura ke Surabaya. Dalam penerbangan, Satrijo membaca lagi novel tentang papinya sebagai bahan kesaksian.
Di Surabaya, Satrijo memberi kesaksian dengan mengatakan, awalnya menghubungi Herry untuk membuat buku tentang ayahanda (Tjong Kie Lin). ”Saya menghubungi bro (brother/saudara) Gendut, gelem ora (maukah) menulis soal Ayahku, tapi ojo (jangan) biografi,” katanya.
Satrijo merasa ingin keluarganya mengetahui kisah perjalanan orangtua, tanah leluhur, dan budaya hidup yang baik yang perlu diwariskan. Tidak semua anak-anak Tjong mengetahui secara utuh kehidupan orangtua. Satrijo mengumpulkan keping-keping informasi sebagai ”tulang punggung” yang kemudian dikembangkan oleh Herry sehingga lahirlah novel Tjong.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Herry Gendut Janarto memberi kesaksian dalam bedah novel karyanya yang berjudul Tjong di Gedung Perkumpulan Hwie Tiauw Ka, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (21/5/2023). Semi-biografi bergaya novel berdasarkan kisah nyata Tjong Kie Lien, keturunan Hakka yang merantau dari China dan membangun kehidupan luar biasa di Yogyakarta.
”Saya meminta Satrijo menceritakan Papimu itu seperti apa? Satrijo membuat ringkasan 18 halaman folio yang kemudian saya kembangkan,” kata Herry, penulis belasan biografi dan novel. Proses penulisan membutuhkan waktu setahun yang diwarnai bolak-balik wawancara Satrijo yang juga bertanya kepada keluarga dan kerabat untuk penelitian dan deskripsi ruang hidup Tjong sejak di China sampai akhir hayat sosok tersebut di Jawa.
Herry dianggap sukses memberikan deskripsi yang detail sekaligus indah tentang ruang hidup Tjong secara Hakka sekaligus Jawa. Misalnya tulou atau rumah bundar Hakka, sebutan namyong untuk Hindia-Belanda, sapaan bobo untuk nenek, jenis makanan, cara orang Hakka menjamu tamu, dan rekonstruksi pelayaran SS Tjisondari rute Jawa-China-Jepang. Unsur Jawa digambarkan dalam sikap hidup Tjong, bahkan nama-nama toko yang didirikan, misalnya Kondang Moerah, Laris, Awet Laris.
Herry bersaksi, selama menempuh pendidikan di Pangudi Luhur dekat Alun-alun Utara, ia selalu bersepeda dari rumah melewati Jalan Malioboro dan Jalan Marga Mulya (Margo Muljo). Di Jalan Marga Mulya itulah berdiri toko Lingco milik Tjong Kie Lin. ”Bertahun-tahun, setiap hari lewat toko itu kalau berangkat sekolah, tetapi disegarkan kembali perannya lewat penulisan ini,” katanya.
Tjong Kie Lin terlahir dengan nama Tjong Kie Gui dari keluarga miskin di Fu Yim Tong (desa), Moiyen (kabupaten), China. Saat berusia tiga tahun, Tjong ”dijual” kepada keluarga Tjong Se Khong dan Wei Ling yang merindukan anak. Karena diangkat oleh keluarga baru, Tjong Kie Gui diubah nama menjadi Tjong Kie Lin sekaligus menjadi cucu dari nenek Mu Lan.
”Dari penuturan keluarga biologis Ayah, mereka merasa tidak menjual ayah. Namun, dari keluarga angkat, mereka merasa membeli karena telah menyerahkan uang. Bagi kami, perbedaan cara pandang itu bisa diterima dan menjadi warna dalam perjalanan hidup Ayah,” kata Satrijo.
Dari Fu Yim Tong, perjalanan hidup Tjong beralih ke Xian Lo Fu (desa). Di masa remaja, 13 tahun, Tjong berlayar ke Jawa untuk menyusul ayahanda angkat yang membangun bisnis di Kutowinangun, dekat Purwokerto. Sempat terusir karena kekerasan sang ayah angkat, Tjong merantau dan membangun bisnis sendiri dengan jatuh bangun di Bandung dan Yogyakarta.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
Guru besar emerita linguistik dan budaya Universitas Kristen Petra, Esther Harijanti Kuntjara, saat memandu bedah novel Tjong karya Herry Gendut Janarto di Gedung Perkumpulan Hwie Tiauw Ka, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (21/5/2023). Semi-biografi bergaya novel berdasarkan kisah nyata Tjong Kie Lien, keturunan Hakka yang merantau dari China dan membangun kehidupan luar biasa di Yogyakarta.
Esther Harijanti Kuntjara, guru besar emerita linguistik dan budaya Universitas Kristen Petra, sebagai pembahas novel. mengatakan, semi-biografi ini amat cocok untuk menceritakan kisah nyata perjalanan hidup Tjong Kie Lin yang lahir pada 16 Oktober 1911 dan wafat pada 9 Agustus 1980. Pengembaraan usaha dengan nama-nama toko bernuansa Jawa memperlihatkan Tjong yang menghormati akulturasi, seperti pepatah di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Esther melanjutkan, novel Tjong memperlihatkan etos kerja orang Hakka yang sebagian mirip dengan budaya Nusantara. Meski anak adopsi, Tjong amat menghormati keluarga angkat, termasuk tidak melupakan keluarga biologis. Tjong adalah anak sulung sehingga mengambil tanggung jawab untuk keutuhan keluarga. Semua keturunannya didorong untuk maju dengan pendidikan setinggi-tingginya.
Tjong ketika hidup pernah jatuh bangun karena ditipu, termasuk oleh kerabatnya, tetapi tidak sakit hati dan tetap berbuat baik.
Tjong selalu mencari jalan keluar, melibatkan keluarga, terutama menikmati keberhasilan usaha, pantang menyerah atau tidak putus asa, dan berani menghadapi bahaya untuk keluarga. Dalam novel diceritakan, Tjong pergi ke China untuk menyelamatkan hidup dua anaknya yang terdampak revolusi kebudayaan sehingga harus kerja paksa.
Menurut Esther, Tjong mengamalkan dua prinsip ajaran Konghucu. Pertama, menghormati dan berbakti kepada orangtua dan yang lebih tua. Kedua, baik kepada siapa pun, melupakan sakit hati, tetapi selalu ingat berbuat baik. Sikap inilah yang jelas mendorong anak-anak Tjong, termasuk Satrijo, untuk napak tilas kehidupan ayahanda ke China dan menginisiasi novel. ”Tjong ketika hidup pernah jatuh bangun karena ditipu, termasuk oleh kerabatnya, tetapi tidak sakit hati dan tetap berbuat baik,” ujarnya.
KOMPAS/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
CEO Global Tanoto Foundation J Satrijo Tanudjojo memberi kesaksian dalam bedah novel Tjong karya Herry Gendut Janarto di Gedung Perkumpulan Hwie Tiauw Ka, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (21/5/2023).
Di masa kemerdekaan Indonesia, Tjong turut terlibat dengan membantu dan mendukung logistik untuk laskar dan rakyat di Yogyakarta. Rumahnya disiapkan sebagai dapur umum dan balai perawatan para pejuang. ”Pada 1949, Papi mendapat bintang veteran yang sampai saat ini masih saya simpan,” kata Satrijo yang kemudian terisak. Anugerah itu menjadi sesuatu yang ironi karena di Yogyakarta warga peranakan tidak bisa mendapat hak milik atas tanah.
Elisa Christiana, moderator bedah novel, mengatakan, dari Tjong itulah dapat ditegaskan bahwa komunitas peranakan jangan terus dinilai dan dianggap sebagai warga yang tidak cinta Tanah Air dan bangsa. Komunitas peranakan telah lahir dari generasi ke generasi di Indonesia, menjunjung tinggi dan cinta Tanah Air dan bangsa meski tidak melupakan budaya leluhur dari China.
”Sepatutnya, jangan lagi menilai keturunan Tionghoa tidak berkontribusi terhadap perjalanan bangsa. Dari Tjong dan karya-karya lainnya, kita patut terus belajar untuk pemajuan bangsa tanpa membeda-bedakan,” ujar Elisa.
Tjong mengutamakan kesatuan keluarga. Dalam perspektif sosial, bangsa adalah keluarga besar. Kesatuan keluarga menentukan persatuan Indonesia. Meski hidup tercerai-berai, berlatar belakang berbeda, tetapi kesatuan keluarga perlu diutamakan dan dipelihara. Inilah sikap sederhana nan mulia dari Tjong yang seperti diutarakan Satrijo bukan untuk diagungkan, melainkan dapat dijalankan siapa pun demi kemajuan bangsa dengan mewujudkan Pancasila.